Catatan politik ini saya mulai dengan sedikit pengantar:

Dalam beberapa waktu terakhir, saya berusaha sekuat tenaga membatasi diri dari memperoleh informasi yang berkaitan dengan seluk-beluk pemilu dan kampanye-nya.

Alasan Pertama: Melihat dan mendengar saling serang antar dua kubu calon presiden tidak terlalu banyak memberi informasi tentang visi ‘mau apa mereka nanti’.

Selebihnya, saya dan tentu ‘kita’ semakin terdesak dalam kondisi; bingung, kecemasan berlebih, marah, takut, benci, pesimis, dan tidak sampai pikiran bagaimana masing-masing mereka bisa jadi se-agresif pada level yang ada saat ini. Pada saudara sebangsa sendiri, pada tetangga, pada teman.

Saran saya: bagi anda yang cenderung gampang cemas, mudah emosi, mengidap gangguan overthinking, meninggalkan jauh-jauh bising politik praktis adalah cara terbaik menjaga ketenangan.

Alasan Kedua: Saya sedang menempuh proses pengerjaan tugas akhir kuliah. Dalam bulan-bulan ini kemampuan dan kejujuran eksplorasi sumber data serta referensi saya di uji. Selain itu, sebab menggunakan metode kuantitatif, maka konsistensi dan transparansi proses olah data saya juga di uji.

Korelasinya dengan kampanye politik, digambarkan oleh sebuah adagium yang beberapa saat lalu jadi wanti-wanti dari dosen pembimbing saya:

“Perbedaan akademisi dan politisi itu hanya satu: akademisi boleh salah, tapi tidak boleh bohong. Sementara politisi boleh bohong, tapi tidak boleh (dianggap) salah. Harus selalu benar.”

Jika di-elaborasi-kan, jadi seperti ini:

Jokowi dan Prabowo, bisa (dan boleh) melakukan kebohongan dalam menyebut data, memberikan janji, menyampaikan kecemasan ‘Indonesia punah’ dan segala macam. Tapi jangan sampai ‘kebohongan-kesalahan ujar dan perilaku’ mereka dianggap salah oleh publik.

Politisi harus selalu benar. Dalam kasus Jokowi salah menungkap data kebakaran hutan, atau prabowo memberikan pernyataan kontroversial ‘Indonesia punah’, tinggal menjadi tugas juru bicara dan simpatisan mereka berdua menjelaskan ‘maksud sebenarnya’, dengan menguraikan kalimat-kalimat panjang pembelaan.

Tujuannya satu: Kandidat mereka tidak boleh salah. Publik harus tetap sempuna memandang masing-masing kandidat.

Sementara, sial bagi akademisi. Sering setelah menyusun panjang latar belakang masalah, meng-inventaris-ir teori, menggambar kerangka hipotesis dan menentukan metode, mengumpulkan berbagai data, lalu ternyata menemukan hasil penelitian berupa “tidak ada efek yang signifikan”. Maka ibarat berjumpa kiamat sughro.

Tidak banyak jurnal yang mau menerbitkan hasil penelitian dengan kesimpulan tersebut, dan  jarang ada dosen pembimbing tugas akhir yang sumringah mendapati mahasiswa bimbingannya mendapat nilai p > 0.05. Dalam hal ini nilai p (p-value) atau taraf signifikansi berperan sebagai indikator untuk menolak atau menerima hipotesis.

Tentu ada beberapa cara untuk ngakali kondisi Ini, misalnya dengan memperbesar jumlah sampel, atau langsung saja kirim ke tukang olah data untuk di utak-atik.

Saat ini, manipulasi dan ketidakwajaran pun kebohongan tidak gampang dilakukan oleh peneliti (tidak semudah politisi). Gerakan sosial #OpenScience (Sains Terbuka) salah satunya mendorong kita pada situasi: ketika ujian terbuka,  prosedur pengambilan dan analisis data dan data mentah harus turut pula dibawa serta presentasikan. Harus turut disertakan dalam publikasi jurnal.

 

“BEGITU DENGAN MAKSUD BUKAN BEGITU”

Dalam Konferensi Nasional Partai Gerindra di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Senin (17/12/2018), calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto kembali mengeluarkan pernyataan yang kontroversial. Kali ini lewat pernyataan bahwa Indonesia akan punah jika ia tak menang di Pilpres 2019

Berkaitan dengan diksi ‘punah’, Prabowo punya alasan:

“Karena itu, kita tidak bisa kalah. Kita tidak boleh kalah. Kalau kita kalah, negara ini bisa punah. Karena elite Indonesia selalu mengecewakan, selalu gagal menjalankan amanah rakyat Indonesia. Sudah terlalu lama elite yang berkuasa puluhan tahun, sudah terlalu lama mereka memberi arah keliru, sistem yang salah,” (Sumber: news.detik.com, diakses 2019)

Sebenarnya sudah beberapa bulan lalu pernyataan ini muncul, namun saya baru tahu di Instagram kemarin. Setelah tentu saja sebelumnya ramai kontroversi penggunaan kalimat ‘Indonesia Bubar 2030’

Berkaitan dengan diksi ini, relevansinya dengan adagium ‘politisi harus selalu benar’ di atas, maka kata Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid memberikan pembelaan:

“Saya kira perlu dibaca keseluruhannya, ya. Yang pasti, beliau tidak pernah menginginkan Indonesia punah. Beliau pasti menginginkan bahwa demokrasi menghadirkan beragam kondisi yang berbeda-beda. Saya yakin beliau tidak mengatakan begitu dengan maksud begitu,”

(sumber berita: https://news.detik.com/berita/4349584/kontroversi-prabowo-sebut-indonesia-bisa-punah)

Anda tentu bisa menemukan kejadian yang sama terjadi pada rombongan Jokowi. Catatannya berserakan di di media online.

Intinya, politik kita selalu demikian kondisinya.

 

MENEBAK FAKTOR DAN SKEMA KEPUNAHAN INDONESIA

Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan definisi punah/pu·nah/, sebagai: a 1 habis semua hingga tidak ada sisanya; benar-benar binasa: — dimakan api2 hilang lenyap; musnah: seakan-akan telah — harapan dan kemauannya;

Sedangkan dalam Wikipedia:

“Suatu spesies dinamakan punah bila anggota terkahir dari spesies tersebut mati. Kepunahan terjadi bila tidak ada lagi makhluk hidup dari spesies tersebut yang dapat berkembang biak dan membentuk generasi.”

Membahas kata punah, ingatan dan imajinasi kita terlempar jauh pada makhluk bernama dinosaurus. Hewan-hewan raksasa yang kita belum sempat menjumpai langsung. Banyak teori tentang kepunahan mereka, versi populernya adalah akibat tubrukan asteroid yang kemudian membumi-hanguskan mereka.

Apabila di komparasikan dengan definisi KBBI dan Wikipedia, bisakah terjadi ‘Indonesia punah’? Suatu kondisi dimana negara-bangsa bernama Indonesia tidak lagi ada di muka bumi? Kondisi dimana tidak lagi ada pemerintah dan negara berdaulat, sebab semua spesies berlabel ‘manusia Indonesia’ tidak lagi ada?

Tentu, perlu dicatat lagi kanda: Prabowo bilang begitu dengan maksud bukan begitu..!

Sebab sedang berada di Jogja dan imajinasi saya sedang liar, mari membahas dan menebak-nebak berbagai skema kepunahan Indonesia:

Skema 1: Sebab Penjajahan.

Sebagai suatu negara-bangsa, Indonesia telah ratusan tahun jatuh bangun menderita penajajahan. Selesai dijajah Belanda, datang Jepang. Lalu Belanda dan sekutu datang lagi setelah Jepang kalah perang.

Pada tanggal 19 Desember 1948, sesaat sebelum pemimpin Indonesia saat itu Sukarno dan Hatta ditangkap Belanda dan ibukota RI di Yogyakarta dikuasai Belanda dalam Agresi Militer Belanda II, sepasang proklamator ini sempat mengadakan rapat dan memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan sementara.

Sekali lagi kita selamat, saat umur masih ‘sebiji jagung’.

Kita belum punah.

Skema 2: Sebab Krisis Ekonomi

Menjelang masuk abad 21, Indonesia diterjang krisis moneter. Perusahaan-perusahaan di Indonesia (terutama bank-bank, beberapa di antaranya diketahui sangat lemah sekali) menderita kerugian yang amat besar.

Kita bertahan, termasuk menurut berbagai jurnal ditopang keberadaan UMKM. Lalu reformasi membawa masuk pada era baru Indonesia.

Krisis finansial diujung abad tersebut membuat negara-bangsa Indonesia banyak belajar.

Saat ini, mengutip www.indonesia-investments.com (diakses 2019), pengawasan terhadap likuiditas sektor perbankan sudah ketat dan transparan, ‘uang panas’ (‘hot money‘) ditangani secara lebih hati-hati (misalnya dengan membatasi utang jangka pendek), dan rasio utang pemerintah terhadap PDB lebih rendah (sekitar 25 persen dan menunjukkan tren menurun) dibandingkan kebanyakan negara-negara ekonomi maju.

Hasilnya, pada saat krisis tahun 2008 melanda, Indonesia terkena kembali arus keluar kapital yang besar namun mampu menjamin ekonomi yang stabil karena fundamental ekonomi yang baik. Bahkan selama krisis 2008-2009 Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang kuat dengan pertumbuhan PDB sebesar 4.6 persen terutama didukung oleh konsumsi domestik.

Tidak ada beras, kita makan ketela. Bisa juga sagu, bisa tunas bambu. Bisa makan ‘teman’. Minumnya teh Sosro. Ekonomi kita, baik saja dan punya daya tahan luar biasa.

Skema 3: Pemberontakan dan perang saudara.

Setelah merdeka, sejarah lalu bergerak maju, kita mengenal ada pemberontakan PKI, ada PRRI. Kedua peristiwa ini di-buntut-i perang saudara berlarut-larut, puluhan tahun dan ribuan nyawa melayang. Namun Indonesia masih ada.

Spesies bernama ‘manusia Indonesia’ masih ada.

Dalam kejadian terbaru, ambil contoh negara Suriah atau Syria. Konflik Suriah yang bermula sebagai pemberontakan damai melawan Presiden Suriah Bashar al-Assad delapan tahun lalu berubah menjadi sebuah perang sipil skala penuh yang telah menyebabkan lebih dari 340.000 orang tewas, menghancurkan negara tersebut dan memaksa keterlibatan kekuatan-kekuatan global.

Tapi, Suriah masih ada. Penduduknya tidak punah.

Skema 4: Orang Indonesia tidak lagi mau punya anak.

Mungkinkah Indonesia punah sebab penduduknya tidak lagi mau beranak-pinak, sehingga populasi manusia Indonesia jatuh drastis, bahkan habis.?

Kita bisa komparasikan dengan negara Jepang. Angka kelahiran Jepang tahun 2018 menjadi yang terendah sejak pertama kali sensus dilakukan pada 1899.

Menurut laporan media Japan Today, yang dikutip pada 22 Desember 2018, tahun lalu kelahiran di Jepang sekitar 921 ribu, turun 25 ribu pada tahun sebelumnya, berdasarkan angka Kementerian Kesehatan, Ketenagakerjaan dan Kesehatan Jepang.

Pemerintahan perdana Menteri Shinzo Abe sampai dibuat bingung dengan kondisi ini. Mereka pun berjanji untuk menekan penurunan populasi dengan meningkatkan kesejahteraan anak dan pendidikan.

Tentu ini skema lucu bagi Indonesia. Tahu kenapa?

Warga Jepang dengan pendapatan per-kapita berkali-kali lipat dibanding Indonesia, tidak mau punya anak sebab khawatir secara ekonomi. Orang kita mah santai, miqueen pun bisa bergaya. Nikah dan beranak pinak modal sayang (dan dengkul), hayuk berangkaat. Omong kosong perencanaan keuangan keluarga.

Kita punya kultur dimana sejak lulus kuliah didorong-dorong segera nikah. Setelah nikah didorong-dorong punya anak. Setelah satu, didorong bikinkan adik. Tambah terus, terus tambah. Banyak anak banyak rezeki.

Kultur ini awet sebab faktor pendukung: sindiran tetangga dan nyinyiran netizen ‘jahat’.

Skema 5: Sebab tubrukan asteroid dan Kiamat

‘Indonesia bukan negara agama, tapi semua penduduk Indonesia harus beragama’

Sebab itu, kita sangat akrab dengan pernyataan bahwa ateisme dan agnotisme dilarang keras di Indonesia. Selain juga komunisme-Marxisme.

Sebab semua manusia Indonesia beragama, hampir bisa dipastikan semua percaya pada Tuhan mampu dan punya otoritas mutlak menghadirkan kehancuran pada kehidupan semesta alam. Sebelum kemudian masing-masing akan digiring masuk surga vs neraka, pada kehidupan kedua.

Ketika terjadi kiamat, otomatis semua manusia (dipercaya) punah. Tentu bukan hanya Indonesia.

Ini skema kepunahan paling realistis dan relate dengan kehidupan ‘manusia Indonesia’, yang beragama dan ber-Tuhan yang esa.

LALU APA?

Sebab sedang ada di Jogja pula, di kepala saya muncul pertanyaan:

‘Setelah manusia di bumi (khusunya Indonesia) punah dan keberadaan Tuhan adalah selama-lamanya, tidak terbatas waktu, akankan Dia yang maha kuasa, menciptakan lagi galaksi dengan planet-planet, dinosaurus lalu manusia?

Untuk kedua kalinya, atau bahkan untuk yang kesekian ribu kalinya, sebab Tuhan ada tanpa permulaan?

Akankah manusia-manusia baru yang hadir setelah kita di-kiamatkan, nantinya akan mengadakan Pemilu presiden pula?

Akankah politisi-politisinya berperilaku sama dengan yang ada di zaman kita, boleh bohong tapi tidak boleh salah?’

Blandongan, 2019.