Beberapa hari lalu, Maudy Ayunda (24) mengabarkan kepada khalayak ramai bahwa dirinya tengah dilanda dilema. Artis muda ini kebingungan karena dirinya diterima di dua kampus ternama sekaligus untuk melanjutkan pendidikan S-2: Harvard dan Stanford.
Sejauh yang saya amati, respon masyarakat terutama dalam jagat Twitter, terbagi dalam dua kubu: kubu pertama yang mengapresiasi (saja), kubu kedua yang memberikan respon menganggap biasa saja, semacam nyinyir.
Kubu pertama, adalah mereka yang memberikan apresiasi sebab ditengah berbagai sampah perilaku yang ditampilkan selebriti dan artis-artis, semakin banyak artis yang selain terkenal karena karya mereka, juga memperoleh pencapaian luar biasa dalam bidang akademik.
Beberapa nama misalnya Tasya Kamila, Maudy Ayunda, Vidi Aldiano pun Cinta Laura bisa sedikit menghapus preseden buruk tentang dunia artis, misalnya selama ini identik dengan pergaulan bebas, narkoba, sensasi sampah, perceraian dan sejenisnya.
Keseriusan Maudy Ayunda melaksanakan tanggungjawab akademiknya ditengah berbagai macam kesibukan, bagi kelompok pertama diharapkan bisa jadi inspirasi pemuda-pemudi lain. Terutama mereka yang terlalu banyak alibi: tidak sibuk berkarya, tidak pula bagus dalam aspek akademik.
Kelompok kedua, pada dasarnya juga memberikan apresiasi, namun dengan yang sedikit nyinyir. Alasannya secara umum bisa dirangkum dalam kalimat: “Sudah wajar kalo Maudy sukses, dia punya privilege. Dibesarkan dalam keluarga sangat berkecukupan dari segi ekonomi dan punya perencanaan pendidikan yang baik baginya sejak masih sangat kecil.”
Seorang Caleg Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan pemilik akun Twitter @yurgensutarno memberikan afirmasi pada besarnya pengaruh privilese ini terhadap kesuksesannya masuk kampus Oxford.
“Privilege is real. My parents sent me to English courses for seven years since I was in the third grade. Without that investment, am not sure I could go to Oxford. I agree with you Fu, we need to make fairer narratives. Not to discount people’s struggles but to inspire.”
Kenapa Maudy bingung memilih kampus? Sebagai orang yang pernah kuliah pula, saya (penulis) mengakui bahwa kualitas proses pembelajaran, fasilitas penunjang akademik, lingkungan pertemanan mahasiswa, standar kelulusan dan nama besar serta jejaring yang dimiliki kampus akan sangat mempengaruhi bagaimana kualitas serta nasib lulusannya.
Berdasarkan QS World Ranking, Stanford berada di peringkat kedua terbaik dunia, sedangkan Oxford tepat di belakangnya. Tentu semua aspek di atas sudah sangat baik. Bahkan dalam sebuah laporan disebutkan rata-rata gaji alumni Stanford yaitu 80.900 USD.
Kembali pada topik privilege yang ramai dibahas, mari sedikit mengulasnya:
Privilege dalam Cambridge Dictionary, di artikan sebagai:
“…an advantage that only one person or group of people has, usually because of their position or because they are rich.”
Atau
“….the way in which rich people or people from a high social class have most of the advantages in society.”
Sedangkan KBBI secara singkat mendefinisikan:
privilese/pri·vi·le·se/ /privilése/ n hak istimewa
Secara sederhana bisa disimpulkan, tidak semua bisa memiliki akses seperti Maudy. Kadang ada yang pandai, tapi terkendala biaya dan ketiadaan akses. Supaya adil, ada juga yang sama sekali tidak terkendala biaya, tapi juga tidak pandai.
**************
Keriuhan publik membahas privilese di tengah kabar bahagia yang datang pada Maudy Ayunda, mengetengahkan kembali fakta bahwa masih jamak dijumpai ketidaksetaraan akses (atau ketimpangan sosial) ditengah masyarakat, terutama dalam aspek pendidikan.
Dari sisi geografik, di Indonesia masih ada kesenjangan fasilitas dan kualitas pendidikan di tiap daerah. Akibatnya, anak-anak di kota-kota besar jauh lebih mudah mendapat akses pendidikan yang baik. Serta berkesempatan meningkatkan kualitas hidupnya dibanding anak-anak di wilayah pedesaan.
Dari segi demografik, Randall Collins dalam bukunya The Credential Society: An Historical Sociology of Education and Stratification, menilai bahwa pendidikan formal merupakan awal dari proses stratifikasi sosial. Dalam konteks Indonesia, hal ini didukung oleh adanya pola perjalanan sekolah anak yang berbeda dari kalangan keluarga mampu dan miskin.
Berkaitan dengan ketimpangan akses pendidikan, yang kemudian akan mempengaruhi ketimpangan dalam memperoleh sumber-sumber ekonomi, dalam sebuah lagu dangdut, Rhoma Irama pernah menggubah lirik yang sangat populer: “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.”
Selain ketidakberdayaan secara ekonomi dan ketiadaan akses pada pendidikan, ketimpangan ini pada dasarnya juga langgeng sebab mentalitas. Dalam laman website quora.com, ada jawaban menarik dan relevan dengan kondisi ketimpangan akses ini. Jawaban dari sebuah pertanyaan sederhana namun menarik, yaitu: “Why do most poor people remain poor?”
Jawaban tertinggi yang muncul, dalam hal ini paling banyak di afirmasi oleh publik adalah yang ditulis oleh Rexi Von Hound. Dalam jawabannya, Rexi memulai dengan menceritakan bahwa dia tumbuh di lingkungan paling miskin di Inggris, dari pengalamannya dia bisa menyimpulkan sebagai berikut:
“Penduduk miskin cenderung terserang masalah mental yang menyebabkan mereka susah menjalin komunikasi dan hubungan baik, terutama dalam dunia kerja. Buruknya kualitas makanan menyebabkan tumbuh kembang mereka kurang baik. Ketika tumbuh dewasa, sangat rawan teerjebak kriminalitas dan geng. Kebanyakan mereka memandang dunia berdasar teori-teori konspirasi, dimana mereka bakal menyalahkan berbagai pihak telah menyebabkan kondisi ‘kalah’ yang saat ini mereka alami.”
Berkaitan dengan itu, dalam angka, dikutip dari laman web indonesia-investments.com, sekitar seperempat jumlah penduduk Indonesia (sekitar 65 juta jiwa) hidup hanya sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional. Data dan kondisi ini tentu berdampak pada banyak hal, termasuk pendidikan anak-anak mereka.
Pasca reformasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia berjalan cukup baik, yaitu PDB kita tumbuh pada kisaran 4,6% pertahun. Sempat mencapai puncaknya pada tahun 2011 yaitu sebesar 6,5%, kemudian mengalami perlambatan pada tahun-tahun setelahnya. Di tengah pertumbuhan ini, laporan Bank Dunia pada tahun 2015 berjudul “Indonesia’s Rising Divide” menyebutkan bahwa manfaat pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini hanya bisa dinikmati oleh 18-20% masyarakatnya.
Menyoroti masalah yang sama, hasil riset McKinsey Global Institute (2012) dalam laporan berjudul “The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential”, lembaga riset ekonomi dan bisnis ini menuliskan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya dinikmati oleh sekelompok masyarakat konsumtif yang tinggal di perkotaan.
Kalangan masyarakat ini memiliki tingkat dan kualitas pendidikan yang tinggi, sehingga mereka memiliki kesempatan lebih besar dalam mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang tinggi pula. Dengan penghasilan tinggi, kalangan ini menjadi segmen konsumen yang paling berdaya di pasar.
Mereka cenderung mengkonsumsi tak hanya untuk memenuhi kebutuhan harian, namun juga untuk merayakan gaya hidup dan status sosial. Mereka membeli berbagai barang mewah, pergi wisata ke luar negeri, maupun mengenyam pendidikan di universitas-universitas ternama.
Kembali lagi, privilese secara sederhana dapat dimaksudkan sebagai ‘akses’.
Tidak semua orang memiliki akses. Sebab utamanya adalah: Banyak masyarakat di Indonesia yang lahir dengan kondisi keluarga yang miskin, tinggal di daerah pelosok yang jauh dari layanan dasar seperti sekolah, rumah sakit, perlindungan sosial, dan sebagainya. Kondisi awal yang kurang beruntung pada saat lahir mengurangi kesempatan mereka untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Data-data dan fenomena diatas tentu bisa menguatkan dugaan yang ada pada lagu si raja dangdut, apabila tidak ada perubahan yang dilakukan oleh berbagai pihak.
Permasalahan ini sebenarnya bukan hal asing, beberapa solusi klise yang sering kita dengar misalnya: anjuran menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat miskin, membangun infrastruktur di daerah-daerah terpencil, memperluas akses pelayanan publik bagi masyarakat yang tinggal di pelosok, membebaskan biaya pendidikan formal dan pelatihan kerja, dan sebagainya.
Disisi lain, dalam kasus ketimpangan seperti ini, salah satu yang sering luput dari perhatian adalah memikirkan bagaimana supaya masyarakat yang miskin dan kurang beruntung tidak terkena dampak-dampak sosial dan psikologis, terutama kecemburuan sosial juga kecurigaan terhadap orang kaya yang berhasil seperti diceritakan Rexi von Hound.
Namun untuk masalah yang terakhir, santai saja! Bangsa kita ini terlanjur jadi orang-orang yang santai dan kalem. Dalam penderitaan, selalu ada bahagia dan tertawa (In suffering, there is happiness and laughter).
Kegalauan Maudy Ayunda tidak lantas membuat netizen kita jadi ambil pusing membaca berbagai data dan realitas ketimpangan pendidikan dan ekonomi. Di tengah Twitter yang sedang naik daun (lagi), berbagai tweet mereka cenderung berisi lucu-lucuan saja, misalnya:
“#MaudyAyundaBingung milih masuk kuliah ke Stanford atau Harvard. Sementara ukhti-ukhti #IndonesiaTanpaPacaran bingung mau nikah muda atau poligami.”
Ada juga
“Level kebingungan gua sebatas mau milih indomie goreng rasa apa.”
atau
“Pilih aja kmpus yg sdh pd sukses dgn jurusan online online itu mba…”
Dan banyak lagi. Selamat Yu.