“Milenial, milenial, milenial…!!!!”

Dalam beberapa tahun terkahir, pembahasan mengenai kata ‘milenial’ atau ‘generasi milenial’ meningkat tajam. Kata yang sering dibahas dalam satu tarikan nafas dengan kehadiran era ‘Revolusi Industri 4.0’. Istilah milenial sendiri berasal dari kata millennials yang dipopulerkan oleh dua pakar sejarah dan penulis Amerika, William Strauss dan Neil Howe dalam beberapa bukunya.

Milenial atau orang-orang yang lahir pada 1980-1990, atau pada awal 2000 menarik dibahas sebab jumlahnya sedemikian besar (90 juta versi Bappenas) dan mereka cenderung memiliki karakter yang berbeda dengan generasi sebelumnya.

Menurut Wikipedia, karakter generasi ini umumnya ditandai oleh peningkatan penggunaan dan keakraban dengan komunikasi, media, dan teknologi digital. Di sebagian besar belahan dunia, pengaruh mereka ditandai dengan peningkatan liberalisasi politik dan ekonomi.

Dalam konteks pemilu april mendatang, milenial tentu sangat diperhitungkan. Hal ini sebab milenial yang berusia 22 tahun  sampai 37 tahun adalah mereka yang mempunyai hak pilih aktif Pilpres 2019. Padahal total menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU) jumlah pemilih adalah 146.450.861. Kaum milenial akan menyumbang lebih dari 50% suara pemilih Pileg maupun Pilpres.

Sementara itu, dalam peran milenial sebagai pasar atau konsumen, promosi beragam produk terutama properti yang menyasar generasi milenial jamak dijumpai memenuhi ruang publik. Segmentasi khusus milenial ini tentu beralasan. Selain sekali lagi, jumlah mereka banyak, milenial punya kebiasaan merekomendasikan produk yang menurut mereka memuaskan kepada teman dan kenalan-kenalannya.

Atau dalam kajian marketing disebut sebagai word of mouth.

Persepektif promosi tersebut sekilas memberikan kesan bahwa milenial punya kemampuan ekonomi yang baik. Jamak diketahui milenial bisa membiayai hidupnya dari berbagai jenis pekerjaan baru; mulai dari konten kreator di Yotube, artis endorser di Instagram, mendirikan start-up, berjualan online, pun menjadi freelance desainer dan pemilik usaha tempat-tempat nongkrong.

Keberadaan beberapa nama seperti Nadiem Makarim, Ahmad Zaki, Awkarin, Ria Ricis dan Atta Halilintar tidak jarang mengarahkan banyak pihak pada simplifikasi. Ya, dengan keberadaan mereka, lantas dianggap milenial punya kelenturan dan daya kreasi luar biasa guna mengakses sumber-sumber ekonomi.

Hal ini yang kemudian di kritik oleh penulis Geger Riyanto (2018) dalam artikel berjudul ‘Kami Putra Putri Milenial….’ di laman web Indoprogress. Dengan sinis Geger menghadirkan pertanyaan:

“…bagaimana dengan sembilan puluh juta warga Indonesia lainnya yang namanya bukan Nadiem atau Awkarin? Apakah mereka bukan milenial?”

“…. bagaimana dengan mereka yang sekedar bekerja sebagai pengunjuk rasa bayaran di siang harinya, penjaga Alfamart di malam harinya.?”

Ditengah berbagai glorifikasi tentang keunggulan generasi mereka, kesulitan mencari pekerjaan dan ancaman pengangguran masih sangat potensial menyerang generasi milenial. Chatib Basri (2019), mantan menteri keuangan RI, dalam artikel berjudul ‘Yang Muda, yang Menganggur’ mengutip data BPS tentang penganggur muda berusia 15-24 tahun (youth unemploiment), menuliskan bahwa sebenarnya persentase  jenis penganggur ini telah menurun dari semula 33% pada tahun 2014 menjadi 29% pada tahun 2018.

Penurunan ini tentu menggembirakan ditengah pertumbuhan ekonomi stagnan pada kisaran 5%, namun pemerintah tetap mampu menurunkan tingkat pengangguran.

Disisi lain, masih mengutip Basri, ada tren kenaikan persentase penganggur muda yang memiliki latar belakang pendidikan SMA, Diploma dan Sarjana dari semula 60% pada tahun 2014 menjadi 74% pada 2018, dari keseluruhan jumlah penganggur muda.

Fenomena ini bisa dijelaskan dengan argumentasi bahwa mereka yang berpendidikan rendah relatif mudah menerima pekerjaan, sebab ekspektasi mereka tidak terlalu tinggi. Dengan prinsip ‘pekerjaan apa saja, upah berapa saja asal bisa hidup’.

Sementara kelompok dengan pendidikan yang lebih tinggi, yang kebanyakan bisa dikategorikan berasal dari kelompok kelas menengah cenderung menjadi pengeluh ulung (professional complainer). Dengan standar dan ekspektasinya, mereka cenderung menuntut pekerjaan di sektor-sektor formal, atau mereka baru mau bekerja jika dijanjikan penghasilan yang cukup menarik.

Di dunia kerja, dalam perspektif Human Resource, kelompok ini juga sering memiliki sisi negatif yaitu punya keberanian menyuaraan ketidakpuasannya ke publik, misalnya melalui media sosial.

Ya, penganggur dan setengah penganggur yang dituliskan Basri semuanya adalah: Milenial.

Lalu apa masalahnya?

Salah satu potensi besar masalah apabila tren terakhir terus meningkat, maka masalah ini akan lari ke wilayah sosial-politik. Politik bukan dalam arti kebijakan-kebijakan yang ideal, namun perwujudannya berupa friksi dan kebisingan di ruang publik. Terutama yang mengarah pada politik identitas, konservatisme dan fundamentalisme.

Ekspektasi tinggi para penganggur-milenial denga latar belakang ekonomi dan pendidikan yang cukup baik, harus bertabrakan dengan realitas bahwa sektor formal punya kapasitas terbatas. Pun bermain di industri kreatif harus menghadapi persaingan yang luar biasa ketat untuk bisa mencapai kondisi ‘aman secara finansial’.

Dalam pengamatan saya, debat panjang di media sosial dominan dipenuhi serta digerakkan oleh milenial dengan latar belakang sebagaimana dituliskan oleh Basri. Mereka yang ekspektasi tinggi tentang kesejahteraan dan ekonomi, namun tidak terpenuhi. Tentu masih dalam bingkai polarisasi antar dua kubu calon presiden-wakil presiden.

Gejala umum yang berkembang, misalnya ada satu kelompok tertentu yang melampiaskan aspirasi ‘ketiadaan dan ketidak-adilan’ akses ekonomi ini dengan bungkus identitas agama dan etnisitas. Secara lebih spesifik, dalam artikel Made Supriatma (2017) berjudul ‘Pasang Naik Populisme Kanan’, ditengarai dalam beberapa aksi demonstrasi terakhir di ibukota, keterlibatan milenial-muslim dari latar belakang kelas menengah ini cukup tinggi.

Berkaitan dengan hal ini, Ariel Heryanto dalam buku Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia menyimpulkan tiga ciri kelas menengah muslim di Indonesia, yaitu menjadi muslim yang taat yang berpegang pada landasan moral agama, menjadi warga negara yang terhormat dan bertanggung jawab, sekaligus menjadi anggota dari komunitas produsen dan konsumen global.

Menurut dia, kelas menengah muda perkotaan pada dekade pertama abad ke-21 ini berupaya merumuskan ulang identitas mereka. Inilah era di mana di satu sisi kebebasan dirasakan secara luas, namun di sisi lain menemukan banyak tantangan dan perdebatan.

Kalangan muda perkotaan ini berangkat dari latar belakang yang cukup beragam namun disatukan oleh ciri-ciri yang sama, yaitu tingkat pendidikan yang relatif tinggi, kemampuan ekonomi yang relatif mapan, selera kultural, pola konsumsi, dan ketertarikan terhadap persoalan-persoalan nasional dan internasional. Akses mereka terhadap dunia layar, seperti televisi, film layar lebar, internet, dan media sosial sangat terbuka sehingga aspirasi dan usaha merumuskan identitas itu berlangsung ramai dan sengit.

Tentu tidak relevan jika menyebut kelompok semacam ini sebagai radikalis-fundamentalis, atau label-label anti NKRI secara serampangan. Penyampaian pendapat, aspirasi dan keresahan di muka umum dijamin undang-undang, salah satunya tentu melalui demonstrasi-pengerahan massa.

Namun di tengah menguatnya gerak politik populisme kanan yang memanfaatkan identitas agama seperti ini, akan menjadi masalah lebih panjang apabila yang berkembang adalah sikap eksklusifisme dan kejumudan pandangan.

Dalam praktiknya, (bisa jadi) semua masalah termasuk pengangguran yang dialami milenial, akan disikapi dari sekedar perspektif sempit satu kelompok, dengan berbagai kecurigaan pada kekuasaan, segregasi identitas serta ras, tanpa ada diskusi ‘terbuka’ antar sesama pemilik elemen ‘bangsa’ guna membuka msalah secara gamblang.

Dalam terminologi Awkarin, kondisi ini secara asyik digubah jadi lirik lagu:

“Kalian semua suci, aku penuh dosa…. yiaaahhhh.”

Artikel ini pada dasarnya sekedar berusaha meng-inventarisir dan mengelaborasi berbagai topik terbaru yang tengah banyak diulas. Itu saja. Bagaimana prospek masa depannya?

Patut ditunggu.

Ashiappppp… Uh She Up..!!!!