Penulis: Ghofiruddin (Pegiat sastra dan literasi Trenggalek)
Ada apa dengan suara yang remang-remang di kejauhan belakang, yang menderum dengan begitu kasar hingga menggugah kesadaran yang telah lama tidur nyenyak dalam buaian. Suara apa itu yang kesantunannya tidak bisa ditawar dan justru bersikeras untuk menawarkan kenangan derita masa silam yang dipendam hanya untuk digubah menjadi sebuah tulisan yang setengah telanjang. Raga bergerak terus menerima kenyataan sekarang, pikiran mengarahkan suatu proyeksi yang masuk akal untuk masa depan, tetapi masa yang lampau masih saja tetap mengekang dengan sebuah senyuman jalang yang dicintai oleh seonggok utuh perasaan yang tidak peduli dengan keterputusan yang justru masih dianggap sebagai sesuatu yang paling menghubungkan. Penderitaan.
Maka, untuk itu aku terbangun lagi pagi ini, merasakan punggung yang pegal-pegal, serta denyutan yang menyodok dengan begitu keras di leher hingga kepala bagian belakang. Aku paksa untuk membuka mata seolah-olah di sana masih ada sebuah rasa yang tidak rela untuk melepaskan kenyamanan, untuk kembali kepada sebuah derita yang dengan sadar dialihkan kepada sebuah kesenangan-kesenangan yang segalanya hanyalah bersifat sementara. Dan, denyut itu menjalar ke seluruh kepala dan berkata untuk jangan pernah mencoba melepaskan ketergantungan kepada keberadaan benda yang bersifat alpa. Segala yang kaku telah menyeluruh di dalam tubuh hingga seluruh otot yang berada di puncak kekejangan tidak lagi bisa dirasakan oleh sebuah kehadiran yang mampu menggerakkan untuk sepenuh tegak menyerap kecupan pagi yang menyegarkan. Aku terpaksa kembali menghayati keterpejaman.
***
Aku benar-benar bangun dengan mengucapkan sebuah maaf untuk keterlambatan yang setengah disengaja, membiarkan matahari memenangkan sebuah perlombaan hingga ia telah berada di posisi yang sepenggalah tinggi. Aku duduk dengan malas di atas kasur yang tidak empuk dan menyandarkan tubuh dengan malas di dinding kamar yang penuh dengan coretan-coretan kata yang telah mengabur. Aku baca kembali coretan-coretan itu, dan mataku terpaku pada sebuah nama seorang perempuan yang aku telah kehilangan tempat untuk menikmati sebuah manis madu yang bersama dengan sendu mampu menghadirkan rasa untuk kembali menjadi satu.
Sejauh ini, sebab rindu yang tidak tahu malu ini, aku terpapar kepada sebuah pikiran bahwa aku bukanlah bagian dari sebuah kesebagian, dan bahwa aku yang dengan kesendirian yang masih tanpa ampun ini berada di dalam koridor perasaan yang mengatakan bahwa bagian ini, kepingan ini adalah bagian dari keseluruhan yang tidak bisa ditawar. Lagipula siapa yang mau menawar. Puncak keberadaan hanyalah untuk orang-orang yang siap menawarkan basa-basi –baik yang kosong maupun yang dipenuhi sebagian−, dan bukan untuk seorang pendiam yang di dalam relung perasaannya, di sebuah ceruk yang tidak dapat dijangkau sepasang mata, terlalu sibuk mengutak-atik tentang keberadaan sebuah ketulusan.
Dan tentang ketulusan ini, mau tidak mau aku menyerap kembali kenangan tentang sebuah nama yang terpajang di dinding itu. Sebuah nama dengan dua kata, yang mana dia memiliki nama depan yang berarti masa, waktu atau zaman. Sedangkan nama belakangnya adalah gabungan dua kata yang aku sendiri tidak mengetahui maknanya, hanya saja di sana terdapat sebentuk keindahan yang ditampilkan sepasang rima di setiap akhirnya yang akan membawakan sebuah lagu tentang rasa kasih dan cinta yang dibelenggu sedemikian rupa sehingga tidak akan pernah muncul di permukaan dan hanya sayup-sayup berenang dan menyelam bebas di kedalaman sambil tetap memandang wajah ayu yang akan semakin penuh dengan kasak-kusuk untuk memperjuangkan kehidupan.
Sementara apa yang hendak aku perjuangkan?
Semenjak aku mengenal kata cinta, yang paling sering mengaduk-aduk pikiran bukanlah tentang sebuah cita-cita untuk hidup bersama, untuk berbahagia dalam suatu pasang-surut antara suka dan duka. Aku adalah seorang pengecut idiot yang berusaha menyangkal –atau mungkin hanya sekedar mengalihkan− suatu kenyataan desiran di dalam diri yang sesungguhnya tidak bisa disangkal bahwa di sana ada ketertarikan, ada keterpautan yang jika dikekang secara berlebihan justru akan menekan kembali sebuah kedalaman.
Semakin dikekang, jiwa memiliki kemungkinan untuk berubah penuh menjadi liar dengan aliran darah yang menghitam. Dan keliaran itu bukanlah sesuatu yang menghantam. Keliaran itu adalah ketidakpedulian, sebab kepedulian telah disangkal atau dialihkan ke dalam sebuah pengertian bahwa ia hanyalah mengharapkan balasan yang setimpal. Dan, bukanlah suatu ketulusan jika cintanya masih mengharapkan sebuah balasan.
Aku hembuskan napas panjang kemudian, mencoba beringsut ke tepian untuk kembali menjejak kepada sebuah lantai keramik putih yang berdebu. Aku harus menundukkan kepalaku sebelum berdiri, memasukkan kembali bayangan ibu yang semenjak kepergiannya sebuah rumah ini hanyalah menjadi sebuah tempat singgah yang terasingkan, yang secara perlahan diakrabi oleh beraneka serangga yang ingin mendapatkan kehangatan.
Siapa lagi selain mereka?
Masing-masing yang pernah menjiwainya telah mendapatkan sendiri kehangatan mereka, membangun sebuah keluarga untuk diperanakkan dan dipersembahkan kembali kepada sebuah kelompok-kelompok yang diketuai oleh orang yang tidak pernah dikenal penuh oleh kesendirian yang merajalela.
Tidak apalah. Keresahan ini tidak terlalu mengkhawatirkan, dan aku juga tidak perlu khawatir dengan kekhawatiran yang berputar di sekeliling yang telah ditunggu oleh sebuah keraiban yang paling genit. Aku berjalan menuju pintu dan aku membukanya dengan sebuah harapan hembusan pagi mampu menyuguhkan kesegaran yang tidak perlu mendengki kepada sebuah suhu panas yang dipermasalahkan oleh jiwa-jiwa yang bergumul dengan bau busuk dunia di seberang jembatan peraduan. Dan, kehangatan matahari tidak memberikan apa-apa. Yang memberi, justru cahayanya, yang dengan kesilauan yang ditangkap oleh mata tidak lagi mendesakkan kata-kata untuk menakuti segala panas api neraka. Setidaknya bukan di dunia ini.
Dunia ini telah menjadi surga untuk orang-orang yang tinggal di seberang sana, dan di seberang yang sebaliknya adalah neraka yang benar-benar kentara. Distrik surga memiliki bangunan-bangunan tinggi menjulang yang mencakar dengan malu-malu batas langit yang tidak mau diganggu. Banyak kendaraan-kendaraan mewah berseliweran, penduduknya berpenampilan sangat elegan, dan lebih dari semua itu adalah keteraturan yang dijaga dengan sangat begitu ketat dengan segala rangsangan tontonan-tontonan budaya permukaan yang memuja segala perhiasan dunia dengan serta merta dan bertingkah menyapa untuk tidak mempertanyakan kenapa kemewahan ini seperti memiliki keanehannya. Ada yang tersembunyi di balik perbatasan sana.
Ya, di balik perbatasan itu adalah neraka yang dipenuhi oleh gubuk-gubuk reyot. Tanah-tanah di sana telah membusuk dan tidak lagi mampu menghasilkan sebuah penghidupan yang layak. Tanah-tanah itu terlalu banyak dicekoki racun. Dan, hutan-hutan di sana dihabisi, kebakaran besar yang menyebabkan kabut asap tebal adalah pemandangan yang biasa setiap hari. Tidak ada tidur nyenyak di sini. Penduduknya sibuk bekerja, membanting tulang siang dan malam, hingga tulang itu tidak lagi mampu menyangga tubuh untuk tetap tegak. Jika ada sedikit waktu luang yang mereka kerjakan adalah melakukan sebuah pengalihan; mengalihkan derita yang berkepanjangan dengan menyerap uluran tangan tuan-tuan raja kecil atau menatap hiburan-hiburan konyol yang dipasarkan oleh para tuan-tuan yang tinggal dan tidur nyenyak di surga yang terbentang di cakrawala yang telah melesap hanya di dalam angan-angan semata.
Lalu, aku sendiri, di manakah aku tinggal?
Tampaknya aku ini adalah salah satu di antara orang-orang gila yang tinggal di perbatasan, di sebuah rumah sakit jiwa yang diperuntukkan bagi orang-orang yang gemar menyerap sebuah sudut pandang tentang kebebasan untuk mondar-mandir di antara dua kutub yang saling bersinggungan, surga dan neraka. Terkadang aku ingin ke surga, tapi tampaknya peradaban surga tidak akan mengijinkan aku untuk tinggal di sana sebab orang-orang gila dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas yang sudah demikian tertata dengan mempertanyakan segalanya, terutama tentang kesenjangan yang ada. Jadi, aku lebih sering ke neraka untuk ngopi, yang ternyata sebagian penduduk di sana telah mampu membangun surga sederhananya sendiri. Kopi di sana juga sangat nikmat, hingga kenikmatannya mampu mengalihkan sebuah pikiran keparat yang telah lama memendam sebuah hasrat liar untuk minggat.
***
Sekali lagi, telah aku basuh kembali wajahku di pagi yang masih belum begitu sempurna aku kenali. Ada ‘kethep’ yang masih memaksa untuk melekatkan mata dan membisikkan sebuah pengabaian terhadap udara pagi dan sinar-sinar matahari yang mengandung vitamin yang sangat baik untuk tulang. Terdapat juga rasa lapar yang meniupkan hasrat malas untuk berjalan menuju sebuah warung makan langganan, sekedar untuk sarapan serta menikmati secangkir kopi hitam hangat untuk meredakan kesuntukan pikiran. Ada juga perasaan yang masih mabuk kepayang dengan kesendirian. Dia terlampau akut, sehingga berpapasan dengan para tetangga yang meregangkan tubuh di pinggir jalan sudah menjadi kalut pikiran di mana di sana setan membisikkan
“ah, lagi-lagi harus kupasang sebuah wajah tersenyum untuk menunjukkan sapaan dan keakraban”.
Namun sekali lagi perlawanan mendapatkan kemenangannya lagi, meski tidak dapat dipungkiri juga banyak sekali terdapat kekalahan-kekalahan yang tidak lagi terhitung. Tidak lagi teringat. Aku kini telah berjalan. Setelah membuka gerbang rumah bapakku yang kutinggali sendiri, yang berwarna hijau muda itu, aku menginjakkan kakiku di jalan yang baru dipaving beberapa bulan yang lalu setelah para pemuda memasang sebuah banner di pinggir jalan bertajuk jalan rusak parah. Aku melangkahkan kakiku sambil tetap berusaha terlihat santai dengan meregangkan kedua tanganku lebar-lebar ke kanan dan ke kiri. Otot-otot yang diregangkan, mungkin juga sekalian tulang-tulang yang dibalutnya bersuara bergemeretak dan memberikan sensasi rasa lapang untuk lebih leluasa bergerak. Mungkin kapan-kapan aku harus pergi dengan berlari-lari kecil supaya keringat mengucurkan kembali ketegangan-ketegangan yang telah terakumulasi selama beberapa hari setelah pertapaan menempuh jalan sunyi dihardik kembali oleh kejalangan naluri yang tidak bisa diabaikan.
Mau bagaimana lagi?
Ternyata aku belum terbiasa dan mungkin sesungguhnya tidak pernah ingin terbiasa untuk menjadi manusia yang tidak biasa.
Dan kali ini, banner atau spanduk yang berserakan bukan lagi banner atau spanduk dengan tajuk jalan rusak parah. Kali ini yang mendominasi di pinggir jalan adalah banner-banner dan spanduk bermuatan gambar para politisi dan slogannya. Mereka akan bersaing di pemilihan umum yang akan dilangsungkan sebentar lagi. Dan sungguh, ada sebuah kemuakan yang tiba-tiba muncul setelah memandang wajah-wajah santun yang tersenyum manis itu. Senyuman itu terlihat terlalu manis sehingga rasa manis yang ditampilkannya justru terasa begitu nyegrak di pandangan mata. Seperti cekikan yang membuai, kesadaran baru muncul di saat ada yang terasa berat di ulu hati, berkecamuk untuk melawan segala kaki-kaki bersepatu mengkilat yang harus senantiasa dijilati. Dan, kekalahan sekali lagi mungkin lebih berarti daripada kemenangan-kemenangan parsial yang menegangkan kembali tali-tali permukaan dengan begitu kuat untuk ditunjukkan kepada sebuah jalan keterputusan. Asa yang terputus.
Dan untuk itu jalanku pagi ini adalah penundukan. Aku telah sampai untuk berjalan melangkahkan kaki di sebuah jalan beraspal abu-abu di sebelah barat sana. Berjalan menuju utara dan mengamati setiap tepi di bawah kaki. Ada rumput-rumput yang tumbuh dengan liar yang lupa disiangi oleh para pemilik pekarangan. Ada pula tikus-tikus yang mati terkapar. Tikus-tikus yang terlampau sensitif terhadap sinar yang tiba-tiba muncul di kegelapan sebuah malam dan terhadap deruman suara yang mengantarkan kegelisahan yang teramat dalam. Ada tiang-tiang listrik yang tingginya tidaklah menjulang. Puncaknya masih dapat dijangkau oleh sepasang mata telanjang yang mencoba menggapai titik-titik di kejauhan yang teratas, atau yang terdepan. Ada anak-anak yang berlarian dengan senang di halaman depan sebuah sekolah dasar.
Dasar anak-anak, keceriaan mereka mampu menjejalkan kembali kepadaku seraut senyuman untuk ditenggelamkan kembali menuju sebuah harapan tentang persemakmuran dua insan, laki-laki dan perempuan.
Jadi lelaki ini –setelah memutuskan kebingungan yang biasa menghinggapinya− memutuskan untuk sarapan di sebuah warung makan sederhana yang juga biasa disebut dengan warung kopi. Ya, sarapan dan juga ngopi. Meskipun kenikmatan yang didapatkan hanyalah sebuah pengalihan, namun setidaknya di sana ada sebuah usaha untuk memecahkan kebuntuan yang didapatkan dari hawa-hawa lembab nan pengap yang telah merasuki pori-pori dan bersenyawa dengan permukaan hati yang mulai menjerit dan meminta untuk ditelanjangi. Tapi dia sungguh tidak akan membiarkannya. Setelah sarapan dengan seporsi nasi pecel berlauk rempeyek kacang goreng, dia sudah mulai menikmati sruputan pertama kopinya. Terdapat ketegangan yang masih merasuk dan mulai merajuk untuk tetap tinggal tatkala pengusiran yang dilakukan oleh kafein memasuki taraf kehangatan di dalam lambung.
Hatinya menangis dengan segala untung atas keputusan untuk berjalan kembali untuk menyimak percakapan orang-orang di warung ini. Ada yang dia kenali, dan banyak sekali yang tidak dia kenal. Sebuah perkenalan mungkin akan mengantarkan sebuah rasa sayang. Rasa sayang membawakan sebuah suasana keakraban yang sayang akan sangat menyakitkan jika harus berhadapan dengan sebuah perpisahan yang sesungguhnya. Ketakkenalan juga masih memungkinkan sebuah rasa sayang –sebuah rasa yang disayangkan kenapa tetap saja berdiam dalam sebuah pikiran egois untuk tetap berdiam dan menolak sebuah kemungkinan untuk memberikan pengorbanan ketika memasuki wilayah kompleksitas hubungan antar manusia. Ketakkenalan atau sebuah kemauan untuk tidak mau mengenal, sebuah pikiran yang terlampau takut untuk menerima sebuah kenyataan eksternal dan lebih memilih memasuki wilayah remang-remang yang semakin dalam semakin gelap dan hanya bisa diungkapkan dengan absurditas kata-kata yang diunggah di dinding-dinding media sosial untuk menunjukkan siapakah sebenarnya yang bukan kita. Ya, kita berdandan, berkasak-kusuk untuk memuja setinggi langit sebuah peradaban hyperrealita.
Sebuah mesin pencari yang dipanggil dengan kakek-kakek adalah yang pertama dibukanya untuk mencari update skor pertandingan sepakbola semalam. Puas dengan hasil yang didapatkan oleh sebuah tim setan merah hitam yang digandrunginya, dia beralih untuk membuka buku wajah yang dikemas dalam sebuah dinding putih biru untuk memeriksa pemberitahuan apa saja yang menghampirinya. Tidak ada yang istimewa; Puisi-puisi anak muda mengobrak-abrik dinding linimasa, potret-potret berwajah cerah mencoba menitikberatkan kepada sebuah eksistensi permukaan yang mengendapkan perlawanan kepada sebuah ketimpangan jauh ke dalam hingga melesap ke jebakan sebuah lubang cacing hitam, para pedagang individual yang beriklan setiap hari tanpa henti mencoba peruntungan dilabeli sebagai gangguan yang memancarkan bentuk ketidakjernihan yang mengecup sepercik keserakahan agar bayangan tetap dapat hidup untuk masa depan.
Sementara itu, dia yang menjadi aku –apa yang aku lakukan? O, ternyata aku telah mulai mengetik sebuah pernyataan untuk ditampilkan di sana setelah memandang potret perempuan itu bersama suami dan bayi kecil yang digendongnya tampak bahagia.
Aku mulai mengetik:
”demi masa, selamanya dia akan terus di dalam cinta.
tapi kali ini bukan untuk mendamba, bukan untuk menjalin
sebuah ikatan dalam batas-batas norma.
ini hanya tentang cinta.”
itu saja.
________________
Artikel sastra ini pertama kali dimuat pada:
https://sastratepian.blogspot.com/2019/04/demi-masa.html