Penulis: Ghofiruddin (Pegiat sastra dan literasi Trenggalek)
Pendahuluan
‘Hidup Hanya Menunggu Penggorokan’ adalah sebuah cerpen karya A. Muttaqin yang diterbitkan oleh Harian Kompas edisi 17 Mei 2015. Cerpen ini mengisahkan tentang anak tukang jagal yang memiliki kemampuan untuk mengerti bahasa binatang.
Meskipun begitu kemampuan unik yang dia miliki tersebut tidak membuat dia disegani oleh para binatang. Para binatang seperti bebek, ayam, kambing, sapi, bahkan kucing justru memanfaatkan hal tersebut untuk melabrak anak itu sebagai pelampiasan atas tingkah atau ulah manusia terhadap mereka.
Suatu hari, anak itu bertemu dengan seekor bebek yang mengatakan kepadanya bahwa hidup hanya menunggu penggorokan. Di hari yang lain, dia bertemu dengan seekor kucing yang juga mengatakan hal yang sama.
Bagi mereka dan juga binatang-binatang yang lain, memang hidup hanya menunggu penggorokan, yaitu sebuah penantian saat urat-urat di leher mereka digorok oleh manusia sehingga mereka mati dan dengan mudah akan dimanfaatkan demi kepentingan egois para manusia.
Perkataan bahwa hidup hanya menunggu penggorokan itu sangat mengusik hati kecil anak itu. Tapi bukannya menyadari maksud atau tujuan dari perkataan-perkataan itu, dia justru merasa jengkel dan berusaha menganiaya dua binatang yang mengucapkannya.
Di akhir cerita, anak itu harus menemui kenyataan pahit. Dia mendapati ibunya sendiri mati digorok lehernya oleh seorang pembantu yang sedikit memiliki kelainan jiwa. Anak itu seperti mendapatkan teluh dari perkataan binatang-binatang yang mengatakan hidup hanya menunggu penggorokan.
Dia juga merasa bahwa keluarganya seolah mendapatkan karma atas perbuatan mereka selama ini. Karma itu adalah barangsiapa yang suka menggorok, maka suatu saat gorokan itu akan terjadi juga pada dirinya. Entah itu dirinya sendiri yang tergorok, atau orang-orang lain yang dekat dengan orang itu, seperti kerabat. Dan, ayah dari anak itu adalah seorang tukang jagal.
Pertentangan Kelas: Penguasa vs Rakyat
Dalam pandangan Marxisme, realita sosial yang terjadi disebabkan oleh adanya pertentangan antara pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah interaksi. Pertentangan atau yang dikenal dengan istilah dialektika itu terjadi karena adanya perbedaan status sosial seperti status kepemilikan ekonomi, dan jabatan atau kekuasaan.
Dalam status kepemilikan ekonomi misalnya, akan terjadi pertentangan antara orang kaya atau pemilik modal dengan para pekerja atau para buruh yang notabene dapat dikategorikan miskin. Pemilik modal atau orang kaya biasanya akan terus mempertahankan kekayaannya dengan cara mempekerjakan orang-orang miskin dengan standar gaji yang rendah.
Para pekerja yang merasa tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan gaji ala kadarnya itu, tentu pada titik tertentu akan balik melawan, misalnya dengan melakukan demo seperti yang telah sering terjadi atau yang lebih ekstrem melakukan aksi boikot atau mogok kerja.
Jabatan, kekuasaan atau wewenang politik yang berbeda antara kelompok yang satu dengan yang lain juga cenderung menyebabkan adanya pertentangan tersebut. Permasalahan sosial inilah yang coba diangkat oleh penulis cerpen ‘Hidup Hanya Menunggu Penggorokan’ ini.
Di dalam penyampaiannya, penulis mencoba menggunakan simbol-simbol tertentu untuk merujuk kepada pihak yang berkuasa maupun yang dikuasai. Pihak yang berkuasa digambarkan sebagai manusia-manusia yang memiliki kelebihan dalam kapasitas akal dan pikiran sehingga mampu menundukkan alam beserta isinya untuk dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan, pihak-pihak yang dikuasai adalah para binatang yang tentu saja memiliki kapasitas akal dan pikiran yang lebih rendah dari manusia.
Selain penggambaran seperti yang telah disebutkan, dapat juga diambil sebuah analogi sebagai berikut:
Kelompok manusia di-analogikan sebagai kelompok orang yang memiliki jabatan, kekuasaan atau hegemoni untuk mengatur kehidupan orang banyak. Ayah yang berprofesi sebagai tukang jagal juga merupakan sebuah ibarat dari seorang pemimpin, atau lebih tepat jika disebut sebagai penguasa tiran atau diktator yang menggunakan kekuasaan dan kewenangannya untuk kepentingan pribadi dan golongannya yang di saat bersamaan membunuh secara perlahan orang-orang kebanyakan atau rakyat.
Kelompok berikutnya adalah kelompok binatang yang dapat dianalogikan sebagai orang kebanyakan atau rakyat kecil yang selalu mendapatkan penindasan dari pihak penguasa. Penindasan tersebut digambarkan dengan sebuah penjagalan atau penggorokan yang harus mereka terima tanpa mereka bisa melawan.
Penggorokan atau penjagalan hak-hak rakyat itu dapat kita temui di dalam kenyataan yang terjadi di republik ini, seperti maraknya pejabat-pejabat, politisi-politisi yang terjerat kasus korupsi sehingga merugikan keuangan negara hingga bertrilyun-trilyun rupiah yang pada akhirnya hanya berujung pada penderitaan rakyat karena uang yang seharusnya diberdayakan untuk pembangunan yang menyejahterakan rakyat telah masuk ke dalam kantong-kantong pribadi mereka.
Tokoh ‘aku’ dalam cerita ini dapat diibaratkan sebagai pihak penengah atau mediator yang menjembatani antara pihak yang berkuasa dengan pihak yang dikuasai atau pihak rakyat. Dengan kata lain, dia dapat diibaratkan sebagai anggota dewan wakil rakyat yang mendapatkan keistimewaan untuk mendengar segala keluh kesah atau aspirasi rakyat untuk disampaikan kepada para penguasa.
Namun keistimewaan itu tidak dia laksanakan dengan sebagaimana mestinya. Keluhan-keluhan rakyat justru membuat dia jengkel dan marah. Bukannya mencoba meringankan penderitaan rakyat, dia justru ikut terjerumus untuk menindas rakyat kecil.
Bisa juga tokoh ‘aku’ dalam cerpen ini adalah ibarat sebuah kelas menengah yang mendapatkan keistimewaan untuk mendapatkan pendidikan-pendidikan tinggi yang layak sehingga rakyat kecil berharap kepada mereka untuk mampu membawa angin perubahan untuk bangsa dan negara ini. Harapan itu disajikan dalam sebuah adegan di saat seekor bebek mengutarakan perihal nasib hidupnya yang sekedar menunggu sebuah penggorokan terhadap tokoh aku.
Pengaduan yang sama juga dilakukan oleh seekor kucing dan binatang-binatang yang lain. Namun tokoh ‘aku’ acuh terhadap keluhan itu. Para kelas menengah tersebut hanya mementingkan keadaan perutnya sendiri. Mereka bekerja keras hampir setiap hari untuk mengumpulkan perbendaharaan harta atau kekayaan, dan kemudian menghamburkan harta tersebut demi sebuah gaya hidup konsumtif nan hedonis, bukan digunakan untuk melakukan pemberdayaan terhadap rakyat kecil yang sangat membutuhkan uluran tangan mereka.
Rakyat kecil yang notabene adalah mayoritas itu, yang merasa ditindas oleh penguasa, dan diacuhkan oleh golongan kelas menengah yang memiliki kemampuan untuk mediasi atau menjembatani, akhirnya tersadar untuk melakukan perlawanan. Jiwa para binatang berkumpul dan menjelma menjadi sosok Siti Tillis, seorang pembantu yang memiliki kelainan jiwa, atau dengan kata lain rakyat kecil menghimpun diri dalam sebuah aksi anarkis yang akhirnya membunuh sosok ibu.
Sosok ibu akhirnya mati, dan kematian ini merupakan ibarat dari sebuah kematian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ibu atau lebih lengkapnya ibu pertiwi adalah sosok yang memberikan kehidupan bagi anak-anaknya, tempat mereka bernaung dan menautkan sebuah doa dan harapan untuk masa depan negeri yang cemerlang.
Dan, jika ibu sendiri mati, di mana kehidupan akan menempati dirinya sendiri? Dengan kata lain, sudah tidak ada lagi kehidupan, yang ada hanya hingar bingar atau sebuah kebuasan dan kebiadaban untuk saling memangsa satu sama lain.
Kesimpulan
Dari cerita pendek tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk mewujudkan keadilan sosial dan juga harmoni di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pihak yang berkuasa haruslah menjadi pemimpin yang mau mendengar aspirasi dan keluh kesah rakyatnya.
Kemauan untuk mendengar itu akhirnya mengarahkan kepada sebuah ide-ide pembangunan yang berbasis kepada kepentingan rakyat banyak, dan bukan sebagian orang yang memiliki modal untuk melobi kebijaksanaan.
Golongan kelas menengah pun juga seharusnya mampu untuk mengendurkan sedikit-banyak ego individualistisnya untuk bergerak bersama-sama rakyat atau sekedar menjadi jembatan sehingga tidak ada jurang menganga yang memisahkan antara golongan yang di atas dan di bawah.
Jembatan itulah yang akan menjadi jalan bagi rakyat kecil untuk menemui penguasa atau pemimpinnya, dan jembatan itu pulalah yang akan dilalui para pemimpin untuk menemui dan mendengar keluh kesah nasib rakyatnya.
***********
Artikel sastra ini pertama kali dimuat pada:
https://sastratepian.blogspot.com/2019/01/hidup-hanya-menunggu-penggorokan.html