Indonesia adalah negara penghasil kopi terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Vietnam. Data ICCRI pada tahun 2011 mencatat bahwa produksi kopi indonesia mencapai 600 ribu ton/tahun dengan 80% nya dihasilkan dari perkebunan rakyat dan memeliki kecenderungan untuk bertambah seiring masifnya perkembangan perkebunan kopi baru di Indonesia.
Nilai ekspor kopi indonesia mencapai US $ 817 juta pada tahun 2018, yang terdiri dari ekspor biji kopi, kopi instan maupun olahan kopi lainnya [Lokadata Beritagar, 2019].
Perkembangkan kopi yang prospektif juga bisa dilihat dari perkembangan harga kopi dunia yang terus meningkat sejak tahun 2002 meskipun pada tahun 2012 harga kopi baik arabika maupun robusta mengalami penurunan.
Kopi sendiri lebih identik dengan jenis minuman meskipun sebenarnya kata tersebut lebih tepat dan lebih benar menunjuk pada beberapa jenis tanaman penghasil buah kopi (bahan baku minuman kopi). Minuman kopi sendiri sudah dikenal oleh manusia sejak berabad-abad yang lalu dan mulai berkembang di Eropa dengan munculnya cafe yang diambil dari kata coffee (penyebutan kopi di eropa) itu sendiri.
Dikutip dari blog lembaga swadaya Bintari (2018), diketahui bahwa pembudidaya tanaman kopi umumnya ialah masyarakat pegunungan atau dataran tinggi yang secara kebetulan berbatasan dengan hutan atau kawasan hutan meskipun sebetulnya secara ekogeografi tanaman kopi memiliki distribusi atau wilayah persebaran yang cukup luas yakni mulai dari ketinggian 0 mdpl-2000 mdpl.
Beberapa jenis memang membutuhkan kriteria tertentu untuk bisa tumbuh secara optimal seperti jenis arabika yang dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian diatas 1000 mdpl. Iklim dan tanah juga mempengaruhi pertumbuhan kopi secara optimal. salah satu unsur iklim yang sangat berpengaruh ialah curah hujan.
Kopi merupakan komoditi yang lekat dengan kehidupan masyarakat pegunungan bahkan merupakan salah satu sumber penghasilan utama bagi mereka. Kopi menjadi minuman yang harus ada dan selalu dijumpai dalam setiap aktivitas sosial masyarakat baik itu kongko-kongko, rembug warga, maupun sebagai jamuan.
Kopi juga memberikan kesempatan bekerja bagi masyarakat sekitar perkebunan sebagai tenaga petik kopi saat memasuki musim panen terutama saat musim panen raya yang biasanya jatuh pada bulan Juli-Agustus.
Begitu tak terpisahkannya kopi dalam kehidupan masyarakat kita sampai-sampai banyak kajian, tulisan dan karya yang berkaitan dengan minuman tersebut atau sengaja mengkaitkannya meskipun tidak memiliki hubungan sama sekali.
Di atara banyak kajian atau karya tersebut ialah Filosi Kopi sebuah novel karya Dewi Lestari yang baru-baru ini telah difilmkan dengan judul yang sama dan telah rilis pada april 2015. Bisa disebut ngopi adalah bagian dari kebudayaan kita.
Peduli pada Pengolahan Kopi yang Ramah Lingkungan
Perkembangan kopi saat ini sangat pesat bahkan permintaan dunia atas komoditi kopi terus meningkat dari tahun ketahun bahkan diprediksi terus meningkat seiring dengan bertambahnya penikmat kopi.
Dengan pertumbuhan pasar yang sedemikian pesat maka akan mendorong banyak pihak terutama petani kopi sendiri untuk membuka lahan guna memperluas areal perkebunan kopi dan meningkatkan produktivitasnya dengan berbagai cara meskipun hal itu tidak ramah lingkungan.
Gejala ini bisa dilihat dari proses pembukaan hutan, alih fungsi lahan dan penggunaan bahan-bahan kimia sebagai sarana produksinya seperti penggunaan pupuk dan pestisida kimia.
Sementara itu para petani kopi saat ini belum mempraktekan sistem pengelolaan kopi yang zero waste atau clear coffee management yakni suatu sistem pengelolaan kebun kopi yang mendasarkan pada prinsip efisien, efektif, dan hemat energi serta renewable seperti pemanfaatan limbah kopi sebagai kompos, pakan ternak atau lainnya dan dalam pengolahan biji kopinya harus hemat energi.
Dengan kata lain tantangan selanjutnya ialah bahwa praktek pengolahan kopi belum ramah lingkungan dan belum menjamin keberlanjutannya bagi kehidupan masyarakat dan petani itu sendiri.
Geliat Bisnis Kedai Kopi Kekinian
Beberapa tahun terakhir, bisnis kedai kopi kekinian tumbuh pesat. Hampir di setiap kota bermunculan merek baru ataupun hasil waralaba dengan berbagai merek kedai kopi ternama. Kedai kopi sendiri memiliki sejarah panjang. Mark Pendergrast dalam bukunya berjudul Uncommon Ground (1999), membahas perjalanan kopi, mulai dari masa Abyssinia hingga era kopi gelombang ketiga yang bermula pada dekade 1990-an.
Pendergrast menulis tentang kemunculan kedai-kedai kopi di Greenwich Village, New York, kawasan berkumpul para seniman. “Pada pertengahan 50-an,” tulisnya, “kegilaan terhadap espresso telah menyebabkan kebangkitan kedai-kedai kopi kecil terutama di Greenwich Village tempat para bohemian, penyair, seniman, dan beatnik bisa menyesap espresso di Reggio’s, the Limelight, atau di the Peacock.”
Kehadiran kedai kopi kecil di New York ini lantas menyebar ke kota lain, termasuk San Francisco.
D Indonesia, sebuah artikel di Tirto.id mengulas seberapa besar omzet dari bisnis ini. Menurut laporan SWA pada Desember 2018, Kopi Kenangan, salah satu pemain utama di kedai kopi kekinian, berhasil menjual sekitar 200 ribu gelas dari 16 gerainya.
Jika mengambil patokan harga terendah, Rp18 ribu per gelas, omzet kotornya mencapai Rp4 miliar per bulan. Dengan pertumbuhan kencang ini, target besar mereka canangkan: bisa menjual 1 juta cup per bulan pada 2019.
Begitu juga di Fore Coffee. Meski baru berdiri pada 2018, kedai kopi ini langsung tekan pedal gas dalam-dalam. Menurut Elisa Suteja, pendiri sekaligus Deputy CEO Fore Coffee, mereka berhasil menjual ratusan ribu cup per bulan—diperkirakan sekitar 300 ribu cup—dari 35 gerai. Mereka bahkan tak hanya memosisikan diri sebagai kedai kopi, melainkan perusahaan rintisan.
Selain permintaan kopi yang tinggi, daya tarik bisnis kedai kopi juga didorong dari margin keuntungan yang cukup besar. Rata-rata margin keuntungan dari kedai kopi mencapai 35-40 persen dari total penjualan.
Pangsa pasar kedai kopi masih terbuka lebar. Pasalnya, kebutuhan akan kedai kopi masih akan terus tumbuh setiap tahun. Hal ini juga didorong dari gaya hidup generasi milenial yang gemar berkumpul. Menurut Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) menilai pangsa pasar yang dapat digarap pelaku kedai kopi masih terbuka lebar mengingat tingkat konsumsi kopi di dalam negeri terus meningkat.
“Dulu, tingkat konsumsi kopi masyarakat Indonesia itu 0,8 kg per kapita. Tahun lalu, sekitar 1,2 kg per kapita. Tahun ini, mungkin bisa sampai sekitar 1,4-1,5 kg per kapita,” kata Pranoto Sunarto, Wakil Ketua Badan Pengurus Pusat AEKI (dikutip dari Tirto.id)
Meningkatnya tingkat konsumsi kopi juga tidak terlepas dari gaya hidup masyarakat urban yang gemar berkumpul. Dari dua faktor tersebut, bisa dibilang prospek bisnis kedai kopi di masa mendatang masih sangat menjanjikan.
Meski begitu, menjamurnya kedai kopi baru membuat bisnis kopi malah menjadi tidak sehat. Pasalnya, AEKI menemukan banyak kedai kopi yang berukuran terlampau kecil, atau kurang memadai, dan menjual kopi dengan harga tinggi.
Kedai kopi yang baik setidaknya harus mampu memberikan pengalaman yang menyenangkan bagi pengunjungnya, mulai dari tempat yang keren, ruang yang luas, hingga disediakannya wifi. Jadi tidak bisa cuma jual kopi saja.
Secara jangka panjang, bisnis kopi memang menjanjikan. Tinggal bagaimana pemilik kedai kopi dapat mengemasnya menjadi lebih menarik. Apabila tidak mampu, menggandeng mitra yang berpengalaman bisa menjadi solusi yang tepat.