Korean pop atau dikenal dengan istilah K-pop semakin mendunia, tidak hanya di benua Asia, tapi juga di benua Eropa dan Amerika. Dilansir dari bloomberg.com (2017), pada tahun 2016 pendapatan K-pop dari pasar global mencapai rekor sebesar USD4,7 milyar atau sekitar Rp66,8 triliun.

Pendapatan ini memberi stimulus luar biasa untuk ekonomi Korsel. Ekspor komoditas budaya dan konsumen naik setidaknya 2% dari total pertumbuhan ekspor negara tersebut.

Kini, jika Amerika punya Taylor Swift, Ariana Grande dan Maroon 5, Korea Selatan (Korsel) juga memiliki nama besar yang tidak kalah populernya seperti BTS, EXO, dan tentu saja BlackPink.

SEKILAS K-POP

Budaya populer Korea telah menyebar popularitasnya di Asia Timur dan Tenggara. Penyebaran budaya populer Korea ini biasa disebut sebagai gelombang Korea, atau “hallyu,” seperti yang disebut di Korea Selatan (Shim, 2006)

Istilah ini mencakup musik, drama, film, dan produk budaya Korea. Ryoo (2009) meng-atribusikan kenaikan popularitas awal untuk ekspor drama Korea, disebabkan populernya drama berjudul Winter Sonata di seluruh negara Asia. Sisa-sisa popularitas Winter Sonata menghasilkan kesuksesan drama lain seperti ‘A Tale of Autumn’ di Malaysia, dan ‘Lovers’ in Paris di Vietnam.

Pada tahun 2002, muncul istilah “South Korean Model“, suatu gagasan bahwa industri budaya dapat mengarah pada pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, pada akhir tahun 2002, gelombang Korea berarti lebih dari sekadar musik dan drama pop Korea; itu berarti kekuatan budaya dan ekonomi baru (Ko, 2005).

Dengan liberalisasi dan perkembangan media pada 1990-an, media Korea menjadi respons terhadap dominasi budaya global.

Secara historis, sejak lama telah terjadi hegemoni budaya Barat. Namun, film seperti Sopyonje pada tahun 1993 mengalihkan minat publik pada ‘budaya Korea’ karena film ini menyoroti tradisi musik rakyat tradisional Korea.

Pada akhir 90-an, Shiri menciptakan perhatian luas, yang menyebabkan meningkatnya minat pada budaya sebagai industri (Shim, 2006). Meskipun industri film Korea mengadopsi slogan ‘Learning from Hollywood’, mereka menambahkan karakteristik mereka sendiri ke industri budaya khas Amerika.

Dengan demikian, film dan drama Korea menggunakan tema yang lebih cocok dengan pengalaman penonton Asia daripada hiburan Barat. Tema umumnya berhubungan dengan masalah keluarga, dan masalah cinta, kesalehan anak, dan nilai-nilai Konfusius sering ditangani dalam dunia teknologi yang berubah (Ryoo, 2009).

Drama Korea menganut paradoks kepatuhan pada keluarga dan menemukan individualisme di dunia yang berubah. Keseimbangan paradoks inilah yang membuat drama Korea populer dengan negara-negara tetangga (Chua, 2004)

Meskipun seringkali drama Korea dikritik karena kurangnya ‘terasa Korea’ (Baozi, 2001), atau tidak ‘asli Korea’, seperti yang mungkin dipikirkan oleh beberapa orang Korea sendiri, hibridisasi budaya terjadi ketika aktor menegosiasikan identitas budaya mereka sendiri ketika berinteraksi dengan bentuk  budaya global (Shim, 2006).

Dari perspektif ini, globalisasi melahirkan hibridisasi kreatif yang bekerja untuk mempertahankan identitas lokal dalam konteks global.

Menurut artikel Soesmanto (2018), kesuksesan K-pop tidak terjadi secara kebetulan. Kesuksesan ini terjadi karena pemerintah berhasil secara efektif menerapkan teori pertumbuhan makroekonomi dalam mendukung perkembangan K-pop.

Industri musik di Korsel bertumbuh secara maksimal sejalan dengan pengembangan tiga hal penting yang menjadi titik berat dari teori tersebut, yaitu: sumber daya penunjang, sumber daya manusia, dan teknologi.

Setelah krisis moneter Asia 1998, pemimpin Korsel mengambil langkah strategis dalam memakai musik untuk membangun citra dan dampak kultural negara tersebut. Pemerintah Korsel mengalokasikan jutaan dolar untuk membentuk kementerian kebudayaan dengan satu departemen khusus untuk K-pop.

Satu daerah di Seoul yang bernama ChangDong dikembangkan untuk menjadi pusat K-pop. Gedung konser, studio rekaman, galeri seni, restoran, dan toko ritel dibangun di distrik tersebut untuk menopang pertumbuhan K-pop.

Pembangunan gedung pertunjukan Seoul Arena terus berlangsung dan akan selesai tahun 2020. Gedung ini akan menjadi gedung pertunjukan seni terbesar di Korsel dengan kapasitas tempat duduk 20.000 orang.

Dalam pengembangan sumber daya manusia, tiga perusahaan rekaman di Korsel (SM, YG dan JYP) menjadi yang terdepan dalam penggalian bakat idola K-pop.

Bakat-bakat ini digembleng elama beberapa tahun sebelum memulai karir mereka di industri musik. Pelatihan yang diberikan tidak hanya mencakup menyanyi atau menari, namun juga penguasaan bahasa asing dan komunikasi publik.

Teknologi juga punya peranan penting dalam menunjang pertumbuhan K-pop. Di tempat-tempat publik di kota Seoul tersedia wifi gratis. Dengan teknologi wi-fi, streaming lagu dan video K-pop jadi lebih mudah. Hal ini tentunya menunjang kepopuleran musik K-pop dan penjualan tiket konsernya.

DAMPAK K-POP PADA SEKTOR INDUSTRI LAIN

Fenomena budaya ini berdampak signifikan untuk menaikkan pamor produk-produk Korsel. Pengaruh K-pop berdampak positif untuk industri Korsel yang lain, terutama industri pariwisata dan manufaktur.

Penelitian dari Universitas London memperkirakan bahwa Korsel mendapat $5 untuk setiap $1 yang diinvestasikan dalam pengembangan K-pop. Hal ini dimungkinkan karena dari apa yang dihasilkan dari penjualan musik berpengaruh juga terhadap penjualan produk Korsel yang lain seperti ponsel atau televisi dari Samsung dan LG.

Budaya populer Korea, tren utama di pan-Asia (Onishi, 2005), telah memperluas pengaruhnya ke AS, Timur Tengah, dan Eropa. Popularitas baru meningkatkan keakraban dengan Korea dan meningkatkan kesadaran merek Korea di antara konsumen internasional (Cha dan Kim, 2011).

Berdasarkan gagasan ini, perusahaan Korea di pasar global, seperti Samsung dan LG, mengembangkan “strategi kolaborasi” dengan budaya populer Korea dalam upaya untuk mempromosikan merek dan produk mereka (Chosun Daily, 2012).

Berbagai penelitian membuktikan dampak budaya populer Korea dalam mempromosikan produk-produk Korea. Sebagai contoh, beberapa penelitian mengidentifikasi, di Jepang dan HongKong, pengaruh drama televisi Korea yang populer, Winter Sonata dan Daejanggeum, pada niat konsumen untuk mengunjungi Korea dan gambar Korea sebagai tujuan yang diinginkan (Han et al., 2011; Su et al., 2011; Kim dan Kim, 2009).

Demikian pula, efek budaya populer Korea pada preferensi untuk produk Korea, seperti kosmetik dan ponsel, memperoleh verifikasi di Jepang dan Cina

Sebuah penelitian berjudul “The effects of likability of Korean celebrities, dramas, and music on preferences for Korean restaurants: A mediating effect of a country image of Korea dilakukan oleh peneliti Bumjun Lee. et.al terhadap 2836 penduduk di empat kota internasional (Hong Kong, Bangkok, Sydney, dan Dubai) menunjukkan bahwa:

Kesukaan atau pengidolaan masyarakat global kepada para selebriti Korea memiliki pengaruh paling signifikan terhadap citra negara Korea, diikuti oleh drama televisi Korea, tentu juga musik populer Korea mempengaruhi citra Korea.

Temuan penelitian tadi juga menunjukkan bahwa citra negara Korea secara positif mempengaruhi preferensi untuk restoran Korea. Secara khusus, makanan Korea telah mendapatkan popularitas di seluruh dunia, dan konsumen di seluruh dunia telah mengungkapkan minat dalam budaya makanan Korea (Seo et al., 2012).

Sebuah laporan dari National Restaurants Association pada tahun 2011 menunjukkan bahwa masakan Korea berada di peringkat ketujuh di antara masakan etnis yang trendi dan flor, yang mengalahkan masakan Amerika Latin dan Mediterania.

Persentase ini telah meningkat sebesar 12% dari tahun sebelumnya sehubungan dengan preferensi untuk makanan Korea, yang didorong di pasar global oleh atribut yang sehat dan nutrisi seimbang (Jang et al., 2012).

INDONESIA BELAJAR DARI KOREA SELATAN

Presiden Joko “Jokowi” Widodo memulai pemerintahannya di tahun 2014 dengan memasukkan industri kreatif sebagai prioritas.

Pemerintah membentuk divisi ekonomi kreatif, Badan Ekonomi Kreatif, untuk mendukung perkembangan berbagai industri kreatif, dari kuliner, fashion, seni rupa, musik, dan yang lain.

Sektor kuliner memberikan kontribusi terbesar untuk ekonomi kreatif, sekitar 42%. Sedangkan kontribusi musik (sebagai contoh) sangat kecil di kisaran 0,47% Hal ini menunjukkan banyak hal yang pemerintah masih bisa lakukan untuk lebih menggali potensi sektor musik.

Dengan potensi yang begitu besar, Indonesia selayaknya belajar dari Korsel dalam penerapan langkah-langkah strategis dalam mengembangkan industri kreatifnya dan membawanya untuk menjadi sensasi dunia.

Indonesia bisa diuntungkan dengan pendanaan lebih dari pemerintah untuk mengembangkan sumber daya manusia, sumber daya penunjang dan juga teknologi yang berhubungan dengan industri kreatif. Ekspansi strategis berupa perluasan pasar industri kreatif Indonesia ke negara tetangga di Asia Tenggara adalah satu hal yang harus di lakukan.

K-pop sudah mulai mendominasi pasar industri kreatif dunia. Hal serupa juga harus dilakukan Indonesian pop atau I-Pop.