Oleh : Faizul Iqbal (Mahasiswa, Pegiat Literasi Malang)

Beberapa hari lalu, media-media nasional dan internasional sibuk memberitakan aksi demonstrasi besar-besaran di tanah papua. Gejolak konflik yang meluas di beberapa kota di provinsi Papua barat dan provinsi Papua diawali dari penangkapan sekelompok mahasiswa asal Papua di Surabaya dan aksi “perang” batu mahasiswa Papua di malang.

Api konflik semakin tersulut ketika beredar video rekaman oknum aparat yang melakukan rasisme dengan panggilan “mo*yet”. Buntutnya, aksi unjuk rasa yang berakhir ricuh menggelora di seantaro tanah Papua.

Sempat kondusif, aksi serupa kembali digelar dengan jumlah massa yang lebih banyak. Kali ini aksi juga diselenggarakan di hampir seluruh kota-kota besar tak terkecuali di ibukota Jakarta. Isu-isu lama mulai diangkat seperti penembakan warga sipil di Nduga dan ketimpangan pembangunan yang dirasakan.

Bendera (separatis) bintang kejora mulai dikibarkan dalam gelaran demonstransi. Massa yang sulit terkendalikan bahkan merusak fasilitas publik dan membakar kantor instansi pemerintahan dan BUMN.

  1. Apa yang sebenarnya terjadi di tanah papua, mengapa sangat mudah tergoyah oleh sebuah isu atau fenomena?
  2. Apa latar belakang gigihnya kelompok separatis organisasi papua merdeka (OPM) menginginkan lepas dari NKRI?
  3. Apakah ada intervensi asing dalam konflik puluhan tahun disana ?

 

ETNOSENTRISME DAN PRIMORDIALISME

Jika kita merujuk kepada dinamika politik pasca reformasi, konflik horizontal kita seringkali merujuk dari semangat rakyat yang mengusung semangat etnisitas (kesukuan) dan melepaskan diri dominasi suku bangsa maupun subkultur lain di satu wilayah.

Gejala etnosentrisme menganggap bahwa suku, ras, agama dan kelompoknya lebih baik dalam berbagai sifat dan perilaku dibandingkan kelompok lain (Samovar, Porter, dan Jain, 1988).

Sedangkan primordialisme merupakan kondisi atau keadaan terkait kepercayaan, adat istiadat, nilai-nilai yang ditanamkan di lingkungan pertama.

Memang secara faktual setiap kelompok etnik memiliki karakteristik sendiri, tetapi bukan berarti lebih baik atau lebih hebat dari etnik lain. Kondisi ini cenderung akan menggiring masyarakat ke dalam arus polarisasi.

Menurut Fredrik Barth (1988) Kelompok etnik memiliki budaya tersendiri dengan ciri-ciri sebagai berikut :

  1. Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan
  2. Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam satu bentuk budaya
  3. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri
  4. Menentukan ciri kelompok sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dibedakan dari kelompok populasi lain.

Dari ciri-ciri diatas kita bisa memandang bahwa konflik di Papua tak bisa terlepas dari faktor fundamental mengenai etnosentrisme dan primordialisme. Masyarakat papua dan sekitar yang memiliki ras Melanisia menganggap Indonesia yang didominasi ras mongoloid tidak cocok atau kurang adanya kesesuaian baik secara adat istiadat, nilai-nilai, serta aspek sosial masyarakat.

Kondisi serupa juga terjadi di seluruh wilayah di Indonesia yang terdiri dari lebih dari 3000 etnik dan sub-etnik. Inharmonisasi dan konflik horizontal dianggap Konsekuensi masyarakat Indonesia yang multikultural.

KEMISKINAN DI ‘TANAH SURGA’

Siapa tak mengetahui tambang emas, perak dan tembaga terbesar di dunia di pegunungan Ersbetz. Perusahaan yang mendapat ijin operasi melalui Kontrak Karya (KK) ini pasca disahkannya UU PMA 1967 di era soeharto telah menjadi satu ironi tersendiri.

Pajak dan royalti yang begitu besar dari keuntungan tambang yang mengalir ke Jakarta kurang diiringi dengan pembangunan terhadap tanah papua.

Walaupun PT. Freeport Indonesia mengklaim telah menggelontorkan pembangunan berkelanjutan sebanyak USD 110 juta dan USD 86 juta untuk dana Corporate Sosial Responsibility, nyatanya Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Provinsi Papua menjadi wilayah dengan angka kemiskinan tertinggi di Indonesia pada Maret 2019 dengan 27,53%.

Angka ini meningkat 0,1% dari September 2018 yakni sebesar 27,43%. Sebagai perbandingan, angka kemiskinan nasional berada pada angka 9,47%. Angka kemiskinan di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan pedesaan.

Lebih jauh, kemiskinan di perkotaan selalu mengalami kenaikan sejak September 2017. Pada Maret 2019 mengalami kenaikan sebesar 0,19% dibanding September 2018 menjadi 36,84%.

Sementara itu, kemiskinan di pedesaan sempat mengalami penurunan dari September 2017 sebesar 4,55% hingga September 2018 sebesar 4,01%. Namun pada Maret 2019, kemiskinan di pedesaan kembali naik 0,25% menjadi 4,26%. (Badan Pusat Statistik 2019).

Hasil paparan data di atas menunjukkan sebuh kegagalan peran pemerintah pusat dan daerah memajukan daerahnya. Kritikan yang sama juga digulirkan mengingat besarnya dana otonomi khusus bagi daerah tertinggal seperti Aceh dan Papua.

Sekedar informasi, dana otonomi khusus bagi Papua tercantum di dalam pasal 34 ayat 3 huruf c poin 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Disebutkan, dana otonomi khusus Papua dihitung sebesar 2 persen dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) yang berlaku selama 20 tahun sejak peraturan tersebut diterbitkan.

Dana otonomi khusus yang digulirkan tentu harus memiliki alokasi masing-masing. Untuk kesehatan, perbaikan gizi, pembangunan infrastruktur hingga membangun perekonomian berbasis kerakyatan. Dengan jumlah uang yang begitu banyaknya, tak heran jika kejadian gizi buruk dan kemiskinan ini membuat banyak pihak mempertanyakan efektivitas dana otonomi khusus Papua.

 

MERAMU PERDAMAIAN DI PAPUA

Keberanian OPM memperjuangkan kemerdekaan Papua, tentu juga berdasar ‘kelezatan’ sumber daya alamnya yang sangat kaya akan mineral tambang. Kelompok ini bergerak secara separatis dan gerilya.

Seringkali melakukan kontak senjata dengan aparat dan warga sipil pendatang. Mereka merasa Indonesia tak lebih sama dengan penjajah macam Belanda dan jepang. Kelompok OPM juga menyebut Indonesia bagian dari neo-kolonialism dan Neo-Imperialism.

Dalam sejarahnya, perseteruan antara OPM dan pemerintah Indonesia telah berlangsung dari era Soekarno, walaupun dimasa itu Gerakan OPM sangat terbatas. Pasca orde baru berkuasa, pemerintah kian gencar menggunakan pendekatan represif guna meredam pemberontakan yang terjadi di wilayah Papua, Aceh dan Timor-Timur.

Pertikaian Panjang yang tak berpangkal menandakan pendekatan represif bukan jalan terbaik bagi sebuah upaya penyelesaian konflik.

Angin segar reformasi telah melahirkan pemimpin baru presiden KH. Abdurrahman Wahid. Beliau memberikan pendekatan berbeda dengan memberikan kebutuhan dan keinginan akan keadilan tercipta bagi masyarakat papua.

Dengan prinsip personal, persuasive, dan empati, Gus Dur ingin memberikan hak kelayakan bagi warga Papua untuk mengatur urusannya. Maka lahirlah UU Otsus bagi daerah rawan konflik seperti Papua dan Aceh.

Penghormatan Gus Dur juga ditunjukkan dengan diperbolehkannya pengibaran bendera bintang kejora dengan syarat harus berada lebih rendah dari bendera Indonesia. Senada dengan teori Abraham Maslow mengenai motivasi, seorang manusia harus terpenuhi secara fundamental kebutuhan fisiologisnya, rasa aman, kasih sayang dan pengahargaan, sebelum seorang individu mencapai aktualisasi diri.

Masih menurut Gus Dur, penawaran sumpah setia kepada NKRI akan diterima mudah jika warga Papua mendapatkan hak yang sama sebagai warga negara republik Indonesia, yaitu mendapatkan hak kebebasan, pendidikan dan penghidupan yang lebih layak.

Semoga kedepan perdamaian kian terjaga dalam naungan NKRI tercinta.

(Wallahu a’lam bisshawab)