Oleh : Hattanicus*
Diputuskannya hari santri nasional beberapa tahun terakhir merupakan salah satu peristiwa besar bagi negara Indonesia. Hal ini juga sebuah kebanggaan bagi santri atas penghargaan sekaligus pengakuan negara secara formal, terhadap sejarah perjuangan santri.
Sejauh periode Orde Baru, oknum penguasa yang ingin eksis memimpin di atas benar-benar menutup mata pada elemen kecil, termasuk santri, yang mana telah menyumbang segala kemampuan untuk kemerdekaan Indonesia.
Selama orde tersebut, unsur-unsur dominan diakui hanya yang muncul di permukaan saja. Unsur yang tersembunyi dibiarkan tak diperkenalkan dalam sejarah negara. Oleh karenanya, generasi santri saat ini dengan posisi strategis, harus diaktualisasi denngan mengambil peran untuk ikut membangun negara Indonesia.
Para santri juga harus tetap berkomitmen menjaga nama baik mereka, yang saat ini telah tersemat sebagai peringatan hari besar nasional. Di sisi lain, orangtua kini mulai menggeser paradigma kuno yang menganggap bahwa menempatkan anaknya di pondok pesantren hanya karena anak mereka dinilai nakal.
Orangtua mulai beralih pada pandangan baru yang mengatakan bahwa pondok pesantren adalah institusi pendidikan berdasar keagamaan yang tepat untuk membentuk jati diri dan nilai budaya anak mereka, yang secara langsung maupun tidak langsung membentuk kepribadiaan santri yang berakhlak mulia dalam bertutur kata dan berperilaku.
Ketika fenomena perayaan hari santri ini dibenturkan denga sifat zuhud yang telah menjadi identik di kalangan santri. Secara hemat penulis, pengertian zuhud adalah menjauhi sifat keduniawian, sehingga mendekatkan ke urusan akhirat.
Bagi kami, hubungan antara aktualisasi dari negara dengan sifat zuhud yang selalu berusaha dibangun dalam diri santri tidak berpengaruh pada munculnya sifat riya’ hanya karena dikarenakan pengakuan hari santri oleh negara tersebut.
Sebab kita memandang peringatan hari santri sebagai penghormatan untuk kyai dan santri terdahulu atas segala perjuangan yang beliau berikan. Selain menjadi refleksi, hari santri juga merupakan respon positif dari peningkatan prestasi pondok pesantren dalam mencetak manusia yang berakhlak mulia.
Harapannya pondok pesantren tetap memegang teguh budaya baik yang diwariskan oleh pendahulu dan membuat budaya baru yang melengkapi prinsip yang dibangun bersama demi kemaslahatan umat.
Beralih pembahasan ke arah lunturnya prinsip dasar yang diajarkan pesantren dalam diri santri yang kini menempuh jenjang ke perguruan tinggi adalah masalah yang harus segera diselesaikan.
Hari santri dapat menjadi jalan evaluasi yang hakiki bagi santri yang merasa nilai dasar pesantren yang ada dalam lubuk hatinya terkikis oleh lingkungan baru mereka. Jangan sampai karena peningkatan keilmuan akademisi duniawi membuat keilmuan akhirat kita menjadi menurun.
Jangan sampai juga nilai ke-aswajaan kita menurun drastis dibanding saat kita masih berstatus sebagai siswa di sekolah. Mengingat nasehat orangtua, kyai dan ustad kita adalah solusi yang baik bagi merangsang kembali rasa insyaf kita terhadap penurunan kadar kualitas diri.
Lebih utama lagi ketika kita bersedia kembali ke pondok pesantren yang menjadi rumah kedua kita dari rumah asal. Melakukan aktivitas sowan ke kyai untuk meminta nasehat sekaligus mengenang indahnya semasa hidup di pondok pesantren.
Karena kadang kita lupa, rindu yang tak tersampaikan akan berakibat fatal. Sebaliknya, rindu yang terbayarkan akan mengusap bersih penderitaan yang kita alami sekarang.
_______________________________________
*Artikel ini terbit pertama kali dalam Buletin Informasi dan Isu Terkini LSO Literasi PR. PMII Rayon Ekonomi “Moch. Hatta”