Penulis: Luthfi Hamdani
Saya baru saja selesai membaca buku berjudul “Fiqh Penanggulangan Sampah Plastik”, karya dari tim Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU. Sebagaimana judulnya, buku yang disebarluaskan dalam format pdf tersebut menguraikan problem sampah plastik dari berbagai sudut pandang, terutama fiqh.
Latar belakang penulisan buku tersebut sebab persoalan sampah plastik kini telah menjadi isu global. Penggunaan produk sampah plastik secara tidak ramah lingkungan menyebabkan berbagai masalah lingkungan hidup yang serius.
Sampah plastik tidak hanya menimbulkan masalah di perkotaan, namun juga di sungai dan lautan. Dampak negatif sampah berbahan plastik tidak hanya pada kesehatan manusia, membunuh hewan yang dilindungi, tetapi juga merusak lingkungan secara sistematis.
Kota-kota di dunia, menghasilkan sampah plastik hingga 1,3 milyar ton setiap tahun. Menurut perkiraan Bank Dunia, jumlah ini akan bertambah hingga 2,2 milyar ton pada tahun 2025. Hal ini terjadi karena plastic telah menggantikan bahan-bahan seperti kaca dan logam, namun sebagian besar dalam bentuk kemasan.
Selama 50 tahun produksi dan konsumsi plastik global terus meningkat. Hal ini tentunya menghasilkan persoalan serius bagi umat manusia. Karena menurut program lingkungan PBB (UNEP), antara 22 hingga 43 persen plastik yang digunakan di seluruh dunia dibuang ke tempat sampah.
Ada beberapa jenis sampah plastik yang paling sulit dikelola, seperti barang sekali pakai, microbeads, pembersih telinga, kemasan sekali pakai, kantong plastik, polystyrene (styrofoam), flexible plastik (sachet dan pouch), serta alat makan dan minum (sedotan, cup, piring, sendok, garpu).
Sampah berbahan plastik adalah salah satu sumber pencemaran lingkungan hidup. Plastik jika dibuang ke tanah, plastik mengganggu kesuburan tanah dan mencemari tanah, Plastik juga akan berinteraksi dengan air, kemudian membentuk bahan kimia berbahaya. Ketika bahan kimia itu meresap ke bawah tanah, akan menurunkan kualitas air. Di darat sudah banyak binatang yang mati karena menelan plastik.
Sebagai contoh, hasil riset yang dilakukan ECOTON (Ecological Observation and Wetlands Conservation) dan dipublish pada tanggal 28 Maret 2019, menyimpulkan bahwa air Kali Surabaya yang menjadi bahan baku PDAM Surabaya sudah tercemar mikroplastik.
Pun ikannya, 73% ikan dari kali tersebut mengandung mikroplastik. Sejumlah 103 sampel ikan yang diambil dari Kali Surabaya, 73% mengandung mikroplastik dalam perutnya. jumlah ikan yang mengandung mikroplastik tertinggi pada kelompok ikan herbivora (67%-87%), disusul kelompok ikan omnivora (67%- 8%), dan kandungan terendah pada kelompok karnivora (33%-38%).
Selain mikroplastik, dalam perut ikan yang dibedah dalam penelitian tersebut berisi material plastik berupa tali rafia dan bungkus makanan. Plastik-plastik tersebut termakan oleh ikan dan tidak tercerna sehingga tetap utuh di dalam perut ikan. Dalam jumlah tertentu, menyebabkan kematian pada ikan.
Problematika sampah plastik tentu bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Pertama dari segi konsumen atau masyarakat, hal ini berkaitan dengan perubahan gaya hidup mereka. Saat ini masyarakat ingin segala hal yang simpel dan tak ribet. Penggunaan segala jenis kemasan plastik oleh banyak produsenpun mendukung meningkatnya penggunaan plastik.
Gaya hidup ini didorong keunggulan plastik, dimana plastik merupakan produk serba guna, ringan, fleksibel, tahan kelembaban, kuat, dan relatif murah. Selain penggunaan plastik, membuang sampah sembarangan atau limbah di tempat yang tidak semestinya juga masih banyak dilakukan masyarakat. Perairan laut bisa tercemar karena ulah tindakan manusia membuang sampah ke sungai yang kemudiaan terbawa arus sungai ke laut.
Dari perspektif pemerintah, regulasi yang ditetapkan terkait penanggulangan sampah platik, masih sebatas pemakaian plastik berbayar, dan itupun bagi retailer modern. Selain itu, pengawasan terhadap implementasi kebijakan terkait lingkungan masih lemah. Eksploitasi sumberdaya alam yang dilakukan banyak pihak, namun tidak ada tindakan penegakan hukum, padahal sumber daya alam dan lingkungan merupakan aset yang tak terperikan bagi suatu bangsa.
PENANGGULANGAN SAMPAH PLASTIK PERSPEKTIF ISLAM
Islam memandang bahwa ingkungan hidup merupakan karunia Allah Swt. dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan umat manusia. Kondisi lingkungan hidup bisa memberi pengaruh terhadap kondisi kehidupan umat manusia.
Kualitas lingkungan hidup juga sangat berpengaruh terhadap kualitas kehidupan umat manusia. Karena itu, tanggungjawab menjaga dan melestarikan lingkungan hidup menyatu dengan tanggungjawab manusia sebagai makhluk Allah yang bertugas memakmurkan bumi.
Lingkungan hidup diciptakan Allah sebagai karunia bagi umat manusia dan mengandung maksud baik yang sangat besar. Sebagaimana firman Allah yang artinya: “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau jadikan semua (alam) ini dengan sia-sia.” (QS. Ali Imran: 191).
Lebih lanjut, hubungan manusia dengan alam sekitarnya menurut ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan hubungan yang dibingkai dengan akidah, yakni konsep kemakhlukan yang sama-sama patuh dan tunduk kepada al-Khaliq.
Dalam konsep kemakhlukan ini manusia memperoleh konsesi dari Maha Pencipta untuk memperlakukan alam semesta dengan dua macam tujuan. Pertama, al-intifa’ (pendayagunaan), baik dalam arti mengkonsumsi langsung maupun dalam arti memproduksi. Kedua, al-i’tibar (mengambil pelajaran) terhadap fenomena yang terjadi dan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya, juga hubungan antara alam itu sendiri (ekosistem), baik yang berakibat konstruktif (ishlah) maupun berakibat destruktif (ifsad).
Intifa’ terhadap kekayaan alam yang tersedia, banyak disampaikan ayat al-Qur’an, seperti surat al-Nahl ayat 10-11 yang artinya:
“Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit untuk Anda. Sebagian air itu menjadi minuman dan sebagian yang lain (berfungsi) sebagai penyubur pepohonan (di tempat yang subur) itulah Anda menggembala ternak. Dengan air itu Dia menumbuhkan tanaman (pertanian); Zaitun, kurma, anggur dan segala jenis buah-buahan. Sungguh yang demikian itu benar-benar menjadi pertanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berkenan berfikir”
Demikian juga banyak hadis Nabi yang menganjurkan upaya pelestarian lingkungan hidup dan memandang upaya pelestarian lingkungan hidup sebagai ibadah yang memperoleh pahala di akhirat, seperti yang diriwayatkan Imam Muslim dan Ahmad, yang artinya:
“Jika kiamat telah tiba, dan di antara salah seorang di antara kalian ada tanah lapang, dan ia mampu bertindak untuk menanaminya, maka tanamilah, sebab dia akan mendapatkan pahala dengan tindakannya itu.” (HR. Ahmad)
Tindakan pencemaran lingkungan hidup dapat dikategorikan sebagai mafasid (kerusakan) yang dalam prinsip ajaran Islam harus dihindari dan ditanggulangi. Karena itu, segala ikhtiar umat manusia untuk membangun kesejahteraan manusia, harus dilakukan dengan mempertimbangkan faktor lingkungan hidup. Dengan demikian tindakan perusakan lingkungan hidup dan para pelaku perusakan lingkungan hidup harus dikategorikan sebagai melanggar syariat Allah dan bertentangan dengan hukum. Sebagaimana firman Allah, yang artinya:
“Dan apabila ia berpaling (dari kamu, Muhammad), ia berjalan di muka bumi untuk bertindak merusak di bumi (ini) dan menghancurkan tanaman dan binatang-binatang ternak. Dan Allah tidak menyukai kebinasaan.” (QS. al-Baqarah: 205).
HUKUM MEMBUANG SAMPAH PLASTIK SEMBARANGAN
Perilaku masyarakat yang membuang sampah plastik secara sembarangan acapkali dituduh sebagai biang kerok semua dampak negatif yang ditimbulkan oleh sampah plastik. Karena mereka dianggap sebagai kosumen plastik itu sendiri. Dari sini kemudian bisa dipahami munculnya gagasan untuk memberikan sanksi kepada para pembuang sampah plastik secara sembarangan.
Jika perilaku pembuangan sampah secara sembarangan tidak bisa dikendalikan dengan kendali agama dan seruan moral, maka negara melalui penguasanya dalam hal ini bisa saja menerapkan sanksi kepada pelakunya. Karena apapun alasannya pembuangan tersebut memang mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan yang masuk kategori sebagai perbuatan dosa. Dan pemberian sanksi tersebut bisa dibaca sebagai pengendalian dari Allah melalui tangan penguasa.
Para ulama, sebut saja misalnya Imam Abu Hamid al-Ghazali, bahkan telah memberikan peringatan kepada kita pada hal yang remeh temeh, yaitu larangan untuk meninggalkan bekas sabun di pemandian umum. Sebab, hal ini bisa menyebabkan terpleset ketika diinjak oleh orang lain.
Dalam hal ini, menurut Imam Abu Hamid al-Ghazali, jika ada seseorang di pemandian umum terpleset karena sisa atau bekas sabun yang dibuang di tempat lewat, kemudian orang tersebut meninggal dunia atau salah anggota mengalami cidera maka setidaknya ada dua pihak yang bisa dimintai tanggungjawabnya, yaitu pihak yang meninggalkan bekas sabun dan penjaga pemandian umum.
Abu al-‘Abbas ar-Ramli, dalam kitab Hasyiyah ar-Ramli ‘ala Asna al-Mathalib Syarhi Raudl ath-Thalib menuliskan:
“Imam al-Ghazali berpendapat di dalam kitab Ihya`ulumiddin, jika seseorang mandi di pemandian umum dan meninggalkan bekas sabun yang menyebabkan licinnya lantai, lantas menyebabkan seorang tergelincir dan mati atau anggota tubuhnya cedera, sementara hal itu tidak nampak, maka kewajiban menanggung akibat tersebut dibebankan kepada orang yang meninggalkan bekas serta penjaga, mengingat kewajiban penjaga untuk membersihkan kamar mandi…”
Jika logika Imam Abu Hamid al-Ghazali ini ditarik ke dalam konteks orang yang membuang sampah secara sembarangan, maka ia mengandaikan bahwa orang yang membuang bekas sabun yang kemudian membahayakan pihak lain saja harus bertanggungjawab apalagi membuang sampah plastik sembarangan yang sudah jelas-jelas menimbulkan dampak negatif bukan hanya kepada manusia tetapi juga makhluk Allah yang lain.
Sebagai agama pembawa kasih sayang, Islam tidak membiarkan manusia di alam ini terbelenggu dalam persoalan yang tidak dapat dipecahkan. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT yang artinya:
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman sebagaimana keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk dari yang baik”. (QS. Ali Imran: 179)
Maka dari itu,ketika dunia dihantui dengan bahaya sampah plastik, umat Islam berkewajiban untuk menanggulanginya. Hal ini sebagaimana hadist Nabi Muhammad SAW berikut, yang artinya:
“Tidak (diperbolehkan) menyengsarakan diri sendiri dan tidak (diperbolehkan) menimbulkan kesengsaraan terhadap orang lain” (HR. Ibnu Majah).
Pencemaran lingkungan, termasuk yang diakibatkan sampah plastik dapat juga dikategorikan sebagai kemungkaran karena sifatnya merusak dan berpotensi merugikan manusia lahir dan batin. Karena itu harus ditanggulangi.
Terakhir, setelah memahami persoalan sampah plastik dari segi sosial, ekosistem dan fiqh, ada beberapa hal yang bisa dilaksanakan, misalnya:
- Awali Penanggulangan Bahaya Sampah Plastik dengan Informasi yang Tepat
- Membiasakan Pola Hidup Bersih
- Kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat juga berbagai ormas untuk memberikan edukasi juga membangun sistem terbaik guna penanggulangan masalah sampah plastik.
Selebihnya, bisa anda baca di buku tersebut.