Penelitian terbaru menemukan bahwa jumlah orang Indonesia yang dinyatakan terampil (skilled) dalam baca-tulis dan berhitung (matematika) berjumlah sangat sedikit. Hal ini ketika diukur menggunakan tolok ukur internasional, hanya sekitar 79.000 siswa dari 3,1 juta pada tahun 2015 yang dianggap terampil dalam matematika. Dari jumlah itu, hanya 15.700 orang yang dinilai memiliki keterampilan matematika yang tinggi.

Dalam hal keterampilan membaca dan menulis (literasi), jumlahnya bahkan lebih mengejutkan, dengan hanya 35.900 orang yang dianggap terampil dan 1.900 sangat terampil.

Padahal individu yang paling berbakatlah yang kelak akan mengatur proses produksi, meneliti dan meraih beragam penemuan ilmiah dan berinovasi. Peran ini membuat individu berbakat lebih penting daripada pekerja biasa.

Dengan rendahnya keterampilan, para pembuat kebijakan Indonesia menghadapi dua tantangan. Pertama, harus ada kebijakan aktif untuk mengidentifikasi dan membina bakat. Kedua, sangat penting untuk memastikan alokasi keterampilan yang efisien.

Literatur menunjukkan bahwa untuk mewujudkan manfaat sosial yang optimal, individu yang paling terampil harus terlibat dalam pekerjaan yang akan memberi mereka pengembalian pribadi tertinggi (highest private return) dan sekaligus pengembalian sosial tertinggi.

Hal ini adalah upaya besar yang membutuhkan reformasi kebijakan di sektor kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial, dan pasar tenaga kerja.

Penelitian yang dilakukan oleh Sandra Kurniawati dan Daniel Suryadarma (2019) berjudul “The Stock of Highly Skilled Individuals in Indonesia” menunjukkan bahwa keterampilan berkaitan erat dengan siswa yang memiliki ibu yang berpendidikan perguruan tinggi dan status sosial ekonomi yang baik.

Individu-individu terampil ini berkelompok di beberapa sekolah. Sekolah-sekolah mereka adalah yang memiliki proporsi guru bersertifikat yang lebih tinggi dibandingkan sekolah lain.

Siswa di sekolah-sekolah yang baik memiliki karakteristik yang sama, menunjukkan pengaruh kuat dari pilihan orang tua. Temuan kedua peneliti menunjukkan perlunya Indonesia, dan mungkin negara-negara berpenghasilan menengah lainnya yang serupa, untuk memiliki kebijakan aktif untuk mengidentifikasi dan memelihara bakat siswa-siswa mereka.

Dalam penelitiannya, Kurniawati dan Suryadarma menggunakan tolok ukur internasional untuk memperkirakan jumlah siswa yang dapat dianggap sangat terampil.

Kemudian keduanya memeriksa latar belakang mereka dan sekolah tempat responden mereka belajar, dinilai menggunakan tiga putaran Program untuk Penilaian Siswa Internasional (Programme for International Student Assessment / PISA).