Oleh: @luthfiham

Mereka berdua bertemu di satu malam yang masih basah oleh hujan. Hari-hari terakhir hujan selalu turun, tanpa pernah absen. Rumi mengebaskan ujung jaketnya yang basah sebab air yang jatuh dari ujung payung. Selalu begitu, tapi ia juga selalu lupa menaruh payung yang lebih besar di jok motor matic-nya.

Selian itu, jaket model panjang yang ia pakai sebenarnya terlalu mengganggu untuk dipakai kala musim hujan. Tapi ia suka saja, ada banyak saku yang bisa digunakan menaruh rokok, handphone, powerbank dan perintilan lain seperti headset. Pekerjaannya sebagai wartawan magang menuntut untuk sering berada di lapangan, dari satu tempat ke tempat lainnya. Sehingga membawa jaket panjang dengan banyak saku, bahkan luar dalam begini, mempermudah mobilitasnya.

Di ujung jalan yang kiri dan kanan penuh pertokoan ini, ada sebuah kedai STMJ langganannya sejak kuliah dulu. Sejak SMA, ia begitu gandrung pada kopi. Namun, saat pertengahan kuliah, lambungnya memberikan sinyal kurang bersahabat; selalu terasa nyeri setelah Rumi menikmati secangkir kecil kopi. Rasa nyeri yang mengganggu dan tidak akan hilang seringkali sampai dua hari. Sejak itu ia berjanji berhenti minum kopi, minuman kesukaannya.

“Sudah lama?” tanya perempuan berjaket biru yang baru saja masuk kedai STMJ.

“Belum kok. Santai saja.”

“Biasa, menu akhir bulan.”

“Ini lumayan dini untuk karyawan sepertimu.”

“Untung bulan ini tidak banyak kesalahan dari orang-orang lapangan.”

Rumi berlama-lama memainkan handphone. Ada beberapa informasi bahan berita yang besok bisa ia liput. Sebuah aksi demonstrasi dari warga kelurahan. Warga membentuk aliansi menolak aturan baru jalan satu arah diterapkan di lingkungan mereka.

Besok adalah aksi kedua setelah beberapa minggu kebijakan itu diterapkan. Warga berdalih toko-toko mereka sepi sebab kendaraan yang lewat memacu kencang kendarannya di jalan lurus menuju pasar besar itu. Selain itu, yang paling parah adalah mereka harus berputar agak jauh untuk masuk gang kampung.

“Besok ada demonstrasi, tampaknya bisa jadi bahan beritamu.” ujar Hana memecah kebekuan.

Rumi mengangguk beberapa kali dan berdehem pelan, tanda ia mengiyakan ucapan Hana.

“Koperasi tempatku bekerja akhir pekan akan memberi santunan ke yatim piatu, siapa tahu kau mau meliputnya juga.”

“Meliput yang begitu bukan bagianku.”

“Jadikan berita saja, nanti biar aku bilang ke manajer bahwa aku yang meminta publikasi pada wartawaannya. Siapa tahu dapat bonus.”

Hana tahu bahwa mustahil Rumi menulis berita iklan begitu, ia tertawa-tawa saja menyaksikan ekspresi mantan pacarnya. Perilaku Rumi tak pernah berubah, ia selalu gagal menolak atau setidaknya memberikan jawaban penolakan pada permintaan Hana. Sejak dulu.

“Santai saja.”

Hana mendorong maju mundur meja kedai STMJ berbentuk bulat dengan diameter kurang lebih enam puluh sentimeter itu. Meja kecil yang memang didesain untuk duduk maksimal tiga orang, dengan lapisan bekas wadah jajanan ringan. Sedang pesanan keduanya belum juga datang.

“Oh iya, kalau kau mau, aku bisa menghubungi teman kerjaku yang di bagian iklan instansi begitu.”

“Mana ada aku ngurus begitu-begitu, santai saja kataku. Kerjaku tinggal menyusun jurnal dan laporan keuangan. Aku bercanda saja, lagipula kenapa selalu begitu serius.”

“Aku sering gagal memenuhi target reportase.”

“Lalu?”

“Aku sedang berpikir keras.”

“Aku harus pulang?”

“Tidak, diam saja disitu sejenak.”

****

Mereka menjalin hubungan selama hampir tiga tahun sejak keduanya masuk tahun kedua masa-masa kuliah, tentu menjalani beragam suka dan duka. Bagi Rumi, Hana adalah cinta pertamanya. Perempuan yang membuatnya begitu semangat masuk kuliah dan diam-diam selalu menyusun rancangan matakuliah mirip yang disusun perempuan dambaannya. Dulu-dulu ia berpikir, setidaknya sering bertemu dulu sekelas, siapa tahu mudah untuk pendekatan. Benar saja, di akhir semester tiga, Hana menerima cintanya.

Semester demi semester berikutnya berisi hari-hari menyenankan, khas anak-anak muda yang dimabuk asmara. Setelah kelas ekonomi makro dengan dosen tua yang sering ngelantur berbicara masa-masa mudanya, Rumi dan Hana akan berjalan keluar kampus menuju pujasera di sebelah kanan gerbang. Sesekali makan bersama, seringkali hanya duduk berdua memesan es kelapa muda.

Petaka datang saat keduanya masuk semester sembilan. Rumi mulai sibuk dengan berbagai kegiatan organisasi mahasiswa dan beragam event yang ia menjadi bagian timnya. Sedang Hana tinggal menanti jadwal wisuda.

“Kenapa masih menunda, kamu cuma tinggal skripsi?” tanya Hana suatu siang kala itu.

“Skripsi bukan cuma.”

“Aku bahkan sudah selesai sejak setengah tahun lalu, sekarang bisa magang kerja.”

“Iya, dan aku juga bisa dapat banyak kerja tanpa ijazah.”

“Tapi seandainya kau selesai, kau bisa lebih santai dan bisa melamar beragam kerja.”

“Suatu saat akan aku selesaikan.”

Mereka diam sejenak saat beberapa mahasiswa lewat depan kantor organisasi intra kampus yang diikuti Rumi. Mereka duduk di depan ruangan yang penuh tempelan beragam jenis koran cetak. Dengan sebuah papan besar bertuliskan pembagian tugas liputan dan event yang dikerjakan kolaboratif oleh organisasi Rumi.

“Tapi ibuku bertanya lagi.”

“Itu lagi. Kau masih begitu muda untuk menikah.”

“Menurutmu begitu, tapi aku sudah selesai kuliah.”

“Bilang ke ibumu, kau masih ingin menikmati masa-masa magang dengan teman-teman baikmu.”

“Ayolah, aku serius.”

“Aku juga serius, kita masih terlalu muda.”

“Semakin kau tak bertanggungjawab pada tugas akhirmu, kau juga akan meremehkan segala yang menunggu keputusan dan tindakanmu.”

Sejak obrolan pagi di kursi panjang depan ruang organisasi itu Hana jarang berkunjung. Ia tahu nasihat dan kepeduliannya tidak pernah merubah apapun. Rumi sibuk dengan dunianya, juga tampak telah tercebur jauh dalam cita-cita jauhnya mendirikan media online yang terintegrasi dengan beragam layanan iklan.

Ia anak perempuan sulung dengan dua adik yang juga perempuan. Ibunya memberikan beragam pilihan, yang pada malam-malam setelahnya bergentayangan dalam kepala.

****

Sudah hampir satu setengah jam Rumi dan Hana duduk berdua, membicarakan kerja atau orang-orang yang mereka kenal. Jam sembilan menuju jam sepuluh selalu jadi puncak keramaian kedai STMJ. Meja sebelah mereka bergerombol empat orang mahasiswa yang tampak selesai bermain futsal, dengan kostum lengkap. Sedang satu meja lagi di pojok selatan seorang pria paruh baya asyik dengan handphone dan berbatang-batang rokok kreteknya.

“Kamu mau pesan mie rebus telur? Biar aku yang bayar nanti?” tanya Rumi.

“Aku sudah lama berhenti makan mie instan.”

“Sejak bekerja di koperasi?”

“Ya, dan sejak…”

“Oo, mengapa?”

“Kenapa tanya mengapa? Kita sepakat membatasi diri bertanya dengan kata tanya mengapa. Tapi kali ini kujawab” Hana menghela napas sejanak. “mie buruk untuk kesehatanmu, berhentilah juga.”

“Wartawan magang sepertiku mana peduli sehat, ada-ada saja.”

Sejak masih jadi sepasang kekasih, Rumi dan Hana sepakat untuk menghindari bertanya memakai kata tanya mengapa. Rumi yang punya gagasan demikian. Ia tahu, dari enam jenis kata tanya dalam dunia jurnalistiknya, kata ‘mengapa’ selalu paling susah dijawab narasumber yang ia wawancara.

Bagi Rumi, kata-kata seperti apa, kapan, siapa, dimana dan bagaimana sudah cukup untuk satu informasi komplit. Sedang kata ‘mengapa’ selalu lekat dengan proses berpikir panjang. Orang yang ia tanya selalu perlu waktu mencari alasan atau argumentasi supaya alasan peristiwa dan kegiatan mereka nyambung dengan pertanyaan lain.

Kalau ada kasus kriminal, maka kata tanya ‘mengapa’ berhubungan dengan motif pelaku: beberapa polisi yang ia wawancara selalu mengajukan penundaan jawaban, misalnya memakai “Motifnya masih kami selidiki lebih lanjut”.

Rumi tahu, bertanya ‘mengapa’ selalu membuat perempuan yang kini duduk tepat di depannya merasa kesulitan. Hana harus sering menggumam ‘hmmmm, eeeeee, esssssss’ sebelum menjawab. Sejak itu Rumi sadar pertanyaannya memberatkan.

“Aku begitu menyesali hari-hari itu.”

Rumi berkata pelan setelah meletakkan handphone yang sedari tadi ia putar-putar dengan jari-jarinya. Putaran demi putaran yang menguatkan keberaniannya untuk membahas ulang kejadian hari-hari itu.

“Hari-hari yang mana?”

“Setelah kita bertemu di depan UKM.”

“Lupakan, itu sudah terlalu lama.”

“Entah ini yang keberapa, tapi aku ingin meminta maaf. Sekali lagi.”

“Aku memaafkanmu sejak lama, begitu pula kau telah menerima maafku.”

“Aku masih berat melupakanmu.”

“Gila.!!!”

Kali ini suara Hana terdengar cukup keras. Pria yang sedari awal asyik dengan rokok kreteknya menoleh, tanpa menyela.

“Lanjutkan saja hari-harimu di sini, atau saranku kau pulang kampung dan temui seniormu yang menjanjikanmu modal dulu-dulu itu.” Lanjut Hana.

“Jika aku pulang, kau mau ikut denganku?”

“Aku sudah mengabarimu setahun lalu masalah ini. Ke nomormu yang lama.”

“Bahkan untuk keputusan sepenting itu kau mengabariku beberapa bulan setelah acara selesai.”

“Ayolah Rum, aku memberimu beragam pilihan dan saran baik.”

“Oh, ayolah.”

Rumi menyesali dua hal malam itu. Kesalahan pertama, ia terlalu mencintai seorang perempuan yang ia susah mencintai perempuan lain setelahnya. Kesalahan kedua, ia pernah menelantarkannya dalam hari-hari panjang tanpa jawaban.

“STMJ-mu sudah kubayar, aku pulang dulu. Suami dan anakku menunggu di depan.”

“Kau tidak jadi ikut ke kampungku?”

“Lanjutkan saja, semoga sukses dengan rintisan usahamu.”

Hana bergegas keluar dengan jalan berjinjit melewati genangan air di samping meja bagian luar. Sebuah mobil minibus berwarna abu-abu dengan nama dan logo koperasi menanti di setelah berderet-deret sepeda motor terparkir. Hana mulai berlari saat hujan mulai deras kembali. Sial, payung yang ia bawa saat datang tertinggal di samping kursi Rumi. Kepalang tanggung, biar saja pikirnya.

“Kenapa begitu lama?” tanya suaminya yang tak lain manajer koperasi, setelah Hana duduk di kursi sebelah kiri.

“Ia bertanya banyak hal.”

“Oh. Jadi kapan kau akan memblokir nomor yang tadi sore digunakan menghubungimu?”

“Selesai. Setelah tadi masuk dan menutup pintu mobil.”

Hujan turun lumayan deras, mobil mereka belok ke kiri melintasi jembatan dan deretan ruko. Hana sekali menengok ke belakang, hanya hujan.