Kalau anda pengguna aktif media sosial, baik Facebook, Instagram maupun Youtube, anda tentu tahu fenomena Bu Dendy. Ya, penggalan video yang menampilkan seorang perempuan berjilbab, tengah di interogasi sebab dituduh sebagai perebut lelaki orang. Istilah akrabnya Pelakor.

Dalam video tersebut, tampak perempuan bernama Nila Nylala tengah dilempari (atau diguyur lebih tepatnya) dengan uang ratusan dan lima puluhan ribu. Bu Dendy merekam adegan unik tersebut dalam kondisi kesal dan marah sebab suaminya sering secara diam-diam meberikan uang pribadinya pada Mbak Nila.

Jadi mbak Nila ini semacam selingkuhan suami bu Dendy.

Penggalan video yang mendapat respon berbagai mcam dari netizen. Tentu netizen sebagimana biasa, terbelah jadi 3 kelompok; pro, kontra dan pembuat parodi atau meme yang berada di antara keduanya

Belakangan diketahui, Bu Dendi adalah pemilik merek waralaba Nyoklat Klasik. Usaha yang telah dijalani pasangan Dendy sejak 2013 dan terus tumbuh, sampai saat ini. Omsetnya meilyaran versi Tribunnews. Bahkan saking terkenalnya, bu Dendy berani menjamin partnernya bisa balik modal kurang dari 60 hari.

Anda pasti akrab juga kan dengan lapak waralaba ini. Yang berwarna coklat dengan ukuran 1-1,5 meter, di tepi jalan dan di daerah-daerah keramaian. Mulai di Malang sampai di Semarang, ada partner bisnis bu Dendy.

Lalu apa hubungannya bisnis waralaba dengan isu pelakor.?

Analisanya, bisa saja isu pelakor ini memang sengaja dibuat oleh Bu Dendi guna menjaga awareness publik atau konsumen terhadap dirinya, dan tentu saja merek usahanya. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Puspo Wardoyo, pemilik salah satu waralaba sukses, Ayam Bakar Wong Solo.

Bicara waralaba ayam bakar, ingat Wong Solo. Membahas tentang Wardoyo, dalam banyak hal, nama lelaki ini lebih beken ketimbang rumah makannya. Maklum, keberaniannya pada waktu itu membuat acara Poligamy Award di suatu hotel, menimbulkan pro dan kontra.

Apakah ia kebablasan dalam hal personal branding? Tunggu dulu. Ternyata, menurut pria kelahiran Solo 52 tahun lalu ini, apa yang ia lakukan memang disengaja. Kok bisa?

Saya harus menciptakan konflik terus-menerus di benak orang supaya orang membicarakan saya.” ujar Direktur PT Sarana Bakar Diggaya ini blakbalakan.

Bahkan ia mengungkapkan, jika perlu, ia membayar orang untuk mendemo dirinya sendiri. Tujuannya, supaya orang selalu membicarakan dirinya tanpa henti dan polemik menjadi panjang. Contohnya, isu poligami. Bagi Puspo, apakah orang membicarakan hal positif atau negatif, untuk tahap awal bukanlah masalah.

“Yang penting, setiap saat orang membicarakan dirinya. Hal ini, dikatakannya, penting untuk bisnisnya. Ketika orang membicarakan Puspo, itu berarti membicarakan Wong Solo.” ujar suami dari empat wanita ini. Ia yakin, jika orang kenal Puspo, yang bersangkutan akan men-deliver hal itu ke Wong Solo.

Bagaimana Puspo bisa melakukan ini semua? Diceritakan, ketika pada tahun 1993 memulai bisnis ini, ia belum seterkenal sekarang. Ia memulai perjalanan usahanya dengan modal Rp. 700 ribu. Waktu itu orang mengenalnya hanya sebagai pedagang kaki lima di Bandara Polonia, Medan.

Namun suatu hari pada 1996, Koran daerah Medan, Waspada menulis seputar dirinya. Judulnya,  Puspo Wardoyo, Sarjana Membuka Ayam Bakar Wong Solo di Medan.  Sejak itu, bisnis rumah makannya sukses besar. Omsetnya naik 300%-400%.  Dari sini saya sadar dampak pemberitaan,  ujar mantan guru SMA di Bagansiapi- api, Sumatera Utara ini. Dan ia pun mulai mendekati pers.

Setelah cukup dekat dengan kalangan pers. Puspo mulai memahami cara kerja dunia pers. Antara lain, penting isu dalam pemberitaan. Sejak itu, ia mulai menciptakan isu atau konflik yang berkenaan dengan dirinya. Isu atau konflik itu penting supaya media mau memberitakannya, tanpa kita memintanya,  ia menjelaskan.

Isu-isu yang dibuatnya haruslah mengandung unsur tidak bermasalah. Malah kalau bisa, dengan isu tersebut, ia menjadi pahlawan. Karena seorang pionir adalah seorang pembuka, dan ia bisa disebut pahlawan,  katanya. Target besarnya adalah bagaimana mempromosikan bisnis.

Tentang sosok pahlawan ini, Puspo mencontohkannya dalam hal poligami. Ia memfigurkan dirinya sebagai pahlawan poligami. Sekaligus sebagai pengusaha rumah makan yang sukses dan andal. Di sini ia ingin meruntuhkan mitos bahwa poligami itu tabu.

Sebagaimana Puspo, bu Dendy menampilkan diri sebagai pemberantas pelakor. Sehingga, seharusnya respon positiflah yang dia dapatkan. Toh, di masayarakat kita, merebut suami atau istri orang adalah tindakan tercela.

Isu semcama ini juga marak digunakan jika anda mengamati dunia artis layar kaca kita. Tujuannya lebih mengarah pada peningkatan word of mouth, marketing dari mulut ke mulut dan menjaga keteringatan publik pada nama artis tertentu. Jadi tidak heran jika artis begitu lengket dengan sensasi yang menyertainya.

Misalnya juga kalau anda ingat adegan perkelahian Dewi Persik dan Julia Peres tahun 2014 lalu, menjelang rilis film Arwah Goyang Karawang.

Bisa saja memang mereka berkelahi sungguhan, bisa saja jika melihat timing viralnya adegan tersebut menjelang peluncuran film, maka memang sengaja digunakan sebagai buzz supaya film nya lebih ramai.

Atau juga begitu derasnya informasi bahkan kajian ilmiah tentang kiamat 2012 menjelang film-nya ditayangkan di bioskop. Semua memiliki pola yang sama.

Jadi, sebagai konsumen dan netizen kita musti jeli melihat pola yang ditampilkan oleh orang-orang yang punya kepentingan bisnis.

“Dan, ah Bu Dendy bisa aja… nyoh, nyoh, nyoh….. kurang po ra?”