Penulis: Ghofirudin, Trenggalek

Hari raya telah usai. Setidaknya itulah yang dikatakan oleh banyak orang ketika hari sudah menjadi +7. Banyak para pemudik yang pulang ke kampung halaman sudah kembali ke daerah-daerah tempat mereka bekerja. Bahkan tanpa harus menunggu H+7 sekalipun hari raya sudah berakhir bagi sebagian orang. Ya, para pegawai negeri tahun ini harus masuk kerja sebelum H+7.

H+7 atau tujuh hari setelah hari raya Idul Fitri memang sangat identik dengan sebuah hari sebagai penutup sebuah hari perayaan yang besar. Di daerah Trenggalek tempat saya tinggal H+7 itu diwarnai dengan sebuah perayaan yang dinamakan hari raya ketupat. Tradisi ini merupakan tradisi yang telah turun temurun. Di Kecamatan Durenan tempat tradisi ini berawal mula, setiap rumah membuka pintu rumahnya lebar-lebar untuk para tamu yang dikenal maupun yang tidak dikenal untuk sejenak singgah mencicipi aneka masakan yang dihidangkan, biasanya ketupat dengan sayur lodeh tewel pedas dengan bermacam variannya.

Namun maaf. Bukan tentang hari raya ketupat sebagai penutup Idul Fitri ini yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini. Namun sebuah refleksi. Saya kira refleksi kontemplatif terhadap suatu hal itu merupakan sebuah perayaan besar tersendiri di mana dengan bercermin itu kita dapat melihat diri kita kembali dengan lebih jernih dan memetakan apa saja yang sudah dan akan kita lakukan untuk menjadi manusia yang lebih baik. Ya, manusia yang lebih manusiawi.

Refleksi pertama adalah tentang shalat Idul Fitri. Berkaitan dengan ini saya teringat dengan perkataan kakek saya almarhum di hari raya dua tahun yang lalu. Beliau menceritakan tentang kecenderungan sekarang bahwa banyak orang yang lebih mementingkan shalat Id daripada shalat subuh. Ya, untuk shalat Id kita akan langsung berjingkat bangun begitu fajar tiba. Lantas kita akan segera menyiapkan diri; mandi, mengenakan pakaian terbaik dan tentu saja tidak lupa minyak wangi. Sementara untuk shalat subuh sehari-hari kita seringkali mengabaikannya. Di hari biasa kita sering bangun telat, bahkan kita baru bangun setelah matahari telah sepenggalah tingginya, dan yang lebih parah melalaikan shalat subuh dan mungkin juga shalat-shalat lain setelahnya.

Padahal shalat adalah aktifitas yang sangat penting untuk lebih memanusiakan kemanusiaan kita. Ya, setidaknya itu menurut saya. Shalat wajib yang lima waktu itu adalah sebagai pengerem hasrat atau nafsu keduniawian yang dalam perjalanannya telah memanaskan kondisi jiwa kita. Kita butuh rem itu untuk lebih tenang, lebih santai dengan mengingat apa yang disebut oleh orang Jawa dengan sangkan paraning dumadi yang bagi saya itu adalah Tuhan. Kita tentu telah paham bahwa panas itu mampu membakar sekujur jiwa kita dan mampu menjalar untuk meluluh dan melantakkan orang-orang di sekitar kita. Dan, tidak ada yang namanya manusia dan kemanusiaan dalam suatu kondisi jiwa yang panas dan luluh lantak. Ya, manusia bukan api.

Lantas bagaimana Tuhan itu mampu lebih memanusiakan manusia di dalam diri kita? Menurut saya ada tuhan di dalam diri setiap manusia yang menjelma menjadi sesuatu yang biasa disebut dengan cinta dan juga tentunya kasih sayang. Cinta dan juga kasih sayang dengan segala penjelmaannya mulai dari yang bersifat duniawi hingga ukhrowi akan membangun kesadaran di dalam jiwa manusia tentang hidup yang antara melampiaskan dan menahan. Dengan mengetahui suatu kondisi yang tepat untuk melampiaskan manusia akan mencapai sebuah kadar kepuasan hidup yang maksimal. Di sisi lain dengan mengetahui saat yang tepat untuk menahan, manusia akan mengenal batasnya. Batas-batas itulah yang akan menjaga hubungan kemanusiaan kita baik ke dalam diri kita maupun ketika berhubungan dengan manusia yang lain.

Selain itu Tuhan sebagai sangkan paraning dumadi juga mampu untuk memicu kesadaran kemanusiaan di dalam diri. Tuhan sebagai asal segala sesuatu merupakan suatu induk yang mengikat persaudaraan manusia dan juga semesta. Manusia dengan manusia adalah saudara. Manusia dengan alamnya adalah juga saudara. Meski di dalam interaksinya selalu terjadi dialektika, dengan adanya kesadaran sebagai saudara pertentangan yang terjadi adalah sebagai wujud kasih sayang. Pertentangan itu akan membawa ke dalam sebuah harmoni jika dikelola dengan baik, yaitu sebuah pengelolaan bukan untuk menentukan siapa yang menang dan kalah, siapa yang benar dan siapa yang salah, siapa yang baik dan siapa yang buruk. Dengan kata lain sangkan paraning dumadi membawa kesadaran manusia tentang tujuan objektif adanya kehidupan.

Lalu, refleksi kedua adalah tentang silaturahmi. Setelah shalat atau sembahyang di mana kita mengingat Tuhan sebagai sangkan paraning dumadi, sebagai sumber segala cinta, maka berikutnya adalah silaturahmi, menyambung cinta itu, mempererat kasih sayang itu. Tentu silaturahmi itu bukan sekedar datang mengunjungi kemudian mencicipi aneka jajanan yang disediakan sembari berbasa-basi cerita. Kegiatan silaturahmi ini harus mampu lebih memperdalam rasa cinta kita terhadap sesama manusia dan lebih mengeratkan sebuah hubungan; yang tadinya belum erat menjadi erat, yang tadinya sudah erat menjadi lebih erat. Silaturahmi haruslah juga bukan sebuah keterpaksaan untuk menuruti tuntutan kepantasan kebiasaan masyarakat yang ada.

Tentang masalah silaturahmi ini, saya teringat sebuah pernyataan dari seorang kyai dari Malang yang mengatakan bahwa silaturahmi dapat meningkatkan kualitas bangsa. Ya, silaturahmi dapat meningkatkan kualitas bangsa karena jika cinta dan kasih sayang itu terjalin erat secara masif di benak setiap individu yang tergabung dalam naungan sebuah bangsa maka tidak akan ada yang namanya curiga dan prasangka. Dan, silaturrahmi dalam hal ini bisa berarti sebuah komunikasi yang intensif di antara setiap komponen bangsa; terutama silaturrahmi atau komunikasi antara rakyat jelata sebagai akar rumput dengan para elit yang memiliki kedudukan atau jabatan untuk membuat sebuah kebijakan.

Tentunya, komunikasi ini tidak cukup jika berjalan satu arah. Setiap pihak harus secara aktif untuk mengunjungi, untuk mempererat tali cintanya. Rakyat jelata, misalnya aktif tergabung ke dalam semacam perwakilan non-lembaga politik yang aktif mencermati setiap permasalahan sosial yang terjadi di daerahnya. Mereka tidak boleh hanya pasif menunggu setiap kebijakan yang turun dari atas. Mereka harus secara aktif mengkomunikasikan unek-uneknya agar segera ditindaklanjuti oleh para elit pemangku jabatan. Begitu juga sebaliknya, para pemangku jabatan juga harus senantiasa aktif turun mengunjungi rakyat jelata untuk melihat bagaimana kondisi mereka sehingga setiap kebijakan yang dibuat adalah berdasarkan kenyataan yang terjadi di akar rumput dan bukan sebatas duga-duga atau bahkan yang parah asal membuat kebijakan untuk formalitas dan untuk kepentingan segelintir orang atau kelompok saja.

Jadi, seperti itulah refleksi tentang hari raya Idul Fitri yang mengajak manusia untuk kembali kepada kemurniannya. Manusia sembahyang untuk menyelami hakikat Tuhan dan Ketuhanan atau sangkan paraning dumadi yang menyemayamkan ke dalam dirinya jiwa manusia atau kemanusiaan yang sesungguhnya. Jiwa kemanusiaan yang penuh dengan cinta yang harus senantiasa disambung dan dipererat dengan jalan saling bicara atau komunikasi antar manusia –bahasa Pancasilanya Permusyawaratan untuk Mufakat-   sehingga lenyaplah segala curiga dan prasangka dan meleburlah mereka ke dalam suatu perasaan yang satu –Persatuan. Mungkin jika direfleksikan lebih dalam, bisa jadi hakikat perayaan Idul Fitri adalah untuk mencapai sebuah keadilan sosial.

Wallahu a’lam

(Ditulis pada Idul Fitri 1439 H/ 2018 M)