Kabar mengejutkan datang dari Kota Malang. Dimana walikota dan 18 anggota DPRD-nya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Mochamad Anton ditengarai menjanjikan fee Rp700 juta kepada Ketua DPRD Malang Mochamad Arief Wicaksono untuk memuluskan pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) tahun anggaran 2015. Uang itu diserahkan melalui Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Kota Malang, Jarot Edy Sulistiyono.
Uang yang kemudian dibagi-bagikan kepada delapan belas anggota DPRD tersebut.
Malang bukan kota yang asing. Saya pernah numpang tinggal hampir empat setangah tahun, dan saya lumayan banyak tahu seluk beluknya. Mulai dimana warung makan yang dengan hanya Rp. 5000 bisa ambil nasi sepuasnya sampai yang warung makan yang menyasar kelas high-end.
Saya tahu juga dimana lokasi jual beli handphone bekas yang buka hanya malam hari, lokasi kos-kosan ‘liberal’ dan jalan tikus untuk menghindari razia polisi di pertigaan Dinoyo.
Kembali ke perihal korupsi.
Beberapa bulan lalu, ketika Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Kota Malang, Jarot Edy Sulistiyono dan ketua DPRD Kota Malang ditangkap lebih dulu oleh KPK, saya sempat ikut aksi demonstrasi bersama elemen mahasiswa ekstra kampus dan beberapa LSM.
Di depan kantor Polres Kota Malang di jalan Jaksa Agung Suprapto, kami selaku massa aksi menyampaikan tuntutan dan rekomendasi kepada beberapa penyidik KPK yang kebetulan ada disana.
Intinya pesannya: ‘Tuntaskan pemberantasan korupsi Kota Malang sampai ke akar-akarnya.”
Saat itu pula, sudah mulai beredar kabar tinggal menunggu waktu saja walikota ini ditangkap. Sebuah LSM antikorupsi bahkan telah memiliki data siapa saja yang termasuk bagian korupsi ini, saat itu, jauh sebelum penetapan tersangka beberapa hari lalu.
Kalaupun kemudian walikota dan delapan belas anggota DPRD dijadikan tersangka oleh KPK, bisa jadi sebab tuntutan kami dulu sebagai massa aksi, bisa juga sebab banyak faktor lain.
Tapi bagaimanapun superbody dan luasnya wewenang KPK dalam proses pemberantasan korupsi, mereka tetap perlu dukungan masyarakat sipil. Dukungan moril, kesadaran maupun juga informasi.
Saya cukup mengenal walikota Malang karena beberapa momen. Pertama, ketika dulu sempat terlibat dalam organisasi intra kampus, seingat saya dua tahun berturut-turut saya datang ke Balaikota mengajukan proposal permohonan menjadi pembicara kepada walikota M. Anton. Dua kali pula undangan kami bertepuk sebelah tangan.
Di tahun kedua, kami dengan beberapa usaha akhirnya bisa mendatangkan walikota Batu, Edi Rumpoko, sebagai pembicara pengganti. Yang kebetulan jadi tersangkakorupsi juga. Anda tahu seberapa berartinya kedatangan pejabat setingkat walikota dalam acara intra kampus, sebagai pembicara.
Walaupun kita tentu kecewa setelah tahu mereka yang memberikan ‘ceramah’ pentingnya peran pemuda dalam pembangunan bangsa itu menjadi tersangka korupsi.
Kedua, beberapa bulan terakhir saya di Malang, sedang bermunculan banner dan baliho menampilkan wajah walikota Malang mengampanyekan ajakan supaya shalat berjamaah di awal waktu. Surat edarannya ditujukan kepada seluruh instansi yang ada di Kota Malang, baik swasta ataupun negeri.
Ketika diwawancara beberapa media, menurut Anton, sebagaimana tertuang dalam edaran, langkah ini diambil untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Ta’ala. Untuk itu, kepada semua pihak yang disebut dalam surat edaran, Anton berharap agar segera menghentikan seluruh kegiatan saat adzan berkumandang. (www. Hidayatullah.com, 2016)
Ajakan yang menarik, namun karena yang menghimbau adalah walikota dan mulai bermunculan banyak banner dengan foto dia sendiri (tanpa wakil) beberapa teman penikmat isu dan skenario politik tetap nyinyir:’wah, jelas kepentingan politis ini.’
Dugaan teman waktu itu bisa saja akurat, sebab beredar luas kabar ketidakharmonisan antara walikota dan wakilnya. Kalau ada yang bagus, walikota yang turun. Kalau ada buruknya, seperti aksi menolak penggusuran pasar tradisional Merjosari, maka wakilnya yang turun.
Kemudian terbukti pada pemilu 2018, mereka bersaing sebagai calon walikota Malang. Ditambah satu calon perempuan, mantan anggota DPRD yang ternyata tertangkap juga.
Ketiga, dalam suatu agenda peresmian ‘peletakan batu pertama’ pembangunan sebuah pesantren, yang berisi acara simbolik, sambutan dan doa, saya yang ada di lokasi menyaksikan langsung walikota Malang menyerahkan sumbangan dana kalau tidak salah pada kisaran sepuluh sampai duapuluh juta. Dengan sesi foto-fotonya, khas.
Darimana asal uang sumbangan tersebut mari tidak usah dibahas, tapi praktik semacam itu yang jadi bagian kerusakan demokrasi kita. Nurani Soyomukti, salah satu penulis asal Trenggalek pernah mengkritik praktik seperti ini:
“Sejak wakil rakyat dan pejabat tahu bahwa orang yang menemuinya hanya datang untuk minta bantuan, maka iapun semakin males diajak bertemu (menyerap aspirasi).
Ia mulai mencari strategi bagaimana agar tidak bisa ditemui. Ada sebagian wakil rakyat yang bahkan memvonis bahwa “rakyat itu pengemis”. Sedangkan di kalangan rakyat juga begitu, apatis pada calon yang maju. Sehingga, tetap ingin menggadaikan suaranya di depan—kalau suaranya tak dibeli, ya tak akan nyoblos.”
Selain merusak usaha membangun demokrasi yang partisipatoris (merusak ke-saling percayaan), siklus semacam ini bisa jadi membebani pejabat publik untuk mencari lebih banyak tambahan uang diluar gaji dan tunjangannya, mulai dengan cara bermain proyek sampai korupsi.
Siapa yang disalahkan? Semua pihak tentu salah.
Disisi lain, ormas dan lembaga-lembaga tempat massa ngumpul juga belum maksimal dalam perannya memberikan sokongan moral-relijius. Misalnya mennyampaikan kajian: “memilih karena uang itu dosa nggak?, misalnya!. Sudah ada yang merumuskan hal ini secara teologis apa belum? Atau sudah seberapa di kampanyekan?
Atau ormas dengan basis massa-nya yang besar hanya jadi bulan-bulanan pendulang suara dengan mudah, melalui deklarasi dukungan politik dan sejenisnya.
Ironis tentunya melihat banyaknya tersangka dalam kasus korupsin tersebut, termasuk dua kandidat walikota. Namun bagaimanapun, korupsi bukan perkara mudah untuk dilakukan sendiri atau satu-dua orang. Korupsi perlu kondisi saling memahami dari banyak pihak, dari berbagai lembaga yang berbeda.
Tidak semudah ngambil nasi lauk lalapan dan tempe di warung Mak Duro atau memilih ayam di warung Mak Par Joyogrand.
Kita perlu khusnudzan saja Abah Anton ini orang yang baik, dan berdoa masalahnya bisa diselesaikan dengan terang di KPK. Namun pesannya adalah, mari membangun demokrasi yang lebih baik, dengan saling percaya dan tidak terlalu membebani pengabdian pejabat publik:
Suatu demokrasi yang menjaga marwah politik elektoral sebagai prosedur dan mekanisme legal yang berbasis kepastian hukum, sekaligus yang mampu mendorong partisipasi dan menyebarkan benih-benih kesadaran untuk melahirkan warga yang bertanggungjawab atas kehadirannya sebagai masyarakat sipil yang harus punya kontrol terhadap elit sekaligus tidak berlaku oportunis dalam tradisi demokrasi.
Juga, meskipun kecewa sebab orang yang mengkampanyekan shalat berjamaah awal waktu telah jadi tersangka korupsi, tetaplah shalat jamaah awal waktu, sebab kita diajar oleh Ali bin Abi Thalib: Unzhur ilaa maa qoola walaa tanzhur ilaa man qiila. (perhatikanlah terhadap apa yang dikatakan, jangan memperhatikan siapa yang berkata).
Tetaplah sejuk dan murah biaya hidup Kota Malang…!