Saya datang lebih dulu baru kemudian menghubungi beberapa teman, yang mayoritas masih kuliah di IAIN Tulungagung. Begitulah rutinitas setiap kali saya ada waktu senggang untuk ngopi di Kabupaten Tulungagung.
Warung kopi bernama Kelakon adalah alternatif terbaik jika ternyata ketika saya datang warung kopi bernama Green masih tutup. Sejak SMA saya akrab dengan Green. Bermula adanya kabar bahwa istri dari pemilik warung kopi, yang juga ikut melayani konsumen, punya paras cantik. Maklum, kata teman-teman saya dulu, dia mantan model lokal dan gadis pemegang payung dalam balapan motor.
Jangan dibayangkan mirip yang memegang payung sebelum pembalap Moto GP bertanding, tapi tidak jauh juga bedanya.
Seingat saya, ketika masih SMA dulu, di Trenggalek masih belum ada warung kopi yang terkenal dan nyaman. Sementara Tulungagung sudah memiliki beberapa pemain raksasa, misalnya kopi Waris, mak Tin dan Green tentu saja. Dengan menu khasnya; kopi ijo.
Sebagai anak pesantren, kopi adalah teman yang luar biasa akrab bagi saya dan teman-teman. Jika ada lebihan sangu, atau kadang kami iuran, maka kamar, halaman sampai depan kamar mandi bisa jadi tempat terbaik untuk ngopi.
Sementara itu, di warung kopi Kelakon, ada hal unik yang bisa diamati, yaitu mulai maraknya gadis-gadis mahasiswi ikut nimbrung ngopi. Tentu yang dimaksud ngopi yaitu mereka hanya hadir disana bersama beberapa teman lelakinya, entah mungkin pacar, sambil nongkrong, membawa bekal nasi bungkusan, pesan es teh atau es susu, berbincang-bincang atau bermain hape sendiri-sendiri kemudian mereka pergi.
Mereka tidak minum kopi hitam sebab tentu akan menambah beban derita cinta gadis-gadis mahasiwi itu, yang sejak semula sudah ‘pahit’.
Teman saya bilang, ini fenomena baru bagi kota sekelas Tulungagung, namun sudah jamak ditemui hampir di semua warung kopi di Malang.
Beberapa penyebabnya misalnya di Malang mayoritas mahasiswi datang dari luar kota, sehingga bisa dikatakan mereka cukup bebas untuk keluar dan menjalin pertemanan. Sementara kebanyakan mahasiswi di Tulungagung adalah anak ‘rumahan’, maksudnya mereka akan kembali ke rumah setelah perkuliahan. Sebab berasal dari Tulungagung sendiri atau setidaknya Trenggalek dan Kediri, atau Blitar.
Kedua mungkin masyarakat Malang sudah cukup longgar secara norma dan terbiasa dengan mahasiswi yang keluyuran malam dan ngopi bersama beberapa teman pria-nya. Buktinya, alun-alun kota Malang dan Batu tidak pernah sepi pengunjung muda-mudi, yang dominan adalah mahasiswa. Beda dengan Tulungagung atau malah Trenggalek. Yang masih kuat dengan kultur ‘ndesa’, yang menjunjung tinggi tata krama pergaulan pria dan wanita bukan muhrim. Dan jam malam adalah ba’da shalat isya’.
Apakah dalam jangka panjang akan berdampak pada banyaknya kelahiran diluar nikah, sebagaimana beberapa kali terjadi di Malang?
Belum tentu juga. Banyak hal yang mempengaruhi pergaulan bebas. Termasuk bisa diantisipasi dengan alat kontrasepsi yang di pajang di depan kasir Alfamart dan Indomaret. Dan tentunya tidak akan ada yang melakukannya di warung kopi.
Tidak berselang lama, teman saya bernama Rijal datang. Kalau masalah guyonan, gojlokan dan nggedabrus dia adalah ahlinya. Teman akrab yang saya mulai kenal sekitar tujuh tahun lalu ketika di pesantren juga.
Dari kejauhan kami saling tertawa. Dia menertawakan saya, begitu pula sebaliknya.
Dan momen yang paling membuat saya menertawakan teman saya satu ini ketika beberapa bulan lalu saya berkunjung ke rumahnya, menawarkan buku yang saya cetak. Awalnya dia tidak mau membeli, namun ketika saya tahu ibunya ada di balik pintu ruang tamu dan dia agak grogi untuk guyonan lepas, saya bilang keras-keras ke dia:
“Buku saya ini mujarab, jal. Kemarin ada orang sudah cerai bertahun-tahun, setelah khatam baca buku ini, langsung rujuk. Bahkan, ada orang yang tulang tangannya hampir patah, baca buku ini, bisa balik normal kembali.”
Kalimat yang semuanya dalam bahasa jawa ngoko dan saya sampaikan sambil tertawa ngakak. Entah sebab ilham darimana, akhirnya dia beli lima puluh ribu tunai. Entah juga sebab sungkan guyonan sebab ada ibunya, atau mungkin sebab benar-benar percaya omongan saya.
“Kowe kui lo lapo, wes semester 10 sek di terus-terusne kuliah ae. Mending kene di gae ngopi, wong kuliah utawa gak kuliah podho ae.” Gojlokan pertama saya lemparkan ke dia.
Dia manggut-manggut dan diam cukup lama, memikirkan dan mengumpulkan serangan balik. Lalu muncul serangan pertama:
“Daap**anmu (pisuhan ringan khas Nggalek-Tulungagung an), bocah koyok kowe kuwi nyapo kuliah neng Semarang? Mending kono dadi kuli-kuli ngresiki kandhang pitike mbon.” Mbon adalah nama julukan salah satu teman saya juga. Pemilik usaha ayam petelur.
Setelah itu kami membicarakan hal-hal tidak penting sampai berjam-jam. Dan ini yang bikin menarik jika bertemu dengan Rijal. Semacam pelepasan kepala dari informasi-informasi berat tentang bubarnya Indonesia, tentang tugas-tugas kuliah manajemen operasional dan tentang romantisme yang suram. Bagi saya, proses gojlokan inilah terapi terbaik untuk segala kemurungan dan kebuntuan pikiran, bukan malah beli coklat atau pergi liburan yang menghabiskan banyak tabungan.
Salah satu serangan saya yang tidak bisa ditangkisnya adalah:
“Kowe ngerti gak, lapo kok dungomu (doamu) akeh seng ora kabul? Sebab kowe ndungone keseringen. Jajal lek jarang-jaranng, pisan pindho ngunu. Bakal kabul. Misale koyok kowe keseringan njaluk mangan terus ngutang nang aku, yoo aku ora bakal ngekei kowe tho. Iyo kan. Hahahaha.”
Mungkin sebab masuk akal. Di akalnya saja.
Terakhir, saran saya bagi saudara yang membaca, berkunjunglah ke Tulungagung, menikmati secangkir kopi tiga ribuan dan ber-bahagialah. Sebab hidup di Jawa Timur bukan hanya tentang menang mana Khofifah lawan Gus Ipul. Dan Indonesia bukan cuma kubu Jokowi melawan kubu Prabowo.
Ngopi dan bergembiralah sejenak.