ABSTRAK
Konsumen atau masyarakat kita secara umum tengah mengalami perubahan pola konsumsi, yang sebelumnya lebih suka menghabiskan uang untuk membeli barang (material goods) kini lebih memilih menghabiskan uang mereka untuk pengalaman (experience based consumption).
Perubahan ini ditandai setidaknya oleh tiga fenomena, yaitu: (1) peningkatan minat wisata dan travelling, (2) dine-out revolution serta peningkatan kunjungan bioskop dan (3) internet as leisure serta digital economy. Era ini menghadirkan peluang dan tantangan bagi pemerintah maupun masyarakat Trenggalek untuk bisa mengambil manfaat ekonominya.
Namun strategi dan gagasan yang dikembangkan, harus disesuaikan dengan masing-masing fenomena yang muncul dengan ciri khasnya supaya bisa lebih optimal diterapkan.
PENDAHULUAN
Hadirnya fenomena Leisure Economy (ekonomi waktu senggang) memberikan tantangan dan peluang bagi kabupaten Trenggalek.
Pergeseran model konsumsi masyarakat ini bisa dimanfaatkan oleh pemerintah dan masyarakat Trenggalek untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan perekonomian masyarakat secara langsung, melalui pariwisata dan beberapa sektor lain yang sejenis.
Trenggalek punya peluang besar mengoptimalkan fenomena leisure economy ini, setidaknya ditunjang oleh dua data, yaitu:
pertama, jumlah generasi muda-milenial dan generasi Z (rentang umur 15-34 tahun) Trenggalek yang sudah cukup akrab dengan teknologi dan haus akan pengalaman mencapai mencapai 190.000-an jiwa[1].
Kedua, wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Jawa Timur mencapai 18.000 an orang pada 2016. Trenggalek tentu saja menjadi salah satu destinasi wisata mereka.
Apa yang dimaksud Leisure Economy?
Secara sederhana, mengutip Yuswohady (www.yuswohady.com: 2017) Leisure Economy adalah fenomena yang menyatakan bahwa konsumen milenial adalah konsumen yang paling haus akan pengalaman (experience) dibanding generasi-generasi sebelumnya.[2] Survei di seluruh dunia (Everbrite-Harris Poll, 2014) membuktikan bahwa milenial lebih memilih menghabiskan uang mereka untuk pengalaman (experience) ketimbang barang (material goods).
Dengan kata lain, bagi generasi saat ini, kebahagiaan bukan ditentukan oleh kepemilikan akan rumah besar, mobil mewah, atau karir yang mentereng, tapi mendapatkan pengalaman dan membaginya (baca: “memamerkan”) ke teman-teman dan orang lain.
Pergeseran ini juga yang menjelaskan kenapa pusat perbelanjaan Roxi atau Glodog sepi, juga mall Sri Ratu di Kediri. Karena konsumen kita mulai tak banyak membeli gadget atau elektronik (goods) di ritel-ritel moderen, mereka mulai memprioritaskan menabung untuk tujuan liburan (experience) di tengah atau akhir tahun.
Berikut ini adalah ketiga poin fenomena yang muncul ditengah era leisure economy dan gagasan yang menurut penulis bisa diambil oleh pemerintah dan masyarakat Trenggalek supaya tidak kehilangan momentum meningkatkan PAD dan mengembangkan ekonomi:
GAGASAN
Pertama, Experience Based Consumer dan strategi sektor pariwisata Trenggalek.
Pemerintah kabupaten Trenggalek sebenarnya sudah cukup maju dalam mengakap peluang ini. Bisa dilihat dari mulai dikampanyekannya Trenggalek sebagai “Surga di Kawasan Selatan” atau “Southern Paradise”.[3]
Ditengah ekonomi yang mengutamakan aspek experience atau pengalaman dan fenomena travel boom (kapanpun dan dimanapun, orang ingin pergi liburan sebab mudah dan murah), gambaran surga sebagai tempat segala nikmat dan keindahan, bisa sangat presisi menggambarkan Trenggalek dengan banyak potensi wisata alam yang bisa dieksplorasi oleh wisatawan nasional maupun internasional.
Penggunaan strategi branding seperti ini menjadi aspek utama yang harus terus dibangun oleh pemerintah dan masyarakat Trenggalek, guna menarik rasa penasaran, minat dan kemauan berkunjung dari masyarakat luar. Hal ini yang juga digunakan Korea Selatan dengan penggunaan slogan ‘Creative Korea’ menggantikan yang sebelumnya yaitu ‘Imagine Your Korea’.
Slogan yang terbukti ampuh menggabungkan nilai-nilai berwujud (tangible) dan tidak berwujud (intangible) termasuk tingkat pengakuan, preferensi, dan kredibilitas serta tentu saja menarik banyak minat pengunjung mancanegara.[4]
Sektor pariwisata yang dikelola dengan baik akan memberikan dampak Multi Ganda (Multiplier Effect) yang luar biasa dalam menggerakan perekonomian masyarakat sekitar. Dampak tersebut bisa berupa dampak langsung, dampak tidak lansung dan dampak ikutan.
Menyikapi fenomana ini, pemerintah Trenggalek perlu mengelola dan mengembangkan secara kontinu brand atau merek wisatanya. Ditengah banyaknya pilihan wisata lain, brand inilah yang akan mendefinisikan dan membuat beda keseluruhan gambaran wisata Trenggalek di benak calon wisatawan.
Terkait infrastruktur hotel misalnya, tidak perlu yang berbintang, sebab akan memakan investasi yang cukup besar dan uji kelayakan yang cukup lama. Disisi lain wisatawan saat ini juga lebih menyukai kunjungan wisata ala traveler dengan biaya yang rendah.
Bagi mereka bisa mengunjungi banyak lokasi baru dengan budaya dan nilai khas-nya serta bisa menginap di rumah warga sekitar lokasi wisata misalnya, adalah pengalaman luar biasa sebab antimainstream.
Pemerintah perlu terintegrasi dengan masyarakat, terutama di sekitar lokasi wisata untuk meemahami fenomena ini dan mengambil sisi positifnya guna mengoptimalkan potensi ekonomi dari pariwisata.
Kedua, Fenomena Dine-Out Revolution atau makan di luar dan nongkrong serta peningkatan kunjungan bioskop.
Studi yang dilakukan oleh Nielsen di 11 kota di Indonesia menunjukkan bahwa generasi milenial memiliki pengeluaran paling tinggi untuk makan di luar (dine-out) dibanding generasi sebelumnya.
Itu sebabnya di era leisure economy warung gaya hidup seperti Warung Upnormal, kedai kopi “third wave” Tanamera atau One-Fifteenth, atau kafe tempat nongkrong berkonsep “third place” (resto di Citos) menjamur tak hanya di Jakarta atau Surabaya, tapi juga mulai merambah ke second cities,[5] bahkan third cities seperti Kabupaten Trenggalek.
Pemuda-milenial makan di luar rumah tak sekedar untuk menghilangkan lapar dan dahaga, tapi lebih karena alasan sosial dan experience. Yaitu untuk bercengkrama dengan anggota keluarga, bersosialisasi dengan teman, mendapatkan pengalaman dan membaginya melalui medsos.
Beberapa kafe dan tempat nongkrong di sebelah selatan alun-alunTrenggalek sudah cukup baik menangkap fenomena ini.
Peluang Trenggalek cukup besar dalam memanfaatkan fenomena dine-out atau nongkrong ini. Data Proyeksi Penduduk Menurut Kelompok Umur tahun 2016, Kabupaten Trenggalek memiliki jumlah generasi milenial dan generasi Z (rentang umur 15-34 tahun) mencapai 190.000 an jiwa.[6]
Pangsa pasar ini akan sangat disayangkan jika mereka harus pergi ke kabupaten Tulungagung, Kediri atau bahkan kota-kota lain guna sekedar memenuhi keinginan nongkrong kekinian-nya, sebagaimana yang selama ini terjadi.
Sementara bedasarkan laporan Kompas.com, pada tahun 2017 jumlah pengunjung bioskop Indonesia mencapai 42,7 juta.[7] Hal ini yang menyebabkan ekspansi keberadaan bioskop cukup cepat berjalan.
Ponorogo misalnya telah memiliki bioskop Ponorogo City Mall, sedangkan tetangga kita Tulungagung telah lama punya Golden Theater Tulungagung. Keduanya tentu menjadi pilihan terdekat bagi konsumen Trenggalek jika berniat menonton film di bioskop
Sehingga, menyikapi fenomana ini, pemerintah Trenggalek dan masyarakat perlu memahami bagaimana perubahan perilaku dan referensi sikap konsumen saat ini. Bahwa pengalaman adalah segalanya. Sehingga bisa menyesuaikan ketika membangun lokasi atau tempat nongkrong kekinian.
Berdasarkan survey Jakpat 2017, masyarakat sekarang ke restoran dan kafe untuk tiga kegiatan; sosialisasi dan kerja dengan teman, menghabiskan waktu luang dan mengambil gambar bagus. Untuk update di Instagram misalnya.
Desain interior yang instagramable, kecepatan dan efisiensi operasional, menu yang unik, dan event-event misalnya live music dan diskusi intelektual bisa menjadi faktor penting penunjang budaya nongkrong di kafe yang akan dikembangkan pelaku usaha.
Terkait bioskop mungkin perlu banyak uji kelayakan dari pemerintah maupun investor untuk membangunnya di Trenggalek, baik dari segi ekonomi, budaya dan sebagainya. Namun diakui ataupun tidak, dari tahun ke tahun jumlah masyarakat Trenggalek yang memiliki minat menonton langsung film di bioskop akan terus meningkat. Dan pasar ini disayangkan jika pergi keluar kota.
Ketiga, Fenomena Internet as Leisure dan digital economy.
Satu lagi yang menjadi peluang ekonomi bagi kabupaten Trenggalek adalah fenomena masyarakat Indonesia, termasuk di kabupaten Trenggalek, yang sudah mulai cukup tinggi koneksinya dengan internet dan sangat akrab dengan smartphone. Hal ini pula yang mungkin dijadikan dasar oleh pemerintah kabupaten Trenggalek untuk menggandeng QLUE, sebuah platform aplikasi berbasis internet untuk masyarakat agar dapat memberikan laporan apapun secara langsung kepada pemerintah maupun pihak swasta.
Era ini juga ditandai dengan kebangkitan online shop, atau ekonomi digital. Tahun 2016 jumlah penggunanya mencapai 8,7 juta orang dan akan terus naik setiap tahun. Peluang ekonomi yang sangat besar tentunya bagi pemerintah dan pelaku usaha di Trenggalek.
Sehingga, menyikapi fenomana ini, pemerintah Trenggalek perlu menggandeng pekerja industri kreatif (startup) berbasis internet dan menunjukkan support dengan pengadaan area co-working space guna lokasi mereka berkumpul dan bertukar gagasan.
Hal ini sebab sudah banyaknya usaha rintisan (startup) yang menjadi besar dan menjadi penggerak utama ekonomi daerah bahkan nasional. Pemerintah Trenggalek juga perlu menggandeng pelaku UMKM dan membekali mereka kemampuan memanfaatkan teknologi, berupa marketplace dan toko online.
PENUTUP
Kehadiran era leisure economy ditunjang perkembangan ekonomi digital merupakan peluang emas bagi pemerintah Trenggalek untuk bekerjasam dengan banyak stakeholder, terutama masyarakat. Hal ini guna memperolah manfaat bagi peningkatan PAD dan ekonomi masyarakat pada umumnya.
Seluruh fenomena dan gagasan yang penulis paparkan pada bagian gagasan hanya bisa diterapkan jika seluruh stakeholder atau pemangku kepentingan sama-sama memahami perubahan sosial-budaya yang tengah terjadi, dan ini perlu forum bersama untuk membahasnya. Menganalisa potensi, peluang, ancaman dan tantangan bagi Kabupaten Trenggalek.
Kemampuan adaptasi dengan era leisure economy dan pertumbuhan ekonomi digital ini bisa membuat kabupaten Trenggalek melangkah maju beberapa tahap guna menghadapi masa yang akan datang dengan daya disruptive (kekacauan) dan ketidak pastian yang akan lebih tinggi.
[1] https://trenggalekkab.bps.go.id/statictable/2018/01/24/348/proyeksi-penduduk-menurut-kelompok-umur-hasil-sensus-penduduk-2010–sp2010–di-kabupaten-trenggalek–2016.html
[2] https://www.yuswohady.com/2017/11/18/milenial-jaman-now-penggerak-leisure-economy/
[3] https://literasitrenggalek.wordpress.com/2016/06/09/trenggalek-the-southern-paradise-apakah-keindahan-wilayah-itu-bisa-membuat-masyarakatnya-sejahtera/
[4] http://www.businesskorea.co.kr/news/articleView.html?idxno=15128
[5] Yuswohady, dkk. Marketing Outlook 2018.
[6] https://trenggalekkab.bps.go.id/statictable/2018/01/24/348/proyeksi-penduduk-menurut-kelompok-umur-hasil-sensus-penduduk-2010–sp2010–di-kabupaten-trenggalek–2016.html
[7] https://entertainment.kompas.com/read/2018/02/28/162919310/jumlah-penonton-bioskop-indonesia-capai-427-juta-pada-2017
Artikel ini pertama kali dikirimkan untuk kompetisi Festival Gagasan Trenggalek, 2018