Minggu siang, setelah dua hari di Malang, saya harus kembali ke Semarang. Setelah naik bus dari terminal Arjosari ke terminal Bungurasih di Surabaya, saya perlu ganti bus kota untuk menuju ke stasiun Surabaya Pasar Turi. Tempat keberangkatan kereta Ambarawa Ekspress yang akan saya tumpangi.
Ada pengalaman menarik di bis kota tersebut. Ketika bus belum jauh meninggalkan terminal, seorang perempuan usia 30-an maju ketengah, membawa sebuah gitar kecil (kentrung) dia berdiri tepat di sandaran kursi depan saya dan mulai menyanyi.
Sejauh yang saya catat di handphone, lirik lagu yang dinyanyikannya berbunyi:
“Jangan kau siksa aku seperti hewan atau benda mati….”
Dan..
“Hewan pun tak sudi kasihnya di curi, apalagi perempuan yang punya harga diri..”
Kritik Sosial dalam Lagu
Dangdut telah menjadi salah satu ikon musik populer di negeri ini. Musiknya didominasi irama yang mengajak untuk bergoyang, dan mengandung pesan yang merakyat. Di setiap acara hiburan, musik dangdut dapat dipastikan turut meramaikan situasi. Di berbagai kota, stasiun radio yang menyatakan diri sebagai ‘radio dangdut’ juga mudah ditemui.
Lirik lagu termasuk dangdut tentu memiliki pesan sosial dan keberpihakan. Jika mengutip artikel Nurani Soyomukti, “Musik tidak pernah netral, mereka selalu menjelaskan keberpihakan kepada klas sosial tertentu”. Dalam masyarakat kapitalis, musik berfungsi bukan hanya sebagai mesin mencari keuntungan (akumulasi profit), namun telah menjadi instrument integrasi sosial di bawah dominasi ideology klas berkuasa.
Sehingga lirik musik yang bagus adalah yang dekat dengan keresahan kehidupan masyarakat.
Begitu pula musik dangdut, sebagai salah satu karya seni, dangdut seringkali berisi tentang gagasan-gagasan perlawanan yang ditujukan kepada para pemimpin, pemerintah, dan realitas sosial yang dipandang tidak sesuai dengan harapan dan kepentingan masyarakat. Dalam lagu yang saya temui di bus, berarti tentang kekerasan pada perempuan.
Hal ini selaras dengan apa yang dituliskan oleh Thawaites, Davis dan Mules, (2009:113), “bahwa penciptaan sebuah karya seni musik yang diciptakan seorang pencipta lagu terkadang berkaitan dengan lingkungan sekitarnya atau hasil pengalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.”
Suatu teks selalu diproduksi dalam konteks sosial; teks selalu dipengaruhi oleh dan memproduksi nilai budaya dan mitos dari konteks tersebut. Dari hasil lagu yang tercipta terkadang mempunyai hasil-hasil pemaknaan yang berbeda-beda dari pendengar lagu salah satunya adalah pemaknaan dalam lirik lagu.
Melalui lagu dangdut, kritik disampaikan dengan bahasa yang cukup santun, indah, dan perlambangan. Kekuatan kritik dangdut tidak menyakitkan tetapi dapat meresap ke dalam diri manusia sehingga pelan-pelan ia dapat menyadarkan manusia.
Dangdut; Media perlawanan perempuan
Lagu yang dinyanyikan perempuan pengamen jalanan tadi ternyata berjudul ‘Sasaran Emosi’. Lagu ini pertama kali dipopulerkan oleh Rita Sugiarto. Isi dari liriknya menyampaikan kritik pada perilaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yang dilakukan pria kepada istrinya.
Dalam lirik aslinya, yang sudah berubah beberapa bagian ketika dinyanyikan pengamen tadi, ada kalimat berbunyi:
“Mengapa kau siksa diriku, seakan aku ini musuhmu
setiap kali engkau marah,
maka tanganmu ikut bicara”
Lirik tersebut mewakili fenomena bahwa perempuan dalam lirik lagu dangdut kontemporer seringkali menampilkan diri sebagai pihak yang jujur dan berani untuk mengungkapkan apa yang dialami. Perempuan tidak segan untuk berkata kasar dan mengumpat laki-laki yang merendahkannya.
Perempuan berani menjadi dirinya sendiri, dan tanpa malu-malu mengemukakan keinginannya. Menyuarakan pengalaman perempuan yang melawan arus stereotip hasil dekonstruksi selama ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Gina Anggraini (2012) berjudul “Representasi Perempuan Dalam Lirik Lagu Dangdut Kontemporer” menguatkan fenomena tersebut.
Dalam penelitiannya, Gina Anggraini, menggunakan unit analisis yaitu tujuh lirik lagu dangdut, yaitu SMS, Kucing Garong, Bete, Keong Racun, Cinta Satu Malam, Hamil Duluan dan Alamat Palsu. Lagu tersebut dipilih karena lagu dangdut tersebut merupakan lagu yang cukup populer di masyarakat.
Mengutip dari peneltian Gina Anggraini, perempuan juga digambarkan sebagai subjek yang berperan aktif dan sangat menikmati pengalaman seksualnya. Dalam lirik-lirik lagu dangdut tadi, perempuan berani membebaskan keinginannya tidak terkecuali untuk melakukan seks. Perempuan ditampilkan berani mengekspreksikan keinginan diri.
Lirik lagu dangdut kontemporer menjadi penggambaran realitas perempuan masa kini. Perempuan keluar dari konstruksi gender dominasi laki-laki. Perempuan yang berani untuk mendobrak stereotip-stereotip gender yang ada. Sosok perempuan yang berkarakter kuat, tangguh, berani, dan tidak melihat diri sendiri sebagai korban.
Nampak bahwa pemahaman stereotip-stereotip yang menjadikan posisi perempuan tersubordinasi masih melekat kuat dalam lirik-lirik lagu dangdut yang diteliti. Namun di luar itu, dapat pula dilihat adanya budaya tanding (counter culture) yang merupakan perlawanan atas stereotipe-stereotip yang memojokkan perempuan.
Dalam hal ini, budaya tanding yang tercemin dari lirik-lirik lagu dangdut kontemporer, tidak selalu harus diberi arti negatif. Karena adanya gejala tersebut dapat dijadikan petunjuk bahwa kebudayaan induk dianggap kurang dapat menyerasikan diri dengan perkembangan kebutuhan (Soekanto, 200:190-191).
Representasi perempuan dalam media lirik lagu dangdut kontemporer dapat dilihat merupakan representasi identitas perempuan yang dipandang dari sudut stereotip. Tidak dapat dipungkiri terdapat isu gender dan ideologi patriarki yang kental di dalamnya. Tentang bagaimana laki-laki dan perempuan ditempatkan dan sikap apa yang diharapkan dari masing- masing pihak.
Masih berdasarkan penelitian Anggraini, tentang bagaimana perempuan yang menjadi korban maupun objek kesenangan laki-laki, sosok yang lemah dan gampang ditipu. Studi budaya menunjukkan bahwa media seni, tidak terkecuali dalam lirik musik dangdut, merupakan tempat yang banyak merepresentasikan perempuan sebagai pihak yang terpinggirkan dan tereksploitasi.
Bagi perempuan, pemikiran seperti itu secara tidak langsung akan mengukuhkan stereotip dominan bahwa perempuan selalu menjadi korban terhadap pengaruh budaya populer dan dapat menjadi mangsa yang empuk. Hingga sampai batas-batas tertentu budaya populer sukses dalam membawa misi dominasi dan eksploitasinya terhadap perempuan.
Melihat kondisi budaya semacam ini, melalui lagu dangdut perempuan mencoba secara kritis menyiasatinya, dan bahkan memanfaatkannya untuk agenda-agenda perlawanannya sendiri terhadap ideologi dominan. Setidaknya dalam lagu awal tadi, melawan kekerasan dalam rumah tangga.