Penulis: Indana Zuhrotun Ni’mah (Trenggalek)

Setelah lulus Madrasah Ibtidaiyah (MI) di tahun 2013, saya mulai memasuki dunia pesantren. Ini semua juga tak lepas dari keinginan dan keputusan orang tua. Mereka berdua berkomitmen untuk memondokkan anak-anaknya setelah lulus MI. Saya sudah tidak kaget lagi, karena saat saya masih MI pun orangtua juga selalu mengatakan “nanti lulus MI belajar di pondok ya..”. Saya sendiri tidak risau atas keputusan itu, karena saya percaya keputusan orang tua pasti yang terbaik untuk saya.

Liburan panjang setelah ujian nasional saya mulai mencari-cari sekolah dan pondok pesantren, dan akhirnya ada rekomendasi dari teman orang tua untuk mencoba tes masuk MTSN Kunir Blitar. Tak disangka-sangka saya lolos tes, padahal saya sudah pesimis karena banyak sekali yang mengikuti tes tersebut, karena posisi itu saya sedang kurang bersemangat untuk belajar.

Setelah diterima di MTSN Kunir saya mulai mencari pondok pesantren, ternyata ada saudara yang mondok di Pondok Pesantren Mahyajatul Quro’ (PPMQ). Sehingga orang tua saya langsung menyetujui untuk mondok di pesantren tersebut. Awal masuk pesantren saya masih banyak menangis dan berdiam diri. Sampai pada akhirnya saya menata hati supaya lebih tenang dan mulai beradaptasi dengan segala kegiatan yang ada di pesantren tersebut.

Selanjutnya untuk kegiatan sehari-hari di pesantren mulai dari pukul 03.45 untuk sholat tahajud. Dilanjutkan dengan langsung melaksanakan sholat subuh, lalu jam 05.00 pagi ngaji “sorogan” Al Qur’an sampai kemudian masuk jadwal sholat Dhuha. Pukul 06.15 santri bersiap-siap untuk berangkat sekolah dan melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di sekolah sampai hamper sore hari.

Sepulang sekolah kira-kira pukul 16.00 kembali mengikuti “ngaji sorogan” Al Qur’an sore dilanjutkan dengan musyawarah madrasah diniyah sampai jam 17.15. Pada pukul 17.30 santri bersiap mengikuti jamaah solat Maghrib disambung hingga jam 19.00 yaitu dengan kelas madrasah Diniyah sampai jam 20.30. Setelah itu, dilanjutkan dengan mengikuti jamaah shalat isya kemudian jam wajib baca Al-quran sampai pukul 21.30.

Setelah kegiatan tersebut selesai, santri baru bisa melakukan kegiatan bebas seperti belajar untuk sekolah formal. Pada pukul 22.00 seluruh santri sudah diwajibkan untuk tidur guna menghindari telat bangun di kemudian hari.

Dan untuk setiap hari Senin malam diadakan kegiatan “nariyahan” (membaca sholawat nariyah bersama) guna menghindarkan diri dari segala bala’ dan memohon perlindungan dari Alloh. Pada waktu “nariyahan” ini seluruh santri harus membawa mushaf Al Qur’an dengan diletakkan di atas kepala. Sedangkan untuk santri yang mengantuk maka disuruh untuk berdiri.

Lalu setiap akhir semester 2 pasti ada acara “bodho” kamar yang mana setiap anggota kamar menghias kamarnya masing masing-masing dan banyak sekali lomba-lomba yang lain. Selama tiga tahun berada di Ponpes Mahyajatul Qurro’ (PPMQ) Blitar membuat saya mengenal banyak hal-hal baru yang mengesankan. Juga berkenalan dengan santri dari berbagai daerah dan belajar begitu banyak ilmu serta tradisi agama islam aswaja khas pesantren.

Setelah 3 tahun berada di pondok Ponpes Mahyajatul Qurro’ (PPMQ) Blitar, kemudian lulus MTs saya melanjutkan “nyantri” ke Pondok Pesantren di Ploso Kediri, yaitu tepatnya pondok pesantren Tsuroya Al-Falah Putri. Sebelum yakin mau mondok dimana, saya dan orangtua saya survei ke beberapa cabang pesantren yang ada di Ploso seperti Al-Badrul Falah, Queen Al-Falah. Setelah dipilih dan mempertimbangkan banyak hal, kemudian tujuan terakhir sepakat ke Ponpes Tsuroya Al-Falah ini.

Setelah selesai mengambil keputusan, saya dan orangtua saya lalu masuk untuk mencari informasi pendaftaran. Tiba-tiba di depan “ndalem” ada mbah yai Nurul Huda Djazuli (Yai Dah) yang “miyos” atau sedang keluar selesai jamaah shalat Ashar. Kemudian saya dan ibu saya langsung sungkem dan ibu saya langsung meminta berkah doa dan “pangestu” mau memondokkan anak disini. Pada saat itu, mbah yai Nurul Huda langsung menepuk pundak saya, dan ibu saya langsung yakin kalau pilihan terbaik adalah mondok di Tsuroya Al-Falah.

Di pesantren Tsuroya ini lebih menekankan pada pembelajaran kitab-kitab kuning. Disini saya lebih banyak berinteraksi dengan lebih banyak anak dan banyak pengalaman yang mengesankan. Untuk jadwal kegiatan hampir sama seperti di PPMQ Blitar dulu, namun kalau di PPMQ setoran Al-Quran, sedangkan di sini setoran nadhom-nadhom nahwu. Masuk pondok ada tes masuk Diniyah dan saya masuk ke kelas 3 ibtida’. Mempelajari ilmu-ilmu fiqih, nahwu, tajwid dasar.

Yang membuat saya terkesan disini saat mengikuti madrasah diniyah santriwati masih diharuskan menggunakan Minang dan Sewek. Saat awal-awal Diniyah memakai sewek kaki saya masih sering pegal-pegal. Hehe..

Memasuki tahun kedua saya memiliki pengalaman baru yakni menjadi MC di acara khitobah kubro Angkatan. Dimana semula saya hampir tidak percaya bisa tampil di depan para Gus, Ning, ustadz-ustadzah, dan seluruh santri Tsuroya.

Setelah menjadi MC tersebut saya jadi lebih sering ikut menjadi panitia dalam kegiatan-kegiatan yang ada di pesantren. Seperti menjadi panitia khitobah kubro Tsuroya yang diadakan di induk, menjadi penerima tamu, jadi bagian keamanan pada saat acara-acara besar seperti Haul Masyayikh dan Haflah Akhirussanah.

[Iklan] Klik Tautan Ini untuk Menerbitkan Buku di Penerbit Indonesia Imaji

Selanjutnya memasuki tahun ke-3 yaitu kelas 12 Aliyah dan 2 Tsanawiyah di madrasah Diniyah waktu saya semakin sibuk dengan kegiatan pondok maupun sekolah. Di tahun ini saya lebih sering menangis karena ambisi saya untuk bisa ikut tampil pada saat muhafadhoh saat haflah akhirussanah dan kelulusan saya. Menangis sebab untuk tampil tersebut harus dengan syarat berupa hafal minimal 500 nadhom Alfiyah Ibn Malik.

Apalagi memasuki semester ke 2 yang dihadapkan pada ujian-ujian sekolah formal maupun kegiatan yang semakin padat di pesantren karena jadi panitia haflah dan ada jam jaga malam untuk kelas tiga. Tapi saya menikmati masa-masa ini karena banyak berkumpul dengan teman-teman berbagi cerita dan lain sebagainya.

Alhasil dengan berbagai perjuangan, saya berhasil ikut dalam tim muhafadhoh dan tampil untuk acara Haflah Akhirussanah saya. Disini mbah yai Nurul Huda maupun Gus-nya selalu menggaungkan kata-kata “Al-adabu fauqal Ilmi”, yang mana santri dianjurkan untuk memposisikan adab atau tata krama di atas ilmu. Kemudian juga sering disampaikan kata-kata “Ilmiyah Amaliah, Amaliah Ilmiyah” yang mana santri sebagai orang yang berilmu harus selalu mengamalkan ilmunya, serta setiap amal perbuatan yang dilakukannya harus didasarkan pada ilmu.

Dengan pengalaman saya di atas membuat saya menyadari betapa pentingnya tholabul ilmi di pesantren. Di pesantren kita diajarkan bagaimana hidup bersosial. Tanpa disadari, dalam kehidupan santri menyimpan segudang pelajaran hidup.

Hal sederhana, semisal bagaimana santri makan bersama dengan menggunakan nampan atau tampah. Dari situ bisa kita lihat, bahwa kebersamaan dalam pesantren itu sangat diutamakan. Tanpa melihat dari mana asalnya, kondisi ekonomi miskin atau kaya bahkan keturunannya. Kita juga dikenalkan tentang konsep barokah atau berkah. Dalam kehidupan pesantren, barokah menjadi hal penting yang dijadikan pegangan santri. Sering kali kita mendengar, setinggi apapun ilmu yang didapatkan jika tidak mendapatkan barokah Kiainya, maka ilmu yang didapat akan sia-sia.