Pasca reformasi, demokrasi bangsa indonesia memasuki fase baru “lembaran” historis dan arus dinamika yang lebih menggairahkan. Era keterbukaan dalam demokrasi juga menumbuhkan “gaya” yang lebih partisipan, khususnya dalam dunia percaturan perpolitikan indonesia.

Menurut beberapa kalangan, era keterbukaan dan kebebasan berpendapat telah meledakkan “syahwat” seluruh elemen masyarakat, khususnya kaum yang “terpinggirkan” oleh rezim orba yang menginginkan negara yang egaliter dan jauh dari praktik aristokrat elite penguasa.

Gairah baru bukan hanya sekedar “mencuci tangan” dari masa lalu semata, melainkan impact terbesar dari terbukanya jeruji besi pengekangan dan penindasan orba ialah munculnya pemuda-pemuda milenial yang hadir sebagai elektorat (pemilik hak suara) milenial bangsa.

Dorongan “terburu-buru dan ego yang tinggi” pada diri pemuda memiliki dampak positif akan percepatan keberlangsungan seluruh sektor, baik dalam tingkat pembangunan perekonomian, perbaikan sistem kenegaraan hingga penumbuhan militansi bangsa.

Jika Tan Malaka mengatakan bahwa idealisme merupakan kekayaan terakhir bagi pemuda, maka tak bisa dipungkiri jika tonggak harga diri dan dentum nafas idealisme pemuda merupakan semangat yang sulit dan bahkan mustahil untuk dibendung.

Keterlibatan pemuda dalam kiprah pembangunan bangsa merupakan gelombang eksistensi penerus estafet cita-cita kemerdekaan yang agung.walaupun seringkali pemuda masih mudah “digoyah” dan diombang-ambingkan keberpihakan.

Ironisnya, progesifitas dan semangat membara kaum milenial sekarang justru menyusutkan minat dan ketertarikan elektorat muda dalam kancah politik.

Hasil survey Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengenai pekerjaan apa yang akan diambil di masa mendatang oleh pemuda menunjukkan bahwa generasi milenial cenderung tertarik menjadi wirausahawan dan PNS, sedangkan pilihan menjadi politikus hanya mendapat angka 21% dari jumlah responden.

Data yang dipaparkan sangat bertolak belakang dengan data pemilih di usia 17-25 tahun yang mencapai total 30% dari jumlah pemilih.

YANG MUDA, YANG MEMBANGUN BANGSA

Sebelum kita menyelami dunia pemuda, hendaknya kita memahami definisi mengenai pemuda .

Mulyadi (2011) merepresentasikan pemuda sebagai individu yang memiliki karakter dinamis, artinya bisa memiliki karakter yang bergejolak, optimis, dan belum mampu mengendalikan  emosi yang stabil.

Frase yang seringkali kita dengar mengenai generasi muda ialah harapan bangsa. Beban tanggung jawab menanti dalam pundak mereka.

Untuk itulah, berdasar hemat penulis, sosok pemuda wajib mindset seorang kreator dalam prosesnya. Tengok saja sosok-sosok inspiratif era milenial seperti Ridwan Kamil, Emil Dardak, dan Anis Baswedan.

Mereka bukan hanya dianggap sosok mindseat creator, melainkan juga sosok inspiratif, terbuka, dinamis serta progresif. Inilah karakter yang sulit didapat generasi “STW” yang identik konservatif, stagnan dan sulit membawa ide dan inovasi.

Asumsi-asumsi positivistik ala John M. Echols mencuatkan pengaruh pemimpin ideal pilihan generasi milenial atas dasar quality, capability dan integritas dalam bekerja.

Independensi merupakan ciri utama pemimpin muda ideal yang digandrungi kaum muda hingga kalangan purna.

Sikap independen dipercaya sebagian kalangan sebagai langkah berani dalam politik praktis dewasa ini. Mengingat, sistem partai pastinya tak lepas dari “kontrak” politik demi kelanggengan kekuasaan.

Walaupun terkesan minim akan pengalaman, golongan muda unggul akan tawaran masa depan yang lebih menjanjikan.

Kedepan, penulis juga menaruh harapan besar pada generasi bangsa untuk terus kuat berkembang, teguh akan prinsipnya dan menjadi visioner serta banyak menginspirasi untuk terus memperjuangkan keadilan sosial serta kesejahteraan bagi bangsa indonesia, semoga tidak sekedar utopis belaka.

Penulis: Faizul iqbal