Tulisan ini di mulai dengan menceritakan kisah penulis menonton pertandingan-pertandingan Persebaya Surabaya, ketika masih SMA.
Di keberangkatan pertama masih kurang beruntung, sebab satu dan lain hal, rombongan teman-teman saya memutuskan batal menuju stadion Tambaksari, lalu memilih mlipir ke salah satu pusat perbelanjaan.
Keberangkatan kedua, karena berangkat naik bis dan hanya dua orang, saya sampai dan masuk di stadion tepat waktu.
Waktu itu pertandingan melawan Persitara, klub bola Jakarta Utara. Pada era ketika nama Andik Fermansyah sedang awal-awal naik daun.
Pengalaman itu terjadi sebelum Igansiun Jonan melakukan perubahan radikal pada wajah perkeretaapian kita. Jadi kalau ada banyak berita lawas mengisahkan suporter sepakbola duduk diatas gerbong kereta selama perjalanan, masuk ke kereta tanpa tiket dan kereta dihujani lemparan batu di beberapa wilayah, saya pernah mengalami langsung, Walaupun cuma sekali.
***
Kini, beberapa tahun setelah mengalami jatuh bangun kompetisi yang ruwet dan terseret dualisme, Persebaya hadir kembali ke kompetisi paling tinggi dalam sepakbola Indonesia, bernama Liga 1. Di musim 2018, sempat teseok-seok di awal hingga pertengahan liga, Persebaya berhasil tampil impresif pada beberapa pertandingan terakhir dan menempati posisi ketujuh klasemen (per 20 November 2018).
Selain beberapa kemenangan terakhir selalu dihiasi dengan minimal memasukkan 3 gol, striker klub (David da Silva) juga menjadi pencetak gol terbanyak di liga.
Ada hal menarik yang tengah terjadi dalam tubuh Persebaya. Terutama kedatangan Azrul Ananda sebagai presiden direktur membawa angin segar, bukan saja dalam pengelolaan keuangan tim yang dianggapnya sebagai suatu entitas bisnis, namun juga usahanya merubah stigma suporter ‘bonek mania’ dengan berbagai proses komunikasi dan edukasi.
Jika sedikit mundur ke belakang, maka salah satu faktor yang membuat persepakbolaan Indonesia selalu ruwet adalah suporter yang urakan, anarkis, dan fanatis kelewat batas. Bonek tentu (dulu) tidak luput dari citra dan perilaku tersebut.
Penjarahan, aksi kriminal dan perusakan fasilitas publik akrab didengar terjadi ketika satu tim sepakbola dukungamereka bertanding.
Perilaku ini terjadi tentu sebab berbagai faktor, misalnya sebab budaya serta identitas informal yang berkembang ditengah komunitas mereka, tidak adanya sanksi tegas dari pelaksana liga sampai spontanitas sebab sedang berada dalam kumpulan massa yang besar.
Meminjam istilah Gustaf Le Bon (1841-1932) dalam Akung (2010), massa memang memiliki jiwa tersendiri yang disebutnya sebagai jiwa massa (collective mind) yang bersifat primitif, buas, liar, destruktif, impulsif, cepat tersinggung, sentimentil, sangat mudah di sugesti, gampang tersulut provokasi, agresif, anarkis, dan seringkali berlaku di luar kendali aturan.
Jiwa massa ini bisa jadi sangat berbeda dari jiwa individu (individual mind) yang asli atau sejatinya. Artinya bahwa individu dengan segenap karakteristk kejiwaannya, ketika telah masuk menjadi bagian dari massa, bisa jadi akan luruh dan larut ke dalam jiwa massa tersebut.
Bonek tentu sudah benyak berubah. Meskipun masih ada beberapa insiden, namun intensitasnya sudah tidak semasif dulu.Saat ini, sangat menarik apabila menyaksikan Persebaya sedang bermain di kandang, dimana bonekmania memperagakan berbagai aksi koreografi yang atraktif sampai chant pembakar semangat pemain.
Atmosfer yang tentu perlu terus dirawat guna perbaikan dunia suporter bola Indonesia.
***
Kembali pada Azrul Ananda. Pria yang semula CEO Jawa Pos ini didapuk sebagai Presiden direktur klub setelah saham mayoritas Persebaya yang dimiliki oleh PT. Persebaya Indonesia diakuisisi oleh PT. Jawa Pos Sportainment (JPS) yang dikomandoi olehnya.
Berbagai gebrakan mulai dilakukan. Dari sisi teknis terutama dengan perekrutan banyak pemain baru. Sedangkan dari sisi non teknis, di channel Youtube Ofiicial Persebaya, Azrul mempresentasikan usahanya membenahi perputaran keuangan klub. Salah satu faktor yang paling rawan menjebak klub sepakbola dalam jeratan kepentingan politisi atau mafia pengaturan skor.
Sisi finansial Persebaya tampak sudah cukup baik, dilihat dari beberapa sponsor yang logo usahanya dipasang di jersey tim. Mulai kapal Api sampai Go Jek. Jumlah suporter yang besar, berada di kota metropolis terbesar kedua di Indonesia dan sejarah panjang klub, tentu jadi modal besar bagi Persebaya meraih dukungan sponsor.
Secara lengkap, Azrul mengedukasi publik sepakbola melalui tayangan di channel Youtube Official Persebaya dengan judul “Bisnis Sepakbola Bersama Azrul Ananda”.
Dalam empat sesi tayangan, Azrul menejelaskan berapa perkiraan dana yang diperlukan sebuah tim sepakbola, apa saja peruntukannya, darimana sumbernya sampai perlu adanya keuntungan supaya bisa investasi pada sisi teknis dan non-teknis supaya klub bisa berkembang secara berkelanjutan (sustainable).
Di kolom komentar tayangan tersebut, tampak dukungan mengalir bagi Azrul guna melakukan perubahan dalam tubuh klub. Suporter juga cukup antusias sebab paham seberapa besar biaya operasional sampai investasi yang diperlukan klub.
Kebiasaan masuk stadion tanpa tiket, membeli merchandise yang bukan official (bajakan), menyalakan flare dan perusakan fasilitas publik tentu merugikan namun tidak bisa secara drastis dirubah.
Azrul seolah tahu bahwa pendewasaan massa tidak bisa sekedar dilakukan lewat penambahan jumlah aparat keamanan menjelang pertandingan, namun melalui edukasi yang ringkas, terbuka dan dari hati ke hati tentu lebih efisien.
Menyentuh sisi humanis, kesadaran kritis dan tanggungjawab individu, sebelum melebur lagi menjadi massa (suporter) dalam pertandingan.
Pemimpin yang transformatif dan visioner tentu memliki dampak yang signifkan terhadapperbaikan kinerja dan budaya organisasi, dan sejauh ini Azrul tampak sudah on the track dalam visi-nya menjadikan Persebaya klub yang dikelola secara profesional.
Patut ditunggu, resonansi perubahan dari Azrul dan Persebaya terhadap sepakbola Indonesia secara lebih luas.Penulis: Luthfi Hamdani (Pleburan)