Foreign Policy (2019) menurunkan laporan panjang berjudul “Why Young Koreans Love to Splurge?” yang ditulis Jeongmin Kim, analis politik dari Seoul National University.
Laporan tersebut mengutip Statistics Korea yang menyatakan pada 2015 sebagian besar Milenial Korsel menganggap ketimpangan pendapatan sebagai masalah terbesar dalam hidup mereka.
Iklim ekonomi Korea Selatan memang tidak baik-baik saja. Terlebih buat kaum muda. Tak hanya mustahil beli rumah karena gaji yang rendah, mereka pun rentan terkena gangguan kesehatan mental yang tak jarang berakhir lewat bunuh diri.
“Hampir separuh jumlah kematian pada kelompok usia 20-an di Korsel disebabkan oleh bunuh diri,” tulis Kim.
Kim mengutip Statistik Korea, pada 2015 tujuh dari 10 anak muda percaya bahwa ketidaksetaraan adalah masalah besar -dan dengan alasan: Di antara negara-negara di Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), misalnya, Korea Selatan berada di peringkat 31 dari 36 dalam aspek ketidaksetaraan pendapatan.
Pada tahun 2018, pengangguran kaum muda mencapai tingkat tertinggi sejak 1999, setelah krisis keuangan Asia 1997. Bagian dari kesalahan atas masalah ini terletak pada ‘chaebol’ Korea Selatan (konglomerat milik keluarga raksasa) yang masih memonopoli sebagian besar perekonomian negara dan melumpuhkan minat kewirausahaan.
Struktur ini membuat anak-anak muda Korea berlomba-lomba memasuki dunia hirarki dan gerontokrasi pekerjaan chaebol karena kekurangan alternatif.
Sebagian pemuda yang masih sehat dan ingin tetap hidup memilih menghamburkan uang dalam menikmati ‘kemewahan kecil’ seperti makanan mahal, berlibur sesuka hati tanpa perencanaan matang, hingga menelusuri kota dengan sarana transportasi mahal seperti taksi alih-alih naik bus atau kereta komuter.
Singkatnya, fenomena ini bernama ‘shibal biyong’. Shibal adalah kata makian populer yang menunjukkan kekesalan (setara dengan ungkapan “fuck it” dalam bahasa Inggris”), sementara biyong berarti pengeluaran.
Istilah ini kerap digunakan anak muda Korsel untuk menyebut kegiatan menghambur-hamburkan uang demi menghilangkan stres akibat kondisi penuh tekanan di tempat kerja. Frasa ‘shibal biyong’ pertama kali muncul pada 2016 di media sosial Twitter.
Hingga kini, menurut catatan Kim, linimasa #shibalbiyong berisi cerita-cerita tentang pengalaman Milenial Korsel menghabiskan gaji mereka.
Mengapa mereka melakukan itu?
Prinsipnya begini: karena gaji pas-pasan dan mustahil menabung (untuk beli rumah, mobil, atau mengumpulkan dana pensiun yang cukup) anak-anak muda Korsel memilih mengalokasikan uang untuk bersenang-senang.
…begitu pula milenial di Amerika.
Senada dengan fenomena di Korea Selatan tersebut, situs Bloomberg.com (07/2019) melansir artikel berjudul “America’s Youth Think They Can Save the World and Get Rich”, menyebut bahwa masyarakat selalu mencoba untuk melakukan simplikasi pada generasi millennial selama bertahun-tahun.
Simplikasi ini terutama dalam tren dimana milenial merobohkan berbagai hal yang begitu populer pada abad ke-20, misalnya, bioskop, supermarket, mobil, kepemilikan rumah.
Tetapi milenial dan saudara-saudara mereka yang lebih muda yaitu Generasi Z, yang bersama-sama membentuk 40% dari populasi A.S., memiliki topik yang lebih besar untuk dikaji daripada sekedar mengkhawatirkan penghinaan mereka terhadap generasi sebelum mereka.
Benar bahwa generasi milenial menginginkan jenis karier yang berbeda, walaupun itu tidak memberikan banyak penghasilan bagi mereka. Berbagai survei mengatakan hal yang sama:
“Banyak orang muda Amerika percaya bahwa, sambil melakukan berbagai tindakan sosial yang baik kepada masyarakat, mereka masih tetap dapat bekerja lebih sedikit daripada Generasi X.”
Masalahnya, tentu saja, adalah meledaknya hutang pelajar dan konsentrasi pekerjaan di kota-kota yang sangat mahal membuat ini menjadi tantangan bagi milenial.
Ketika mereka bergerak di perguruan tinggi lalu ke sekolah pascasarjana dan memilih karier, tempat tinggal, juga menentukan apakah akan menikah dan punya anak. Menjadi dewasa berarti menerima tuntutan memenuhi segala kebutuhan mereka, pada saat para milenial ini belum tentu mampu membelinya.
Milenial Cerdas Menyikapi Keuangan
Kebanyakan millenial memang menggunakan prinsip “kamu hidup hanya sekali (you only live once)” yang membuat gaya hidup serta biaya pergaulan mereka semakin meningkat. Mereka sulit membedakan antara kebutuhan dan keinginan.
Ketika melihat barang bagus di mall, mereka langsung membeli tanpa memikirkan apakah barang tersebut dibutuhkan atau tidak, dan pada akhirnya menyesal telah memberi barang tersebut. Hindari membeli barang karena dasar keinginan bukan kebutuhan.
Saran lainnya, dikutip dari situs web sikapiuangmu.ojk.go.id (2019), usahakan tidak memiliki utang. Hindari hal-hal konsumtif seperti ajakan hangout yang terlalu sering, terutama untuk hal-hal yang belum terlalu kalian butuhkan dan bukan termasuk tujuan keuangan kalian. Sebelum membeli sesuatu, periksa dulu kondisi keuangan kalian.
Jangan karena keinginan untuk tampil keren membuat kita berhutang. Kita dapat memanfaatkan aplikasi di gadget kalian untuk mengetahui berbagai promo diskon.
Bila ingin keuangan terkontrol tiap bulannya, kita bisa menggunakan aplikasi pengelola keuangan. Dengan begitu kita bisa lebih mudah mengevaluasi setiap bulannya.
Saat uang jajan atau gaji masuk ke rekening, usahakan agar membuat rencana keuangan sesuai skala prioritas. Triknya bisa menerapkan rumus 40-30-20-10 dalam rencana keuangan, yaitu: 40% adalah anggaran untuk keperluan sehari-hari, 30% untuk kebutuhan utang, 20% untuk investasi dan tabungan, serta 10% untuk keperluan sosial.
Tabungan, investasi, asuransi kesehatan, dan jaminan pensiun merupakan empat hal wajib yang harus masuk ke dalam rencana keuangan jangka panjang. Harga barang dan kebutuhan yang semakin meningkat membuat empat hal tersebut menjadi penting untuk kita miliki sejak dini.
Yang paling utama, meskipun rencana keuangan sudah sempurna, kita tetap tidak boleh melupakan dana darurat untuk hal-hal tidak terduga yang mungkin muncul. Jangan biarkan hal-hal tidak terduga tersebut mengganggu rencana keuangan yang sudah susah payah disusun