Saya tidak yakin bahwa menonton seri-seri debat capres dan cawapres mampu merubah pilihan anda pada kandidat yang sejak awal anda pilih; dalam hati. Anda yang mendukung Jokowi-Amin akan tetap pada pilihan awal, sementara pendukung Prabowo-Sandi juga akan tetap menjagokan kandidat idola mereka.

Benar saja, belum lama setelah debat-debat itu ditayangkan berbagai stasiun televisi, beberapa lembaga survey merilis hasil riset dan menyatakan bahwa tidak banyak publik (tentu sampel) yang merubah pendirian pilihannya sebab (setelah) nonton debat capres-cawapres.

Tentu ada sekian ratus alasan masyarakat menentukan pilihan politiknya, di antaranya: ikut tokoh desa, ikut kyai, berdasar mana yang menguntungkan secara materil (amplopan), ada yang menganalisa visi-misi, berdasar latar belakang kandidat, berdasar prinsip ‘ngawur saja’, loyalitas pada partai, loyalitas pada ormas. Dan tentu ratusan alasan lain.

Demokrasi idealnya hadir dan ditopang oleh pemilih-pemilih rasional. Ya, seharusnya setiap kepala pemilik hak suara punya kemampuan logika dan nalar kritis yang baik, dalam menimbang dan selanjutnya menjatuhkan pilihan pada capres-cawapres pun caleg.

Kemampuan berpikir kritis tentu bukan kompetensi yang mudah dimiliki setiap orang. Perlu dari awal membangun pondasi sikap skeptis, menalaah fakta-fakta, menyusun berbagai pertanyaan, meminimalisir salah persepsi, mengembangkan berbagai alternatif dan sebagainya-dan sebagainya, sebelum kemudian memutuskan.

Alih-alih rasional, banyak ahli menyebut kita tengah terserang gejala zaman post-truth;  situasi dimana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan fakta-fakta yang obyektif. Kita percaya apa yang pengen kita percayai. Fakta dan data, buang saja..!

Maka narasi-narasi semacam: tidak lagi ada azan, PKI, legalisasi LGBT, capres mandul, cawapres letoy, Orbais, anti agama mayoritas, cawapres sepuh akan diganti salah satu ‘common enemy’, anti Pancasila, lebih banyak menghiasi layar kaca dan internet kita. Dibandingkan penyampaian gagasan, data faktual, dan argumentasi-argumentasi yang mumpuni.

Lalu untuk apa debat capres?

Tentu pertama hiburan, saya sendiri sudah tidak pernah nonton TV selain pertandingan bola dan debat Capres. Kedua, lumayan sedikit banyak tau kemampuan keempat kandidat dalam hal public speaking juga sedikit punya informasi objektif tentang apa yang jadi keresahan mereka, pun apa yang akan mereka lakukan jika terpilih.

Sementara kita lupa, disaat yang bersamaan ketika besok masuk ke TPS memilih capres-cawapres, kita akan memilih 3 calon legislatif. Satu orang anggota DPRD Kabupaten/Kota, satu orang DPRD provinsi, satu orang anggota DPR RI. Ditambah satu anggota DPD.

Sialnya, memilih anggota legislatif lebih rumit. Bukan cuma empat orang yang digabung jadi dua pasang, namun ada ratusan nama yang terpisah dalam belasan partai politik.

Kalau debat capres yang ditayangkan sekian banyak saluran TV saja tidak banyak memberi informasi dan merubah pilihan, maka untuk tahu informasi latar belakang dan visi para caleg lebih mengenaskan, yaitu:

“Kecuali ada sedikit caleg yang sering turun ke dapil dan sosialisasi, media yang bisa jadi perantara hanya spanduk, baliho, dan poster mereka di pinggir-pinggir jalan; yang bikin ribet dan gatal mata, itu.”

Atau lewat media sosial masing-masing caleg, yang pengikutnya sering tidak lebih banyak dari gadis-gadis milenial endorser kerudung, jajanan dan baju muslimah.

Itu saja.

Lebih lucu lagi, selain sudah mencemari visual jalan-jalan dan perempatan, nyaris tidak ada yang mencantumkan visi-misi serta latar belakang berupa profil dan pengalaman mereka selama di kampus atau di kegiatan sosial kemasyarakatan.

Tiga perempat bagian poster dan baliho akan diisi wajah mereka dengan berbagai ekspresi; senyum, semangat, bangga, sombong, ikhlas, penuh harap dan sebagainya. Sedikit bagian diisi kolom dengan guna petunjuk di nomor berapa nama mereka dalam urutan belasan rekan se-partainya.

Sedikit lagi bagian terisi oleh sepenggal kalimat atau beberapa potong kata. Ya itu saja.

Kalimat dan kata-kata klasik serta klise, misalnya:

“Siap mengemban aspirasi rakyat”

“Siap jungkir balik untuk rakyat”

“Cerdas, Tegas, dan Berani”

“Jujur, Muda, Terpercaya”. 

“Mas Fulan Siap Melayani”

“Relijius, bersahaja”

Tentu bisa bermunculan ratusan guyonan dari baliho caleg-caleg ini. Misalnya ‘melayani’, maksudnya mungkin melayani cukong, melayani istri sendiri? Atau melayani apa?.

Lalu janji berupa usia ‘muda’; mentang-mentang masih muda, kemudian apa? Gayus ketika korupsi juga masih muda, bukan? Awkarin, Younglex dan Kimi Hime, ketiganya juga muda-muda.

Atau: ‘aspirasi yang mana? Ketemu dan ngobrol saja ndak pernah’. Caleg DPRD Cirebon bernama Adang Juhandi yang memakai kata ‘jungkir balik’, sampai secara sengaja membalik gambar sepertiga badannya di baliho.

Sebagai rakyat biasa, sebenarnya kita kasihan juga pada caleg-caleg ini. Banyak dari mereka, tidak lebih dari sekedar pencari kerja biasa. Mirip kita melamar sebagai akuntan, sales, bagian operasional, pelayan atau pengawas di perusahaan-perusahaan dan toko.

Latar belakang mereka tentu beragam, ada yang baru saja lulus S1, ada pensiunan polisi, ada juru kampanye bertahun-tahun yang akhirnya diberi slot nyaleg oleh partai, ada calon kepala desa yang gagal. Ada istri bupati, ada anak kyai, ada pedagang pasar.

Kita resah sebab mereka tidak banyak menampilkan visi-misi dan latar belakangnya, sehingga memberi efek persuasi yang layak untuk dijadikan preferensi/alasan memilih. Namun sebagai pengendara motor, kita tentu tidak bisa lepas konsentrasi pada aspal dan kondisi jalan di depan, guna sekedar membaca penuh dan menghapal isi poster.

Kadang kalau berkendara dan kebetulan ada poster caleg yang lumayan menarik perhatian, beberapa detik kemudian kita mikir lagi. Coba me-recall apa yang baru sekian detik terlewat oleh mata.

“Tadi di baliho caleg yang barusan terlewati, nomor berapa ya di partainya. Siapa namanya. Apa slogannya.”

Bahkan ada banyak di antara kita yang setiap hari pulang pergi sekolah atau kerja di jalan yang sama, dengan melintasi gambar caleg yang sama, sama sekali tidak pernah ingat siapa nama caleg, apa partainya, nomor berapa dia.

Apalagi untuk penumpang mobil, mana ada yang nonton kondisi jalan yang terlewati.?

Tahun 2015, Majalah Marketeer besutan ‘suhu’ Hermawan Kertajaya menyebut bahwa beriklan di media luar ruang atau Out of Home (OOH) seperti billboard, baliho, videotron (billboard LED), maupun jembatan penyebrangan orang (JPO) dinilai masih cukup efektif.

Ya, itu tahun 2015.

Marketeer mengutip hasil riset perusahaan penyedia informasi dan riset konsumen PT The Nielsen Company Indonesia (Nielsen).

Perusahaan yang berasal dari Amerika Serikat ini menyatakan penetrasi OOH di Indonesia berada di urutan kedua (52%) setelah televisi (96%), dan berada di atas radio (40%), Internet (37%), surat kabar (11%), dan majalah/tabloid (6%).

Dinilai efektif sebab:

“…lebih dari 67% konsumen di Indonesia pergi ke luar rumah pada hari kerja maupun akhir pekan. Ia menyebut, rata-rata waktu yang dihabiskan seseorang di luar rumah mecapai hingga lima jam, dengan 1-2 jam berada di jalan.”

Ingat, itu survey tahun 2015.

Ketika mungkin saat itu pejalan kaki dan penumpang kendaraan belum se-menunduk sekarang. Dimana hampir semua waktu dan kesempatan dijalan digunakan untuk men-scroll layar smartphone. Jalan sambil nunduk, duduk di mobil nunduk main game. Memutar musik, pakai headset.

Efektifitas baliho caleg, tentu jadi jauh berkurang saat ini.

Kita tentu kasihan melihat upaya caleg sedemikian rupa, mulai mengesampingkan rasa malu sampai keluar banyak uang, juga kelelahan keliling dapil. Namun, lebih kasihani-lah diri kita sendiri, sebagai pemilih, kita kekurangan informasi.

Apalagi dibandingkan dengan caleg yang (nanti) kebetulan menang; mereka dapat status sosial, dapat gaji, dapat tunjangan, dapat uang kunjungan dapil, bisa berlagak raja-raja, bahkan dapat istri baru (terdaftar atau diam-diam).

Terakhir, jadi apa preferensi dan alasan memilih caleg…?

“Terserah anda, kita sama-sama kurang peduli dan kurang informasi”