Ibnu Nadzir, Peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan & Kebudayaan (LIPI) dalam artikelnya di situs web Tirto.id menulis bahwa Peta politik dunia beberapa tahun terakhir diwarnai kemenangan para politisi ganjil. Amerika Serikat dikejutkan oleh kemenangan Donald Trump, Duterte berhasil menaikkan pengaruhnya dari walikota di sebuah kota kecil hingga jadi orang nomor satu Filipina dalam waktu singkat, dan akhirnya Jair Bolsonaro berhasil mempecundangi calon partai kiri yang dipromosikan oleh Lula, mantan presiden yang masih sangat populer di Brasil.

Apa persamaan ketiga tokoh tersebut?

Selain fakta bahwa ketiganya kerap mengeluarkan pernyataan kontroversial, mereka adalah figur yang melesat lewat mobilisasi politik yang kini dbiasa disebut sebagai populisme kanan. Model politik serupa di Indonesia diusung oleh Prabowo Subianto. Terlepas dari keberhasilan upayanya, pola tersebut masih akan berpengaruh dalam kehidupan demokrasi kita.

Dalam situs web Wikipedia, Populisme dimaknai sebagai “sejumlah pendekatan politik yang dengan sengaja menyebut kepentingan “rakyat” yang seringkali dilawankan dengan kepentingan suatu kelompok yang disebut “elit”.

Populisme memiliki berbagai macam definisi, dan istilah ini sendiri berkembang pada abad ke-19 dan semenjak itu maknanya berubah-ubah. Di Eropa, tidak banyak politikus atau partai yang menggambarkan diri mereka sebagai “populis”. Dalam kajian ilmu politik, istilah ini telah digunakan dengan definisi yang bermacam-macam, tetapi ada juga beberapa ahli yang menolak penggunaan istilah ini.

Paul D. Kenny (2019) mencatat dua kelompok besar dalam perdebatan seputar populisme. Kelompok pertama melihat populisme sebagai ideologi yang biasanya ditandai penolakan terhadap kemapanan institusi tradisional. Kelompok kedua melihat populisme sebagai strategi mobilisasi politik. Salah satu karakteristik penting populisme sebagai strategi mobilisasi politik adalah upayanya untuk memangkas jarak antara figur politik dengan pemilih di akar rumput.

Masih menurut Nadzir (2019), Pembacaan ini berangkat dari pandangan bahwa populisme terlalu elusif untuk disebut sebagai ideologi. Sebaliknya, jika dibaca sebagai strategi mobilisasi, maka populisme yang digunakan oleh politisi kanan seperti Bolsonaro hingga Chavez yang kiri jadi lebih dapat dipahami. Meski sama-sama populis, cara Bolsonaro dan Chavez mengemas diri sebagai representasi rakyat melawan elite sungguh berbeda.

Di antara varian spektrum tersebut, populisme kanan hari ini lebih dominan di berbagai belahan dunia. Tokoh-tokoh pengusungnya bisa diidentifikasi dari model mobilisasi yang mengawinkan keresahan ekonomi dengan kecemasan soal identitas. Di Amerika Serikat pada 2016, baik Donald Trump maupun Bernie Sanders (ketika itu salah satu kandidat Partai Demokrat) sama-sama menyoroti politisi kebanyakan yang dituduh korup. Namun, ketika Bernie Sanders beranjak lebih jauh mengkritik kapitalisme sebagai akar persoalan, Trump lebih senang menyerang kelompok minoritas seperti Islam ataupun warga negara keturunan Meksiko.

Apa yang Mendorong timbulnya Populisme?

“Jika populisme otoriter berakar dalam ekonomi, maka solusi yang tepat adalah populisme jenis lain – menargetkan ketidakadilan ekonomi dan inklusi, tetapi pluralis dalam politiknya dan tidak harus merusak demokrasi. Namun, jika itu berakar pada budaya dan nilai-nilai, ada beberapa pilihan.” Tulis Dani Rodrik dalam artikelnya di situs project-syndicate.org

Apakah itu budaya atau ekonomi?

Pertanyaan Rodrik (2019) itu membingkai banyak perdebatan tentang populisme kontemporer. Apakah kepresidenan Donald Trump, Brexit, dan kebangkitan partai-partai politik nativis sayap kanan di benua Eropa merupakan konsekuensi dari semakin dalamnya keretakan antara nilai-nilai konservatif sosial dan liberal sosial, dengan berbagai aliran yang sebelumnya memberikan dukungan pada kelompok xenofobik, etno-nasionalis, politisi otoriter?

Atau apakah mereka mencerminkan kegelisahan dan ketidak-amanan ekonomi pemilih, yang dipicu oleh krisis keuangan, penghematan, dan globalisasi?

Hal ini sangat tergantung pada jawabannya. Jika populisme otoriter berakar dalam ekonomi, maka solusi yang tepat adalah populisme jenis lain – yaitu menargetkan ketidakadilan ekonomi dan inklusi, tetapi pluralis dalam politiknya dan tidak harus merusak demokrasi. Namun, jika itu berakar pada budaya dan nilai-nilai, ada lebih sedikit pilihan. Demokrasi liberal dapat dikutuk oleh dinamika internal dan kontradiksinya sendiri.

Lebih lanjut, Dani Rodrik yang merupakan Profesor Ekonomi-Politik di Harvard University menuliskan:

“Beberapa versi argumen budaya dapat diabaikan begitu saja. Sebagai contoh, banyak komentator di Amerika Serikat berfokus pada seruan Trump terhadap rasisme. Tetapi rasisme dalam beberapa bentuk telah menjadi fitur abadi masyarakat AS dan tidak dapat memberi informasi pada kita, mengapa manipulasi Trump terhadap populisme menjadi begitu populer. Suatu konstanta (red: budaya rasisme) tidak dapat menjelaskan perubahan.”

Beberapa komentar lain telah lebih canggih. Versi argumen serangan budaya yang paling teliti dan ambisius telah dikemukakan oleh Pippa Norris dan Ronald Inglehart dari University of Michigan. Dalam sebuah buku baru-baru ini, mereka berpendapat bahwa populisme otoriter adalah konsekuensi dari pergeseran nilai-nilai generasi yang bersifat jangka panjang.

Menurut Noris dan Inglehart, ketika generasi muda menjadi lebih kaya, lebih berpendidikan, dan lebih aman, mereka telah mengadopsi nilai-nilai “post-materialis” yang menekankan sekularisme, otonomi pribadi, dan keragaman dengan mengorbankan religiusitas, struktur keluarga tradisional, dan konformitas. Generasi yang lebih tua telah teralienasi -secara efektif menjadi “orang asing di tanah mereka sendiri.” Sementara kaum tradisionalis sekarang secara numerik adalah kelompok yang lebih kecil, mereka memilih dalam jumlah yang lebih besar dan lebih aktif secara politik.

Will Wilkinson dari Niskanen Center baru-baru ini membuat argumen serupa, dengan fokus pada peran urbanisasi pada khususnya. Wilkinson berpendapat bahwa urbanisasi adalah proses pemilahan spasial yang membagi masyarakat tidak hanya dari kekayaan ekonomi, tetapi juga nilai-nilai budaya. Ini menciptakan daerah yang berkembang pesat, multikultural, dan padat di mana nilai-nilai sosial liberal mendominasi. Dan ia meninggalkan daerah-daerah pedesaan dan pusat-pusat kota kecil yang semakin seragam dalam hal konservatisme sosial dan keengganan terhadap keanekaragaman.

Proses ini, lebih lanjut mengalami fase memperkuat diri: keberhasilan ekonomi di kota-kota besar memvalidasi nilai-nilai perkotaan, sementara seleksi mandiri dalam migrasi keluar dari daerah tertinggal meningkatkan polarisasi lebih lanjut. Di Eropa dan AS, daerah homogen, sosial konservatif merupakan basis dukungan untuk populis nativis. Di sisi lain, dari argumen para ekonom telah dihasilkan sejumlah studi yang menghubungkan dukungan politik bagi populis dengan goncangan ekonomi.

Dalam apa yang mungkin paling terkenal di antara ini, David Autor, David Dorn, Gordon Hanson, dan Kaveh Majlesi – dari MIT, University of Zurich, University of California di San Diego, dan Lund University, masing-masing -telah menunjukkan suara untuk Trump dalam pemilihan presiden 2016 di seluruh komunitas AS sangat berkorelasi dengan besarnya guncangan perdagangan China yang merugikan.

Faktor lainnya juga memiliki dampak serupa, semakin besar masyarakat yang kehilangan pekerjaan karena meningkatnya impor dari China, menyebabkan semakin tinggi dukungan untuk Trump. Memang, menurut Autor, Dorn, Hanson, dan Majlesi, guncangan perdagangan dari China mungkin secara langsung bertanggung jawab atas kemenangan pemilu Trump pada 2016.

Penetrasi impor Tiongkok yang lebih tinggi ditemukan terlibat dalam dukungan untuk Brexit di Inggris dan kebangkitan partai-partai nasionalis sayap kanan di Eropa kontinental. Penghematan dan langkah-langkah yang lebih luas dari ketidak-amanan ekonomi telah terbukti memainkan peran yang signifikan secara statistik. Dan di Swedia, peningkatan ketidak-amanan pasar tenaga kerja telah dikaitkan secara empiris dengan kebangkitan kelompok Demokrat Swedia sayap kanan.

Argumen budaya dan ekonomi mungkin tampak dalam ketegangan satu sama lain. Tetapi, dengan membaca yang tersirat, seseorang dapat membedakan jenis konvergensi. Karena tren budaya – seperti post-materialisme dan nilai-nilai yang dipromosikan urbanisasi – bersifat jangka panjang, mereka tidak sepenuhnya memperhitungkan waktu dari reaksi populis.

Dan mereka yang mengadvokasi keunggulan penjelasan budaya sebenarnya tidak mengabaikan peran guncangan ekonomi. Guncangan-guncangan ini, mereka yakini mempertahankan, memperparah dan memperburuk perpecahan budaya, memberikan dorongan tambahan kepada penduduk otoriter yang mereka butuhkan.

Norris dan Inglehart, misalnya, berpendapat bahwa “kondisi ekonomi jangka menengah dan pertumbuhan keanekaragaman sosial” mempercepat reaksi budaya, dan menunjukkan dalam karya empiris mereka bahwa faktor ekonomi memang berperan dalam mendukung partai-partai populis.

Demikian pula, Wilkinson menekankan bahwa “kecemasan rasial” dan “kecemasan ekonomi” bukanlah hipotesis alternatif, karena guncangan ekonomi telah sangat meningkatkan pemilahan budaya yang dipimpin urbanisasi. Untuk bagian mereka, determinis ekonomi harus mengakui bahwa faktor-faktor seperti goncangan perdagangan China tidak terjadi dalam ruang hampa, tetapi dalam konteks perpecahan sosial yang sudah ada sebelumnya di sepanjang garis sosial-budaya.

Dani Rodrik, guna menutup telaahnya mengenai populisme dalam artikel berjudul “What’s Driving Populism?” memberikan penutup:

Pada akhirnya, penguraian yang tepat dari penyebab di balik bangkitnya populisme otoriter mungkin kurang penting daripada pelajaran kebijakan yang bisa ditarik darinya. Ada sedikit perdebatan di sini. Solusi ekonomi untuk menanggulangi ketidaksetaraan dan rasa tidak aman adalah pilihan yang terpenting.