Oleh: Naili Amalia SE MM, Pemerhati Ekonomi.
Secara mengejutkan, beberapa minggu lalu pemerintah Amerika Serikat menyatakan bahwa Indonesia telah keluar dari kategori negara berkembang menjadi negara maju. Pantaskah ekonomi Indonesia saat ini digolongkan maju?
Jika dikulik lebih dalam, rasanya kurang tepat kategori baru tersebut diberikan pada awal tahun 2020 ini. Sebab ujian ekonomi awal tahun 2020 ini sangat berat dirasakan oleh berbagai kelompok masyarakat.
Masa sulit di awal tahun 2020 sangat terasa karena kondisi ekonomi lokal maupun nasional sedang tidak stabil dan cenderung menurun. Hampir semua kalangan mulai dari masyarakat golongan ekonomi kelas bawah, masyarakat kelas menengah, serta masyarakat golongan ekonomi kelas atas semua cemas dengan kondisi ekonomi nasional.
Hal serupa juga dirasakan oleh perusahaan-perusahaan besar. Kecemasan yang tercermin pula dalam berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Berbagai faktor mewarnai ketidakstabilan perdagangan dalam lingkup kecil maupun secara nasional.
Golongan menengah kebawah yang diwakili oleh para pedagang kecil termasuk yang paling merasakan kegelisahan perekonomian. Beberapa kali mereka mengeluhkan rendahnya tingkat penjualan serta penghasilan yang dirasa akhir-akhir ini cukup memprihatinkan.
Salah satu alasannya adalah ketidakmampuan mereka mengikuti perubahan serba cepat, serba canggih dan serba mudah yang didukung oleh teknologi dan internet. Pedagang kecil tidak mampu mencapai dan mengikuti level tersebut sebab keterbatasan skill dan Sumber Daya Manusia. (laporan penutupan IHSG 28 Februari 2020).
Selain itu, tidak bertemunya keseimbangan supply (penawaran) dan demand (permintaan) sehingga terjadilah kesenjangan pertemuan pasar. Tingginya penawaran di Indonesia tidak berimbang dengan daya beli dan minat beli masyarakat. Tren ini tercermin dari banyaknya pelaku baru di ekonomi kreatif yang bergerak di bidang food and beverages seperti penjual thai tea, coffe shop dan boba. Tersebar di seluruh pelosok Indonesia, baik di desa maupun di kota, yang dengan mudah kita dapatkan dengan berbagai macam rasa.
Akhir bulan Februari 2020 juga menjadi periode tragis bagi IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan), sebagai salah satu cerminan perdagangan golongan atas. Terjun bebasnya IHSG dapat melambangkan terjadi sesuatu yang salah pada perekonomian Indonesia secara nasional.
Bukan hanya itu, hampir semua saham pada BEI (Bursa Efek Indonesia) tengah dalam tren bearish (penurunan) sehingga para investor dan trader dihinggapi kecemasan. Harapan muncul pada minggu berikutnya di awal Bulan Maret dimana terjadi tren hijau atau kenaikan pada IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) pada pembukaan pasar perdagangan BEI (Bursa Efek Indonesia).
Namun kenyataan tersebut tak bertahan lama, di pertengahan perdagangan 2 Februari 2020, IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) kembali lesu sehingga muncul tren warna merah. Tidak lain dipengaruhi oleh pengumuman pemerintah melalui Presiden Jokowi dan Mentri Kesehatan Terawan (2/3/2020) terkait adanya dua WNI yang positif terjangkit virus corona.
Meskipun isu tersebut sejak akhir bulan Februari 2020 gencar disuarakan salah satunya pada 25 Februari 2020 saat Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengeluarkan instruksi waspada akan virus corona.
Menteri Kesehatan kala itu masih membantah dengan menyatakan bahwa Indonesia aman dari virus corona sampai kemudian ditemukan dua WNI yang positif corona. Sebelumnya, pada 27 Februari 2020, World Health Organization (WHO) mengatakan bahwa virus corona tidak mengenal ras maupun etnis tertentu sehingga tidak ada yang tidak mungkin terserang corona. Maka sejak awal WHO menghimbau bagi semua negara untuk selalu waspada.
Guna mempertahankan ekonomi di tengah krisis, pemerintah mengeluarkan beberapa rancangan kebijakan. Salah satu cara yang dianggap jitu yaitu dengan penerapan kebijakan pemberian discount tiket pesawat terbang sebesar 40 persen hingga 50 persen ke berbagai kota dengan berbagai destinasi wisata. Kebijakan tersebut tidak lain ditetapkan untuk meningkatkan pengunjung dari sisi pariwisata sehingga diharapkan mampu menyumbang pendapatan negara secara besar.
Tapi nyatanya pemerintah lebih mementingkan peningkatan pendapatan dari sisi pariwisata ketimbang keselamatan warga akan penyebaran virus corona. Sedangkan dalam banyak kasus, virus corona ditularkan dengan jalur wisata atau travelling.
Wacana kebijakan Pemerintah Indonesia sangat berbanding terbalik dengan negara-negara lain yang menutup diri dari wisatawan. Salah satunya yang dilakukan pemerintah Arab Saudi dengan menutup sementara kunjungan ibadah umroh ke Mekkah sebagai antisipasi corona.
Kurangnya keterbukaan pemerintah serta kebijakan penyelamatan kondisi ekonomi sekarang nyatanya mengancam Indonesia pada kondisi “berdarah”. Masyarakat bisa jadi kebingungan untuk mengatasi perekonomian secara individu maupun terkait keberlangsungan keselamatan usaha mereka.
Warna “merah darah” yang melekat pada tren IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) dalam minggu ini membuat investor dan trader “menangis”. Discount tiket pesawatpun tidak akan mempan untuk mendapatkan keuntungan atau pendapatan yang lebih besar bagi pemerintah.
Jelas sekali masyarakat jauh lebih sayang pada kesehatan dan keselamatan diri mereka dengan tidak mengeluarkan uang dalam waktu ini. Tentu juga sebab takut akan penyebaran virus corona di Indonesia kalau sering berinteraksi di tempat umum atau keramaian. Nyatanya, meskipun masyarakat semua bekerja keras, mereka tetap dihantui dan mengeluhkan masalah ekonomi.