Laporan World happiness Report (WHR) 2018 menempatkan Indonesia pada posisi ke 96 dari 156 negara yang diteliti. Dibandingkan negara Asia Tenggara lain, tingkat kebahagiaan masyarakat Indonesia masih kalah dari Vietnam, Singapura dan Malaysia.

Sebagai negara berkembang, posisi Indonesia cukup dimaklumi. Secara ekonomi, pendapatan rata-rata penduduk (GDP per-kapita) kita gak terlalu tinggi; 3570 USD. Lihat nilai kebahagiaan yang gak jeblok banget berbanding dengan GDP per-kapita yang segitu (bandingkan misalnya Qatar 129.000 USD, Singapura 87.000 USD) kita masih (patut bangga) melestarikan sinisme:

“Gak perlu banyak duit, asal bahagia.” Atau pernyataan: “Uang gak bisa membeli kebahagiaan.!” Atau: “Aku rela gak makan, asal bareng kamu, Mas. Pellis.”

Apa sinisme itu bisa dibenarkan? Bisa tidak, tapi bisa iya.

Dikatakan gak bener sebab dalam pengukuran tingkat kebahagiaan WHR tadi, pendapatan rata-rata (GDP-dalam hal ini paritas daya beli) jadi indikator utama. Ini sesuai riset Ronald Inglehart, et al. (2000): Secara umum, semakin banyak uang yang bisa dibelanjakan untuk barang dan jasa, otomatis semakin bahagia.

Sinisme tadi bisa juga benar. Sebab dalam konteks Indonesia, indikator dukungan sosial (social support) berkontribusi hampir 2 kali lipat terhadap kebahagiaan masyarakat, dibanding dengan GDP. Dukungan sosial ini secara sederhana di wakili pertanyaan: “Kalau kamu lagi dalam masalah, kamu punya gak saudara dan teman yang bakal bisa mbantu. Baik kamu minta atau gak minta?”

Ini semacam perasaan aman (secure), sebab solidaritas kita tinggi: ‘Gak popo gak duwe duit, mangan enak nunggu slametan, utawa nunggu melu demo. Ngopi karo rokok iso barengan. Nyewa hotel gak kuat, numpang rumah teman, atau nginep di masjid!”

Selesai perkara.