Maraknya ujaran kebencian bahkan mengarah pada perusakan serta penyeranvan fisik sebab latar belakang Suku, Ras, Agama dan Antargolongan (SARA) menghadirkan kecemasan ditengah masyarakat. Beberapa kelompok intoleran dengan giat memaksakan kebenaran ajarannya.
Melalui majelis, perkumpulan langsung maupun dengan media sosial. Sehingga jamak kita ketahui perkembangan akses informasi yang seharusnya membuat masyarakat luas wawasannya malah menjadi ajang menjatuhkan, dengan pandangan yang monolitik.
Upaya-upaya merusak toleransi ini semakin lama bisa merusak tenun kebangsaan yang telah lama kita jaga. Dimana rakyat negeri ini telah mendeklarasikan kalimat ‘Bhinneka Tunggal Ika’ sebagai semboyan bersama.
Suatu kesadaran bersama dan sudah turun-temurun dalam kearifan nenek moyang masyarakat, kemudian dituliskan ulang dalam lambang negara yaitu burung garuda. Kearifan yang hadir dari pemahaman bahwa multikuturalisme adalah kehendak dari Sang kuasa dan merupakan berkah bagi kehidupan masyarakat Nusantara.
Masdar Farid Mas’udi dalam orasi ilmiahnya di kampus UIN Malang pada 14 Agustus 2017, menyampaikan pesan: “Perbedaan agama, suku dan bahasa itu kodrat, bahkan rahmat dari Allah.
Sebab kalau saja berkehendak, Allah bisa saja menjadikan semua manusia sama. Dan keputusan Indonesia tidak mendeklarasikan diri sebagai negara agama, adalah upaya merawat kodrat perbedaan tersebut.”
Toleran dalam KBBI dimaknai sebagai: bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Sementara islam mengenal istilah “Tasamuh“ yang memiliki makna menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun, bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini.
Sikap toleransi ini dijelaskan dalam Al Qur’an surat Thaha ayat 44, yang berbunyi:
“Maka berbicalah kamu berdua (Nabi Musa dan Nabi Harun) kepadanya (Fir’aun) dengan perkataan yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut.”
Ayat ini menjelaskan bahwa perintah Allah SWT kepada Nabi Musa dan dan Nabi Harun agar bertutur kata dan bersikap baik dengan Fir’aun. Imam Ibnu Katsir menjelaskan, sesungguhnya dakwah Nabi Musa dan Nabi Harun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lemah lembut dan ramah.
Hal ini dilakukan supaya lebih menyentuh dalam hati, lebih mudah diterima dan lebih berfaidah.
Secara ontologis, Hassan Hanafi dalam Tibi (2005) mengungkapkan sebenarnya islam memandang semua manusia merupakan bagian dari satu keluarga tanpa batas, satu umat manusia.
Meskipun kemudian terbagi dalam beberapa komunitas moral yang berbeda-beda (umam), islam secara esensial mengajak untuk saling menghormati dan berperilaku baik. Dilihat dari pandangan tersebut maka semua muslim dimanapun merupakan anggota umat islam, suatu komunitas ideal tanpa memandang geografis.
Namun sebab suatu identitas tidak pernah monolitis, selain islam memandang setiap muslim memiliki suatu keanggotaan moral yang tunggal, islam juga menerima kenyataan jika ada masyarakat muslim yang terpisah dalam berbagai kesatuan negara-bangsa.
Singkat kata, bisa dikatakan islam mengkui pengelompokan manusia atau umat-umam dalam negara, suku, agama dan ras tertentu.
Pentingnya penanaman toleransi bisa dirunut dari sejarah awal tentang kebebasan memilih dalam beragama, yang sudah menjadi problem lama yang sentral dibahas para ahli.
Sedemikian sentralnya sehingga ketika Nabi Muhammad SAW sebagai manusia tiba-tiba tergoda untuk memaksakan keinginan keagamaannya kepada orang lain, ia langsung ditegur oleh Allah:
“Seandainya Tuhanmu menghendaki tentu berimanlah seluruh orang dimuka bumi ini, tanpa terkecuali. Apakah engkau (Muhammad) akan memaksa umat manusia supaya mereka menjadi beriman?” (QS. 10:99)
Oleh sebab itu, seorang muslim seharusnya paham bahwa pilihan berislam adalah pilihan intelektual, rasional, merdeka dan manusiawi sesuai dengan fitrah manusia.
Al-Qur’an pun menegaskan bahwa manusia diberikan kemerdekaan untuk memutuskan: ‘menerima atau menolak kebenaran’. Sedangkan Allah akan hanya akan memberi balasan sesuai keputusan manusia berdasar kemerdekaannya.
“Dan katakanlah: kebenaran itu datang dari Tuhanmu; maka barangsiapa ingin beriman hendaklah dia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir biarlah dia kafir. Sesungguhnya kami telah sediakan bagi orang-oranf yang zalim neraka, yang gejolaknya mengepung mereka…” (QS. 18:29)
Lebih lanjut, visi toleransi, inklusifitas dan universalisme islam diwujudkan dalam perspektif hukum yang memberi jaminan kepada keberlangsungan hidup umat manusia secara keseluruhan.
Dalam hal ini islam harus menampilkan dan memperjuangkan jaminan hukum menyangkut lima masalah pokok dalam kehidupan manusia (entah apapun agama, suku, ras dan golongannya),
yaitu: jaminan keselamatan jiwa, jaminan keselamatan keyakinan agama masing-masing tanpa paksaan pindah, jaminan atas keselamatan keluarga dan keturunan, jaminan keselmatan harta benda dan milik pribadi, dan jaminan atas keselamatan akal.
Dalam konteks bermasyarakat, agama islam mengajarkan untuk membentuknya laksana bangunan. Dimana satu unsur dengan yang lainnya saling menguatkan.
Jika rusak satu unsur, maka akan rusak atau tidak semputna yang lainnya. Jadi islam begitu menganjurkan untuk menjaga hak individu, sehingga dengan asumsi jika hak individu telah terjaga maka akan hak masyarakat akan terjamin pula.
Salah satu cara yang bisa secara kolektif kita gunakan untuk menangkal paham-paham intoleran adalah lewat pendidikan. Pendidikan yang bisa digunakan adalah yang membiasakan peserta didik tentang keluasan wawasan dan pendekatan seperti sistem kurikulum pesantren.
Pendidikan sebagai suatu proses transfer ilmu dan budaya serta pembiasaan karakter-karakter baik suatu bangsa bisa menjadi pondasi kokoh guna membangun nasionalisme kebangsaan.
Dalam pendidikan ini bisa kita sampaikan bahwa toleransi dengan mereka ‘yang berbeda’ adalah salah satu bagian dari islam. Peserta didik dalam pendidikan formal maupun pesantren perlu terus diajarkan pendekatan komparatif supaya kaya perspektif dalam memandang persoalan.
Misalnyan santri-santri di pesantren yang terbiasa dengan hal-hal terkait isu khilafiyah, membandingkan argumentasi dan menemukan pendapat mana yang paling kokoh (rajih).
Wawasan dan perspektif kritis ini penting ditengah maraknya paham intoleran yang gemar membid’ahkan dan takfir yang monolitik dan membuat keresahan ditengah masyarakat. Dalam pendidikan ini pula religiusitas generasi penerus bangsa bisa ditanamkan.
Upaya kolektif untuk menyebarkan toleransi dan ajaran islam ramah di media sosial juga perlu terus ditingkatkan. Upaya yang di galang oleh teman-teman santri di Admin Instagram Santri (AIS) Nusantara bisa menjadi contoh.
Dimana komunitas tersebut mencoba membentuk ‘digital media networking’ guna menyampaikan (post) tentang hal-hal yang berkaitan, khas serta unik tentang kehidupan pesantren dan pesan islam aswaja ala pesantren.
Upaya ini cukup efektif sebab Instagram menjadi salah satu media sosial yang paling banyak pemakainya di Indonesia dan begitu kuatnya jaringan ‘kelompok intoleran’ menggunakan instagram guna menyampaikan pesan-pesan ajaran mereka.
Terakhir, bahwa kita tahu toleransi adalah bagian dari kearifan turun temurun bangsa ini, kemudian diperkuat dalam ajaran islam, tugas kita adalah merawat dan menyebarkan ajarannya supaya tetap terjaga dan terwariskan kepada generasi penerus sebagai salah satu bentuk syukur atas nikmat keberagaman dari Allah SWT.