Perilaku menyimpang, misalnya menerima suap, yang dilakukan tokoh partai ‘islam’ beberapa waktu lalu, tentu punya dimensi yang lebih kompleks dibandingkan jika pelakunya awam tentang hukum-hukum dan nilai agama.
Menerima suap dan korupsi bagi orang seperti belio, saya yakin tetap berangkat dari pemahaman serta kesadarannya bahwa perbuatannya menyimpang dan haram. Tentu perlu proses dialektik yang panjang guna menyusun argumentasi yang baik, yang aplikatif. Ya, argumentasi yang akan jadi pembenaran atau legitimasi perilakunya.
Misalnya suap yang semula bisa dikategorikan risywah dan haram dilakukan, dirubah dulu hukumnya jadi: mungkin ghanimah (rampasan perang), infaq, sedekah atau bisa jadi bisyarah atau apalah. Atau mungkin merasa dalam kondisi yang perilakunya tidak bisa tidak (musti) dilakukan sebab sistem politik berbiaya tinggi memojokkannya. Lalu pakai kaidah adh-dharurah tubiihul al-mahdhuurah (keadaan darurat membolehkan yang sebelumnya haram).
Atau apalah. Sebab kita semua begitu. Semakin mengerti, semakin berhasrat ngakali.
Jadi, kalau besok ada sesi wawancara, wartawan bisa tanyakan: “uang yang masuk ke sampeyan ini, tergolong sebagai apa?”