Oleh: @luthfiham
Pak Suparmin yang saya temui di lokasi wisata goa Ngerit dengan antusias menceritakan banyak hal. Terutama sejarah lokasi wisata yang berada di desa Senden Kampak ini. Seingatnya, lokasi ini mulai dikembangkan jadi wana wisata sekitar akhir tahun 2016. Beberapa fasilitas mulai dibangun, terutama jalan setapak, besi-besi pegangan kiri-kanan, jembatan dan gazebo.
Versi beliau juga, acara launching wana wisata goa Ngerit diramaikan dengan live music kecil-kecilan. “Pas awal-awal bupati Emil, mas. Tahun 2017-an”, ujarnya. .
Tugas beliau disana jadi pemandu wisata merangkap jaga lapak jualan minuman kemasan. Dulu-dulu, bebatuan besar yang ada di bagian bawah atau di sungai diambil untuk jadi bahan pengaspalan jalan. Setelah mulai dikembangkan jadi lokasi wisata, pengambilan batu dihentikan. Tapi, sekarang jalan ke goa Ngerit ini sudah sangat bagus. Tentu ambil batu dari tempat lain.
Berkunjung ke wana wisata goa Ngerit ini selain bisa nonton pemandangan alam yang keren, juga bisa untuk olahraga. Tangga-tangga curam untuk naik ke satu goa ke goa lain lumayan untuk olahraga.
.
Setiap berkunjung ke rintisan wisata begini, saya suka ‘ngulik’ cerita orang-orang yang terlibat dan terdampak, baik positif atau negatif. Info dari teman yang aktif di jaringan agraria, beberapa hari lalu, warga karanganyar demo menolak pengembangan wisata di gunung Lawu, karena dituding merusak hutan.
Sewaktu kuliah di Malang, juga ada kabar bahwa pengembangan salah satu destinasi wisata modern ditolak warga sebab mengangkangi ijin AMDAL dan nyerobot tanah kas desa. Itu yang ‘kurang sedap’, yang terdampak positif juga banyak misalnya pak Suparmin.
Political will, ide dan invetasi untuk wisata alam begini musti bergerak selaras dengan kelestarian sumber air, pengelolaan sampah dan limbah yang bagus, juga terutama melibatkan warga sekitar walaupun dalam banyak kasus mereka bukan pemilik tanah. Semua sehat, semua bahagia.