Ya, buku yang terkenal itu berjudul: Teori Segala Sesuatu—Asal Usul dan Kepunahan Alam Semesta. Dua kali periode peminjaman saya bawa buku itu (sekitar 20 hari), kalau masalah isinya, jangan ditanya. Saya sama sekali tidak paham. Dan memang susah di pahami. Bukan cuma saya, banyak yang lain juga kok. Artikel di web Mojok.co melapangkan hati saya. Buku Hawking yang berjudul A Brief History of Time dikabarkan sangat laris, terjual hingga 10 juta kopi. Buku ini bahkan dinobatkan sebagai buku yang “paling banyak dibeli, tapi paling sedikit dibaca”. Jadi, boleh dibilang bahwa buku Hawking ini lebih banyak menjadi pajangan di lemari buku, dibeli orang dengan tujuan gengsi biar dianggap pintar. Padahal paham juga tidak, walau Hawking sendiri sudah berusaha menulis untuk dicerna semudah mungkin. Yang saya ingat, di bagian awal, ada himbauan dari penulis kata pengantar untuk semacam berhati-hati. Kenapa hati-hati? Ya sebab Hawking sering mendeklarasikan diri ateis. Dan mungkin dalam buku itu, pemikiran dan paparan Hawking dianggap bisa menggoyahkan iman kita dan menjebak kita pada ateisme yang sama. Seingat saya begitu. Tapi karena saat itu saya mungkin tengah mengidap quarter life crysis, terasa bangga sekali bisa membaca pengantar seperti itu. Isinya? Tetap tidak paham. Kalau masalah kepunahan alam semesta, saya percaya saja. Atau meminjam guyonan salah satu dosen saya: “Saat ini masalah pengangguran belum bisa teratasi dengan baik, Sementara manusia sudah terancam kehilangan kerjanya sebab digantikan robot dan teknologi tinggi. Lalu bagaimana? Santai, Insyaallah semua bakal berakhir ketika kiamat tiba. Ditunggu saja.” Jadi percaya saja. Entah nanti kepunahan manusia dan alam semesta sebab perang nuklir, sebab virus, sebab asteroid, sebab alam semesta yang mengembang atau sebab hubungan seksual tergantikan oleh robot, tinggal dinikmati. Orang-orang seperti kita, susah merubah skenario. Di tengah suasana duka saat dunia kehilangan salah satu manusia paling brilian-nya, di Twitter ada yang berkicau: “Hawking yang Ateis dipuja-puja, ulama malah dihina.” Kita tentu tidak perlu menelusuri lebih jauh ulama mana yang dihina. Cuma mentalitas inilah yang mewakili sebagian kita. Orang berilmu pengetahuan dan dalam hidupnya memberikan kemanfaatan karena tidak se-agama mereka di hina-hina. Maka tidak heran jika seorang ilmuwan orientalis memberikan pernyataan: “Prestasi dunia islam abad pertengahan (era Abbasiyah) adalah menjaga titipan ilmu pengetahuan Yunani, untuk kemudian diambil lagi oleh dunia barat.” Titip. Meskipun dunia muslim punya ulama astronomi besar sekelas Al Biruni dan Ibnu Al Haytami. Lupakan saja, bakal panjang jika membahas sejarah peradaban islam. Lalu jika dikomparasikan dengan sebuah maqaalah: “bahwa ilmu yang bermanfaat (ilm naafi’) adalah ilmu yang mendekatkan kita pada Tuhan.” Maka dengan ketidak-sedia-an Hawking mengakui keberadaan Tuhan, otomatis bisa digolongkan ilmunya tidak manfaat. Tapi, ‘manfaat’ itu apa? Dan manfaat dalam maqaalah tadi versi siapa? Apapun itu, kita perlu mencontoh Hawking. Dengan keterbatasan fisiknya, eksplorasinya guna mengembangkan teori dan ilmu pengetahuan tidak berhenti. Tau blio termasuk pantang menyerah.! Maka, kalau tidak suka pada pilihan agamanya, setidaknya bisa-lah mencontoh semangat hidup dan berkontribusinya.