Penulis: Luthfi Hamdani*
Setelah kegiatan pembacaan Maulid Diba’, Dulkamdi, Dulsukur, dan beberapa komplotan santri mbambung-gendheng selalu duduk-duduk di emperan langgar pesantren. Mereka membicarakan hampir semua materi pembicaraan yang mungkin dibicarakan manusia. Mulai rasan-rasan sampai mauidlhah hasanah. Mulai cerita kuntilanak di kamar mandi pesantren sampai fenomena ekonomi politik teraktual.
Mulai kebiasaan buruk Dulkasan ghasab sandal wali santri sampai isu-isu radikalisme dan terorisme di Timur Tengah. Mulai tentang Mein Kampf –nya Hitler dan Thus Spake Zarahrusta-nya Nietszche sampai Jawahir al-kalamiyyahdan Bidayah al-hidayah.
Mereka tidak menggolongkan diri sebagai kelompok intelektual yang sok peduli terhadap fenomena-fenomena sosial aktual, tetapi obrolan mereka juga tidak se-ngawur jagongan warung kopi, yang referensinya seringkali cuma ‘tembung opo jare, pokoke jare tonggoku’.Entah bagaimana kelompok ini diklasifikasikan, intinya bagi mereka kumpul-kumpul danjagongan adalah hal yang menyenangkan.
Malam itu Dulkasan punya kesempatan bercerita panjang. Sebab, teman-teman santri yang lain sedang kehabisan ide dan isu untuk mengarang cerita. Sambil melepas peci hitamnya, Dulkasan mulai bercerita:
******
“Alkisah, di kampungku ada seseorang bernama Sarmin. Sarmin ini merupakan orang terpandang di kampung. Selain karena lahir dan besar di kampung, Sarmin ditokohkan oleh warga kampung sebab dia merupakan salah satu orang berpendidikan tertinggi di kampung. Ketika pemuda lain hanya lulus SMP, SMA, atau sebagian lagi bekerja, Sarmin dengan gigih menyelesaikan studinya di sebuah perguruan tinggi si Surabaya. Hebatnya lagi, Sarmin mengambil kuliah bisnis.
Setelah rampung kuliah, Sarmin dengan bekal keilmuan yang diperoleh dari perkuliahannya, mulai membangun usahanya. Dengan melakukan diversivikasi, dia membangun usaha mulai dari peternakan, pemasok pakaian di pasar-pasar kampung, mendirikan dealer sepeda motor, sampai menangani berbagai proyek kampung, seperti renovasi pasar, pembangunan balai desa, sampai pemasangan dam untuk pengairan sawah.
Awalnya, niat Sarmin membangun usahanya adalah untuk memberdayakan warga kampungnya yang mayoritas adalah pengangguran-miskin. Namun, lama kelamaan tabiat si Sarmin mulai berubah. Semakin banyak aset dan kekayaan yang dimilikinya, semakin besar pula kecongkakan dan pamrih yang ditampilkan Sarmin.
Di kemudian hari, Sarmin ini sering datang ke warung-warung kopi kampung sambil membawa handphone, sepeda motor, dan memakai pakaian keluaran terbaru. Dia juga sering memamerkan koleksi batu akiknya kepada sesama pelanggan warung kopi. Seberapapun congkaknya Sarmin, warga kampung sesama pelanggan warung kopi selalu menanti hal-hal ‘baru’ yang akan disampaikan Sarmin.
Bukan apa-apa, tapi memang diantara warga kampung lainnya, Sarmin adalah satu-satunya yang memiliki wawasan keilmuan paling luas, dan memiiki akses informasi terbaru lewat akses internet dirumahnya. Selain itu, sebagaimana para sarjana lain, Sarmin dibekali kemampuan retorika, intonasi, dan ekpresi yang bagus dalam meyampaikan pendapat. Sarmin juga sering membayari kopi semua pelangan yang kebetulan ngopi bersamanya.
Baru kemudian hari diketahui bahwa Sarmin memiliki ambisi untuk menjadi lurah di kampungnya. Dia memang tidak menyampaikan secara langsung ambisinya. Tetapi sedikit demi sedikit dalam pembicaraannya, dia mulai menyindir kinerja lurah yang hampir habis masa jabatannya, Haji Barokah. ‘Haji Barokah itu memiliki kemampuan kepemimpinan yang rendah. Tidak memiliki kemampuan manajeial yang baik dalam mengelola kampung. Apalagi yang dia tahu selain masalah warisan dan sambutan?. Ya, seperti inilah jadinya. Yang miskin tetap saja miskin, sedangkan yang kaya juga tidak terlalu lancar usahanya.’ Ujarnya suatu saat.
Sarmin mulai melakukan kampanye secara terang-terangan mengenai ambisinya untuk menjadi lurah. Dia mengatakan bahwa dengan kemampuan manajerial dan pehamanannya mengenai tata kelola pemerintahan yang baik, dia akan mampu membawa perubahan bagi warga kampung mulai dari kesejahteraan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur. Dengan percaya diri dan cenderung sombong, dia berkoar seolah-olah semua permasalahan akan selesai apabila dia yang menjadi lurah.
Sebenarnya, dari sisi ekonomi dan pendidikan, Haji Barokah tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Sarmin. Haji Barokah adalah seorang alumni pesantren di Jawa Tengah yang kemudian bertani sambil mengurus madrasah dan masjid. Tapi, dengan kesederhanannya ini, seolah-olah wibawa dan kehormatan dengan sendirinya bergelantungan dipundaknya.
Haji barokah tidak pernah memiliki ambisi pribadi untuk menjadi lurah kampung. Tapi, karena lurah sebelumnya sudah menjabat selama dua periode dan tidak ada lagi orang yang dianggap mampu menjadi lurah, maka warga mulai mendesak Haji Barokah untuk menerima jabatan sebagai lurah. Setelah beberapa kali penolakan, Haji Barokah akhirnya bersedia menerima tugas menjadi lurah.
Tapi, dia tidak mau menjanjikan berbagai macam perubahan yang mungkin dibutnya. Dalam sambutan pertamanya setelah diangkat menjadi lurah, dia hanya mengatakan akan dengan sebaik mungkin dalam menjalankan amanat, dan tidak banyak berjanji sebab jika tidak mampu merealisasikan baginya adalah suatu kemunafikan.
Dikemudian hari setelah Haji Barokah dilantik menjadi lurah, warga kampung benar-benar merasa puas dengan kepemimpinannya. Dia tidak pandai dalam administrasi, tapi adil dan tegas menjalankan tugas. Dia tidak banyak berinovasi dalam pemerintahannya, tapi amanah dan istiqamah mengembangkan pendidikan lewat madrasah. Bukan itu saja, menurut sebagian warga, hasil panen dan hasil kebun mereka tambah banyak semenjak Haji Barokah diangkat menjadi lurah.
Haji Barokah tampak memegang teguh falsafah kepemimpinan: apabila negeri menjadi makmur, maka pemimpin adalah orang terakhir yang menikmatinya. Sedangkan apabila negeri dalam keadaan bergejolak, maka pemimpin adalah orang pertama yang maju menghadapinya, bahkan rela bila harus terbakar api. Sebab, bagi Haji Barokah, jabatannya sebagai lurah tidak lebih dari amanat dari warga, dan sebagai imbal baliknya, dia harus memenuhi kebutuhan dan tuntutan warganya.
Sarmin semakin gencar mengampanyekan diri dan visi-misinya menjelang pemilihan lurah. Dia sadar bahwa dirinya mamiliki bargaining position atau posisi tawar yang lebih rendah dari Haji Barokah. Tapi, dengan kekuatan finansial dan beberapa penganggur yang telah direkrutnya di warung-warung kopi untuk menjadi juru kampanyenya, dia yakin akan mampu megalahkan Haji Barokah dalam pemilihan lurah mendatang.
Sarmin menggunakan kekuatan finansialnya untuk melakukan money politic. Dia jadi sering berkeliling kampung memberikan sedekah ke warga-warga miskin, dengan memasukkan uang limapuluh ribuan ke dalam amplop bergambar dirinya yang sedang tersenyum lebar-lebar di halaman balai desa.
Disisi lain, Haji barokah terus menerus diajukan untuk meneruskan masa jabatannya untuk periode selanjutnya oleh mayoritas warga yang tidak terlalu suka dengan tabiat Sarmin menjelang pemilihan lurah. ‘Ambil saja uangnya, tapi jangan pilih orangnya’ kata Budi kepada beberapa warga lain.
Suatu ketika, Sarmin datang sendirian di tengah malam ke sebuah warung kopi yang tidak terlalu jauh dari balai desa. Dia sedang mengalami frustasi sebab menurut laporan pera penganggur yang telah direkrutnya menjadi juru kampanye, uang jutaan rupiah yang diberikan kepada warga tidak mampu mengubah pandangan warga bahwa Sarmin-lah orang yang tepat untuk memipin kampung. Warga masih lebih memilih Haji Barokah untuk menjadi lurah kembali.
‘Bahkan, beberapa pemuda masjid, yang dipelopori Budi, berkeliling mengumpulkan uang-uang suap dari Sarmin untuk kemudian diberikan kepada panitia pemilihan lurah sebagai bukti kecurangan dalam proses kampanye.’ Ungkap salah satu penganggur, yang menjadi juru kampanyenya.
Kebetulan warung kopi sedang sepi. Disana cuma terlihat Jono, seorang pemuda kampung yang bekerja sebagai petani. Setelah memesan secangkir kopi hitam, Sarmin duduk mendekati Jono yang sedari tadi memperhatikan kedatangan Sarmin.
‘Bagaimana kabarmu, Jon?’ Tanya Sarmin
‘Sehat’ jawab Jono.
‘Kamu sudah tahu kalau aku, Sarmin Baderi, mencalokan diri menjadi lurah?’
‘Aku tahu dari amplop-amplop biru yang kau bagi-bagikan.’
‘Bagus, jadi seharusnya kini kau sudah tahu harus mencoblos siapa ketika pemilihan lurah kan?’
‘Ya, Haji Barokah’
Sarmin kaget dengan jawaban yang disampaikan Jono. Bagaimana bisa dia tidak mendukung orang yang telah memberikan uang tunai secara cuma-cuma kepadanya.
‘Memang kenapa kamu memilih Haji Barokah daripada aku?’ tanya Sarmin lagi.
‘Sebab anakku mengaji di madrasahnya setiap sore’
‘Cuma itu?’ Tanya Sarmin keheranan.
‘Ya, itu sudah cukup.’
‘Terus bagaimana dengan nasibmu yang semakin miskin setiap hari, apa kamu tidak ingin adanya perubahan kondisi?’
‘Perubahan seperti apa?’ tanya Jono.
‘Perubahan menjadi kaya’
‘Tapi tetap aku harus bekerja bukan? Begini saja, kalau kamu, dengan kekayaanmu, mau menanggung hidupku dan paling tidak anak dan cucuku, maka aku tidak akan ambil pusing utuk memilih kamu dalam pemilihan lurah.’
‘wah, rupanya seluruh kampung ini memerlukan perubahan.’ Ujar Sarmin pelan.
‘Kamu berkoar-koar mengenai perubahan-perubahan seolah-olah semua yang ada dan terjadi di kampung ini adalah salah. Perubahan yang kamu maksud itu seperti apa?’
‘Perubahan menuju kampung yang lebih baik.’ Jawab Sarmin.
‘Lebih baik yang bagaimana, dan bagaimana caranya? Jangan berkoar mengenai perubahan kalau implementasinya masih asbtrak bagi kamu sendiri. Bukankah memalukan apabila berkoar mengenai perubahan, tapi tidak tahu perubahan yang seperti apa yang mau kamu lakukan. Masih mendingan Haji barokah yang telah istiqamah merawat madrasah sejak aku masih kecil sampai sekarang. Dan lebih memalukan lagi apabila seseorang menjadi pemimpin karena merasa dirinya mampu, dan untuk mewujudkannya harus membagikan uang dalam amplop bergambar kepada warga?’ Ungkap Jono.
‘Baiklah, kamu adalah orang pertama yang aku beritahu bahwa pencalonanku sebagai lurah ini hanya merupakan bentuk aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhanku yang berkaitan dengan fisik dan sebagainya telah terpenuhi. Sebagaimana para konglomerat yang mencalonkan diri menjadi presiden, aku juga ingin merasakan betapa bangga rasanya bila orang-orang memanggilku dengan panggilan lurah Sarmin. Selain itu, apabila aku menjadi lurah, maka dapat dipastikan seluruh proyek renovasi dan lain-lain akan menjadi garapanku.’
‘Oh. Tapi tahukah kamu betapa nyamannya hidup tanpa banyak memiliki ambisi keduniaan sepertiku? Betapa enak hidup tanpa harus menjadi lurah dan sibuk-sibuk memikirkan kepentingan warga? Itupun kalau nantinya kamu memikirkan. Belum lagi bahwa setiap kepemimpinan harus dipertanggungjawabkan kelak.’
‘Tapi, bukannya kamu juga menikmati uang yang aku bagikan?’
‘Itulah butanya orang yang terlalu ambisius. Dia bahkan tidak waspada telah dikhianati oleh teman-temannya sendiri. Kamu memang memilki kemampuan retorika yang bagus, tapi tidak berbobot. Memiliki gagasan-gagasan yang bagus, tapi belum terbukti. Kamu berkoar akan melakukan perubahan, sedangkan perubahan seperti apa kamu tidak tahu. Dan seolah-olah kepemimpinan Haji Barokah selama menjadi lurah adalah buruk dan tidak ada gunanya. Terlebih lagi……’
‘Cukup’ sentak Sarmin sambil meminum habis kopi hitam di cangkirnya. Dia mulai berdiri dan hendak meninggalkan Jono kemudian berkata
‘Pantas saja Indonesia ini nggak maju-maju, pemudanya bermental kere–nriman seperti kamu. Kamu perlu mendapat revolusi mental!’ Ujar Samin sambil pergi.
Ketika pemilihan lurah, akhirnya Haji Barokah terpilih kembali menjadi lurah mengalahkan Sarmin. Beberapa hari kemudian, Sarmin diketahui telah pindah rumah entah ke kota mana. Yang jelas dia telah pergi bersama ambisinya yang membabi buta, kecongkakan, dan jargón perubahan yang dia sendiri kurang mengerti”
******
Saat Dulkasan Selesai bercerita, ustadz telah membacakan tarhim di dalam langgar. Beberapa temannya juga telah tidur bergelimpangan. Tinggal Dulkamdi yang menyimak benar-benar cerita Dulkasan sampai selesai. Dulkamdi terus menggerak-gerakkan bokong dan mengatur posisi duduknya, sebab pantatnya sedang mengalami sedikit masalah dengan penyakit kulit gudhig.
_____________________________________________________
* Cerpen ini ditulis pada tahun 2017 di Kota Malang.