Penulis: Muhammad Luthfi Hamdani
Bus antar-kota yang ditumpangi Saipul berhenti tepat di depan gapura kampung. Dari kejauhan istrinya berdiri menunggu di samping sepeda motor matic warna biru. Gapura itu baru saja dicat ulang, dengan warna dominan merah dan putih.
Saipul masih ingat betul bulan lalu ia ikut nimbrung kerja bakti merenovasi gapura kampung itu. Tepat menjelang peringatan hari kemerdekaan. Ia sebenarnya malas ikut bergabung.
“Aku di kampung ini hanya sabtu dan minggu, malas lah ikut begitu-begitu.” Ujarnya pada sang istri saat diminta ikut kerja bakti.
“Ya tapi kamu kan warga kampung sini, ikut saja biar akrab.”
“Coba kau mau tinggal di kontrakan di kota, jadi aku tidak perlu jauh-jauh pulang setiap akhir pekan untuk menjumpaimu. Di perumahan juga jarang ada kumpul-kumpul begini.”
“Kan kau sudah sepakat, kenapa …….”
“Ya, aku berangkat.”
Saipul masih sering merasa tidak rela dengan keputusan istrinya untuk tinggal di rumah orangtua si istri. Bagaimana tidak, ia telah menikmati betul hidup di kota dengan beragam kebebasan jam malam dan kemudahan fasilitas umum. Juga terutama ia tidak harus berjumpa dengan mertuanya. Ia ingin bebas saja, bersama keluarga kecilnya kelak ketika bayi yang dikandung istrinya lahir.
Belum lagi, kini ia tengah mengurus perpindahan tempat kerja dari kantornya, supaya bisa ditempatkan di kota istrinya. Tentu dengan gaji yang lebih sedikit, menyesuaikan standar gaji daerah sana. Ia hitung-hitung, akan ada penurunan gaji sampai satu setengah juta jika proses pindahnya telah selesai.
Ia tidak pernah membayangkan akan seribet ini menjalani pernikahan.
“Baru satu tahun, ayolah…” ujarnya dalam hati, setiap kali mempertimbangkan beragam kemungkinan tahun-tahunnya yang akan datang.
Sebulan terakhir, setiap akhir pekan ada di rumah mertuanya, Saipul menemukan kesibukan baru. Sabtu pagi ia akan pergi memancing, pagi sampai menjelang jam sebelas siang. Selalu begitu. Ia tak pernah peduli apakah ada ikan yang sedang bernasib sial memakan umpan di pancingnya. Ia pergi saja, asal tidak berjumpa kedua mertuanya.
Saipul tentu tidak membenci mereka berdua, ia cuma membenci bagaimana situasi selalu begitu kaku dan formal. Ia merasa tidak sesantai ketika kuliah atau masih kerja di kota. Sesekali merokok, sesekali misuh dan sering terlibat dalam obrolan yang menyenangkan dengan teman-temannya.
Tapi ia sadar, kondisinya sekarang adalah konsekuensi dari pernikahan dengan perempuan yang sudah lama ia pacari.
Suatu sabtu pagi ia berangkat ke kolam pemancingan yang tidak jauh dari rumah. Seperti biasa ia membawa satu tas kecil berisi smartphone, rokok dan beberapa catatan. Langit mendung sejak pagi, ia nyalakan sebatang rokok sambil melempar kail pancing. Sendiri. Pemancing lain tentu bukan urusannya.
“Biar mereka merenungi hidupnya sendiri. Pasti para pemancing yang rutin datang kemari bermasalah semua, mencari pelarian. Kalau tidak, tentu mereka tinggal beli saja ikan di pasar desa.” Gumam Saipul dalam hati.
Satu jam lebih, dan baru dua ekor ikan kecil yang masuk ke kresek hitam wadah tangkapannya. Ia menyalakan lagi rokok yang ketiga sambil menebak masalah apa yang dialami dua orang pria, yang mancing bersama di bagian pojok kolam pemancingan.
“Pasti mereka korban PHK pabrik alumunium kemarin. Setelah tabungan mereka habis, mereka pasti berduyun-duyun daftar menjadi pengemudi ojek online. Dunia modern selalu begitu.”
“Aku tidak pernah membenci istriku, tapi aku benci suasana yang terbangun akhir-akhir ini setiap pulang ke rumah. Bagaimana aku bisa punya rumah dengan pendapatan sekian, apalagi kalau kelak pindah kerja. Sialan.” Segala macam pikiran berdenyut dalam kepalanya.
Ia curiga mertuanya jadi kaku sebab ada banyak hal yang hendak mereka sampaikan, tapi disimpan dalam diam. Entah kasihan padanya atau entahlah. Dalam catatan kecilnya, Saipul menulis masalah terbesar adalah pendapatannya yang rendah. Lalu ia jawab sendiri: “tapi semua pegawai pemula ya begini, lagian siapa suruh kemarin buru-buru menikahi anaknya.”
Dalam kenikmatan hisapan terakhir dari rokoknya, seorang pria muda datang mendekat. Dari jarak sepuluh meter, Saipul tak yakin apakah ia mengenal pria yang tampak seusianya ini.
“Kamu suami mbak Santi?”
“Hmmm. Iya” jawab Saipul.
“Bagiamana, betah tinggal disini?”
“Lumayan, masih perlu penyesuaian. Apa kita pernah bertemu?”
“Ayo ikut aku ke warung kopi dekat lapangan, nanti ngobrol disana.”
Saipul tanpa basa-basi bergegas merapikan pancingnya. Ia beranjak keluar kolam pemancingan membuntuti pria berkaos hitam itu. Tanpa banyak tanya. Dalam kepalanya ia berpikir, kalau dia asyik diajak ngobrol, Saipul akan punya teman seumuran untuk menghabiskan waktu di pemancingan atau warung kopi.
Lagipula, terdengar kabar angin bahwa penjaga warung kopi samping lapangan sekarang adalah perempuan muda yang terkenal cantik. Ia meneruskan usaha mak-nya yang sudah tua.
Jarak pemancingan ke warung kopi tidak jauh. Memang rute para pemancing setelah selesai dengan kolam pancingan, mereka kembali ke rumah dengan mampir sejenak di warung kopi ini.
Benar saja. Penjaga warung kopi di sana memang perempuan cantik. Mungkin berusia 25 tahunan, dengan rambut sebahu dan pakaian yang sopan. Tampaknya memang bukan pilihannya bekerja di warung kopi. Tapi pikir Saipul, mencari kerja memang sulit. Apalagi pabrik kampung ini baru saja melakukan PHK besar-besaran.
Saipul berkenalan dengan pria yang mengajaknya ke warung kopi, yang ternyata masih saudara jauh dari istrinya. Saipul juga berkenalan dengan perempuan penjaga warung kopi, yang benar dugaannya: perempuan ini semula bekerja bagian administrasi pabrik, lalu terkena PHK. Sambil mengisi waktu, ia menjual kopi di warung.
******
Sejak pertemuan pertama, tiga minggu terakhir setelah pulang memancing Saipul tak pernah absen mampir warung kopi langganannya. Berkas untuk mutasinya belum juga diurus oleh atasan. Dan ia mulai bersemangat menikmati setiap sabtu pagi ke kolam pemancingan dan ngopi.
Santi, istrinya mulai mencium gelagat tak baik darinya. Santi mulai sering berpesan jangan terlalu lama kalau di pemancingan, segera pulang saja. Santi berlagak tak tahu Saipul sering ke warung kopi samping lapangan. Ada kebekuan dan rahasia yang tak bisa ditembus oleh Santi. Ia bisa sedikit sabar sebab sadar bagaimana upaya Saipul menyesuaikan diri di rumahnya sejauh ini.
Namun, Santi juga mulai sering memasang kutipan kata-kata tentang bagaimana pasangan muda membangun hubungan yang harmonis. Kebanyakan disertai ayat-ayat kitab suci atau sabda nabi.
Atau ia sering membagikan tulisan-tulisan sejenis ke grup-grup Whatsapp yang ia ikuti. Selain ia ingin menyampaikan kepada semua kenalannya bahwa apa yang ia alami adalah baik saja, Santi ingin mengingatkan Saipul, namun tidak secara langsung.
Ia mulai sering mengecek notifikasi apakah unggahannya atau tulisan yang ia bagikan sudahkah dilihat Saipul. Berkali-kali.
*****
Sabtu ini Saipul pulang sore ke rumah. Santi memendam amarah dan sudah diubun-ubun hasratnya untuk segera melabrak saja. Sedang kedua orangtuanya juga mulai merasa ada yang aneh.
“Kemana saja kamu?”
“Aku di pemancingan, ya. Bersama saudara jauhmu itu Andi.”
“Andi lagi, Andi lagi. Kamu di warung kopi samping lapangan bukan?”
“Tidak”
“Bohong, mana ada pria mau duduk dari pagi sampai sore di pemancingan.”
Santi dengan keras menaham air mata. Ia berusaha tidak menangis, sekuat mungkin.
“Aku ada masalah di kantor, jadi berlama-lama di pemancingan bisa untuk menenangkan diri.”
“Kau berlama-lama dengan perempuan penjaga warung kopi. Jujur saja.!!”
“Ayolah, percaya saja.”
Suasana hening sejenak, Saipul sibuk ganti pakaian. Ia tampak berusaha menghindari bertatap mata dengan istrinya.
“Oiya, jangan terlalu sering mengirim tulisan-tulisan agama itu ke grup Whatsapp. Nanti dikira sedang ada apa-apa.”
“Aku berbagi pesan kebaikan ke mereka. Biasa saja.”
“Ya, tapi mereka belum tentu butuh itu. Biar mereka cari sendiri kala mereka perlu.”
“Kemana kau?”
“Aku keluar sebentar, ada janji dengan Andi. Sebelum jam Sembilan aku kembali.”
“Tapi…”
“Iya, sebentar.”
Dengan kemeja lengan pendek dibalut jaket warna merah dengan logo klub bola kesayangannya, Saipul memacu motor matic-nya keluar pekarangan rumah. Ia berbelok ke kiri ke arah pemancingan dan warung kopi. Kampung ini memang tidak terlalu ramai, apalagi setelah orang-orang pulang dari shalat maghrib di masjid.
Sampai di depan warung kopi, Saipul memarkir motornya dan meletakkan helm di spion sebelah kiri. Ia menengok ke kanan dan kiri, lalu bergegas masuk.
“Jadi kamu mau minta kuantar kemana?” tanyanya pada perempuan penjaga warung kopi.
“Tunggu sebentar, Viiin…” perempuan itu memanggil gadis kecil keluar dari ruang bagian belakang warung kopi. Seorang gadis kecil dengan baju warna merah muda dan kerudung merah dengan motif bunga-bunga. “Ini Vina, anakku.”
Saipul diam, seribu diam. Sama sekali tak terlintas dalam bayangannya perempuan muda ini sudah punya anak. Setelah menyambut tangan kecil si gadis yang sungkem padanya, Saipul sudah tak betah ingin berlari keluar.
Tapi ia tertahan rasa penasaran pada apa yang direncanakan perempuan yang kini duduk di depannya, di kursi kasir dengan sebuah etalase kecil untuk beragam rokok.
“Kalau kamu serius, aku punya kenalan orang untuk menikahkan siri. Bapakku nanti bisa langsung kesana.” Kalimat yang meluncur dari mulut perempuan ini menyambar kaku tubuh Saipul. Ia merasa dijebak, tapi juga merasa salah, tapi nafsu khianatnya mempertimbangkan beragam spekulasi kalau ia berani menikah siri dengan perempuan ini. Dalam momen yang ia tak pernah duga.
“Jadi bagaimana?”
“Tapi kita tak pernah bicara hal ini.”
“Andi bicara padaku, kau sudah bersedia sejak awal.”
“Andi yang mengantarku semula kemari?”
“Iya, Andi mantan suamiku.”
Gila. Saipul kini menahan marah bercampur dengan pikirannya yang masih belum paham di ruang apa ia kini sedang berada. Saipul merasa dijebak, tapi ia berat meninggalkan perempuan di depannya dalam situasi seperti ini, sedang ia ingat istrinya di rumah dan kandungannya. Ia muntab, kasihan, bingung dan sedih. Gadis kecil di sampingnya nyeletuk:
“Pria ini sama saja, ma. Dia bukan orang yang baik.”
Oh, apalagi ini. Setelah tersenyum, perempuan itu beranjak berdiri. Menggandeng tangan gadis kecil yang sudah hampir masuk kembali ke ruang belakang.
“Ayo”
“Aku pulang dulu sebentar,”
Kalimat itu jadi yang terakhir diucapkan Saipul sebelum beranjak keluar warung kopi dan meletakkan helm di sela kedua kakinya,
Jalanan gelap di depan dan belakang. Juga samping kanan dan kiri. Kini seluruh penjuru gelap. Begitu pula dada dan kepalanya.