Berdasar riset yang dirilis lembaga We Are Social bekerjasama dengan Hootsuite (2018), ditemukan bahwa lebih dari separuh populasi orang Indonesia yang terbilang aktif di media sosial (medsos). Hal ini jika dilihat dari jumlah pengguna internetnya, maka bisa dibilang seluruh pengguna internet di Indonesia sudah mengakses medsos.
We Are Social mengatakan: 132,7 juta pengguna internet, 130 juta diantaranya pengguna aktif di medsos dengan penetrasi 49%.
Platform medsos yang paling digandrungi oleh orang Indonesia, di antaranya YouTube 43%, Facebook 41%, WhatsApp 40%, Instagram 38%, Line 33%, BBM 28%, Twitter 27%, Google+ 25%, FB Messenger 24%, LinkedIn 16%, Skype 15%, dan WeChat 14%.
Salah satu fenomena yang muncul dan sering meresahkan dari besarnya jumlah pengguna medsos ini adalah: Kolom komentar media sosial berubah fungsi sebagai wilayah pertarungan umpatan, caci maki, hingga ancaman kekerasan.
Apa yang membuatnya demikian?
Menurut hemat penulis, salah satu faktor utamanya adalah ‘Anonimitas’
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan ano.ni.mi.tas: Nomina (kata benda) hal tidak ada nama.
Atau bisa dijabarkan sebagai: yang berarti “tanpa nama” atau dalam Inggris “unnamed atau namelessness”) atau keawanamaan biasanya mengacu kepada seseorang yang sering berarti bahwa identitas pribadi, informasi identitas pribadi orang tersebut tidak diketahui. (Wikipedia.org)
Art Markman, seorang profesor psikologi dari University of Texas, menyebut bahwa semakin ke sini, kolom komentar cenderung luar biasa agresif, tanpa bertujuan untuk memecahkan persoalan apapun.
Berdasarkan analisisnya, Markman juga menyebut ada empat faktor mengapa orang bersedia menghabiskan waktu untuk berkelahi di dunia maya:
(1) Orang dapat menyamarkan identitas menjadi anonim di internet sehingga mereka bisa mengelak dari tanggung jawab akibat kemarahan mereka. (2) Mereka berada jauh dari target yang menjadi sosok kemarahan. (3) Lebih mudah bersikap jahat dalam menulis daripada berbicara. (4) Karena kolom komentar tidak terjadi secara real time, orang bisa bermonolog dalam sudut pandang yang ekstrem. (www.livescience.com)
Anonimitas dan Kerumunan Massa
Jauh sebelum internet dan media sosial muncul, perilaku agresif sudah ditemukan pada kelompok/kerumunan massa. Orang-orang yang berkumpul dalam jumlah besar, dengan kepentingan serta identitas yang sama, seringkali menjadi agresif dan tidak terkontrol. Hal ini sebab dalam kerumunan, mereka bisa berlindung pada istilah ‘oknum’, tanpa bisa secara spesifik dituduh dan disalahkan.
Gejala semacam ini sering dijumpai pada kerumunan suporter bola, massa aksi demonstrasi, tawuran antar pelajar atau penonton konser musik dangdut di daerah-daerah Indonesia.
Meminjam istilah Gustaf Le Bon (1841-1932) dalam Akung (2010), massa memang memiliki jiwa tersendiri yang disebutnya sebagai jiwa massa (collective mind) yang bersifat primitif, buas, liar, destruktif, impulsif, cepat tersinggung, sentimentil, sangat mudah di sugesti, gampang tersulut provokasi, agresif, anarkis, dan seringkali berlaku di luar kendali aturan.
Jiwa massa ini bisa jadi sangat berbeda dari jiwa individu (individual mind) yang asli atau sejatinya. Artinya bahwa individu dengan segenap karakteristk kejiwaannya, ketika telah masuk menjadi bagian dari massa, bisa jadi akan luruh dan larut ke dalam jiwa massa tersebut.
Dilansir dari www.psychologicalscience.org, Ilmuwan psikologi Patricia Ellison-Potter dari Administrasi Keselamatan Lalu Lintas Jalan Raya Nasional AS, misalnya, telah menemukan dalam simulasi mengemudi, bahwa orang lebih cenderung mengemudi secara agresif ketika mereka kurang terlihat (misalnya, ketika mengendarai mobil dengan jendela berwarna) daripada ketika mereka dapat dilihat oleh driver lain (misalnya, mengendarai convertible open-top).
Pada 2016, Postmes bersama tim ilmuwan psikologi termasuk Russell Spears (University of Groningen), menulis hasil riset sederhana tentang topik kelompok anonim untuk jurnal Behavioral and Brain Sciences, berjudul ‘Social influence in computer-mediated communication: The effects of anonymity on group behavior’.
Dalam kesimpulan Postmes dkk, mereka menulis:
“Survei menyeluruh terhadap bukti-bukti menunjukkan bahwa masalah kelompok buruk/ kelompok kejahatan (bad group) tidak terletak pada psikologi kelompok tersebut secara umum, tetapi lebih pada norma-norma kelompok yang spesifik. Kelompok-kelompok kekerasan secara normatif memang cenderung mengesahkan tindakan kekerasan.”
Anonimitas dalam Media Sosial
Hampir sama dengan temuan Markman diatas, Edward S. Kennedy (2019) dalam artikel di Tirto.id mengutip tulisan Maria Konnikova, dalam kolomnya di New Yorker yang berjudul ‘The Psychology of Online Comment’.
Konnikova mengamati perihal kekhawatiran para psikolog klasik terhadap komunikasi non-tatap muka yang dimediasi teknologi lawas, seperti surat dan telepon, hingga yang kekinian, seperti internet dan medsos.
Konnikova juga menyoroti bagaimana anonimitas turut menjadi faktor pemicu agresivitas seseorang dalam berkomentar. Ia menyinggung sejumlah penelitian yang mengungkap bagaimana anonimitas membuat orang melepas beban moral sehingga ia bisa lebih terbuka sekaligus berani dalam berpendapat (di kolom-kolom komentar).
Konsekuensinya, warganet lain merasa berhak untuk menimpalinya juga dengan lebih agresif. Situasi ini bak lingkaran setan, sebab komentar balasan juga sama-sama atau bahkan lebih agresif. Dunia medsos mengistilahkannya dengan kondisi triggered (terpicu).
Tentu fenomena netizen ‘galak’ atau agresif ini semakin mengemuka ditengah sedang berlangsungnya proses kampanye pemilu 2019. Begitu banyak informasi hadir dari media arus utama juga media ‘abal-abal’ selalu ramai dikunjungi komentar netizen.
Dalam banyak kasus, bisa dengan mudah dijumpai akun-akun palsu atau bodong yang khusus dibuat oleh pemiliknya guna bebas berkomentar, menyebar ancaman dan kebohongan, serta tetap ‘merasa aman’ sebab indentitas asli mereka tersembunyi.
Mencari Solusi
Dalam kasus Indonesia, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang Undang nomor 11 tahun 2008 sudah cukup efektif memberantas perilaku tidak bertanggungjawab yang muncul sebab karakter anonimitas di media sosial.
Dalam rilis situs web http://id.safenetvoice.org/daftarkasus/ dapat dijumpai berbagai kalangan terkena jeratan atau sekedar masih dilaporkan melanggar UU ITE. Termasuk di antaranya yang menggunakan akun palsu.
Meskipun Undang-Undang ini dalam praktiknya masih sering mendapatkan kontra dari banyak kalangan.
Selain itu, cara yang bisa dilakukan guna mengurangi dampak negatif anonimitas ini adalah dengan adalah memblokir akun bersangkutan atau mengacuhkan mereka. Kecuali Anda memang kebelet betul ingin berkelahi di dunia nyata, itu tentu pilihan pribadi dengan konsekuensi yang kelak ditanggung sendiri.
Postmes dkk, dalam hal ini juga menawarkan resep:
“Solusi untuk perilaku bermasalah orang banyak dan kelompok adalah dengan menantang dan mengubah norma kelompok (masyarakat) bermasalah tersebut.”
Guna memperbaiki masalah agresi/serangan online, maka penting untuk mencari tahu bagaimana lingkungan membentuk norma-norma dalam diri suatu kelompok.
Sedangkan dikutip dari www.psychologicalscience.org, Suler, seorang pelopor dalam bidang cyberpsikologi, menerbitkan The Psychology of Cyberspace (2016) menemukan bahwa ketika para peneliti menggali sumber perilaku agresif/buruk di Internet, mereka mendapati bahwa itu mungkin bukan anonimitas itu sendiri, melainkan disebabkan juga faktor tidak saling kenal, yang memengaruhi perilaku seseorang lebih bebas.
Masih berdasar temuan Suler tersebut, pada tahun 2012, para peneliti ilmu psikologi di Israel menemukan bahwa para mitra yang berkomunikasi dengan komputer menunjukkan tingkat agresi verbal yang tinggi dalam kondisi anonim atau semi-anonim.
Ketika mereka benar-benar anonim dalam obrolan komputer, ketika mereka menggunakan nama asli mereka, dan ketika mereka dapat melihat tubuh satu sama lain dari samping, agresi verbal sangat tinggi, tetapi tidak ketika sebuah video mempertemukan dua pihak agresif tersebut dalam kontak mata.
Ini menunjukkan bahwa kontak mata (atau interaksi langsung) dapat menjadi faktor utama yang merubah agresi menjadi keramahan, bahkan ketika dua orang asing (yang saling berseteru) sekedar saling bertatap mata di layar komputer dan telepon pintar.