Segala lini hidup kita jadi tidak lepas dari satu istilah popular: generasi milenial.
Ya, generasi yang digadang-gadang bakal mengisi periode emas Indonesia pada rentang waktu 2020 sampai 2045 ini ramai dibicarakan dan dikaji dari berbagai macam aspek. Mulai politik, ekonomi-industri, pola penggunaan internet bahkan religiusitas.
Milenial ini memang unik. Ya, sebab persentuhannya dengan teknologi yang demikian tinggi dan keberadaannya di era yang begitu terbuka, mereka membawa berbagai karakteristik khusus.
Jika merujuk riset dari Nielsen (2014) berjudul Millenials Breaking The Myth, bisa kita temukan bahwa karakteristik generasi milenial adalah:
(1) Terbiasa dengan keberagaman, ekspresif dan punya optimisme tinggi. \\\
(2) Mengarahkan kembali gerakan sosial ke kota atau termasuk masyarakat urban.
(3) Pejuang ditengah biaya pendidikan yang tinggi, fenomena pengangguran dan tingkat pemasukan yang rendah, tetapi mereka juga memiliki semangat enterpreneurship.
(4) Termasuk pembeli yang loyal dan menginginkan keunikan khas produk.
(5) Selalu terhubung dan ingin sentuhan pribadi ketika bersentuhan dengan perusahaan.
Sementara itu, menurut laporan Alvara Research Center (Februari 2017) disingkat menjadi 3C, yaitu: Creative (biasa berpikir out of the box, kaya ide dan gagasan), Confidence (percaya diri dan berani mengungkapkan pendapat tanpa ragu) dan Connected (pandai bersosialisasi dan pengguna aktif internet).
Karakter yang tentu saja positif. Serta memunculkan tantangan dan peluang bagi banyak pihak. Misalnya bagi partai politik. Milenial akan menjadi mayoritas penduduk dan tentu saja pemilik hak suara dalam pemilu Indonesia 5 sampai 15 tahun kedepan.
Satu generasi dengan karakteristik khusus yang perlu pendekatan dan strategi khusus juga tentunya untuk mendapatkan suara mereka.
Bagi organisasi keagamaan islam, keberadaan generasi milenial merupakan tantangan juga. Dalam hal ini tantangan untuk merawat sikap moderat dan rasa nasionalisme kebangsaan sebagai umat beragama.
Sebab dalam banyak kasus, kelompok-kelompok radikal-fundamentalis, anti kemajemukan dan memiliki pandangan beragama yang monolitis dengan begitu mudah menyasar manusia-milenial sebagai ‘pasar’ pengikut mereka. Tentu saja sebab keterbukaan, rendahnya pemahaman keagamaan dan intensitas tinggi penggunaan akses teknologi.
Selain potensinya besar, kehadiran manusia-milenial juga ada eksesnya. ‘Mending kalaun kulit manggis bias diekstrak dan dijadikan produk, ekses milenial ini susah diatasi.’ Maka mari mencoba membaca fenomena yang muncul sebab karakter manusia-milenial:
Pertama, Preferensi-per-orang. Ini yang paling sering dikritisi oleh budayawan ternama, Radhar Panca Dahana. Karakter connected mengantar milenial kita menjadi salah satu pengguna internet terbesar di dunia, terutama media sosial.
Media sosial yang kemudian menjelma menjadi wadah yang sempurna pembebasan manusia dari segala penjara nilai, norma atau etika yang dibentuk oleh adat, agama, hokum dan sebagainya.
Sehingga fenomena yang bampak saat ini, bahwa segala yang sudah turun-temurun menjadi pedoman dan tuntunan runtuh oleh preferensi-per-orang (PPO) tadi.
Pengguna media sosial bisa dengan begitu bebas memaknai kebenaran, kebaikan, keindahan, kewajiban dan lain sebagainya.
Sehingga sering generasi muda-milenial kita ketika diingatkan: ‘itu salah’, ‘itu tidak sopan’ dan ‘itu nggak etis’ akan dengan mudah saja dijawab: ‘terserah gue, hidup-hidup gue’, ‘ngapain ngatur-ngatur, urus aja hidup loe sendiri’, ‘siapa elo’, ‘bukan urusan elo’, ‘loe akun asli apa akun gossip, kebanyakan nyinyir’ atau jurus pamungkas ‘loe gue end’.
Kebenaran-preferensial yang sering tentunya kita jumpai dalam dunia nyata maupun maya. Yang bikin otoritas konvensional seperti kyai, tokoh masyarakat dan tokoh adat kehilangan kuasanya.
Atau dengan enteng saja ditinggalkan petuah dan fatwanya. Media sosial dan karakter always connected serta confident atau percaya diri tinggi, dikelilingi iklim demokrasi yang bebas, membuat manusia milenial menjelma menjadi ‘apa saja dan siapa saja’ dalam diri maupun akun-akun media sosialnya.
Menuju chaos? Wallahu a’lam, Takbir…!
Kedua, Budaya komentar, bukan mengkritisi. Dulu hijjatul islam Imam Ghazali mempelajari dulu, dengan sungguh dan seksama, ketika ingin menghadirkan kritiknya terhadap pemikiran para filsuf.
Pemahamannya tentang filsafat, pada satu momentum, mengantarnya berada pada tingkatan‘filsuf’ juga. Meskipun kemudian blio lah yang mengkritisi dan menentang metode rasional ahli filsafat, lalu merangkum kritik kerasnya terhadap filsuf muslim, Ibn Sina, Ibnu Rusyd dan Al Farabi.
Imam Ghazali merangkum 20 kesalahan filsuf dalam kitab karyanya: Tahafut al-falasifah. Karya yang kemudian di balas oleh Ibnu Rusyd sebagai pembelaannya dalam kitab Tahafut al-tahafut.
Menandai masa dimana kritik, bukan sekedar komentar, memerlukan pemahaman yang baik dari penyampianya. Dimana ilmu pengetahuan didiskusikan secara terbuka, jujur dan tertulis.
Masa dimana masing-masing pihak harus paham dulu ilmu dan problem yang ingin dikritisi, juga menjaga kehati-hatian untuk tidak melangkah pada yang bukan bidangnya.
Sebab kreatif dan mayoritas manusia milenial kita adalah masyarakat urban (hidup di kota-kota), tahu apa sekarang yang muncul kalau manusia-milenial komentari fenomena?
“ah pencitraan.”, “gak penting, anj**ng lu.”, “dasar buta mata, buta hati.”, “dia bisanya cuma nyengsarain rakyat kecil.”, “gubernur ga’ bener.”, “ah, sudahlah.” Hahaha~~~
Hoax itu cuma buih-buih gak berarti dari dangkalnya kemauan memahami, analisa, tabayyun…..
Ketiga, Tingginya intensitas menggunakan teknologi, membuat banyak ruang manusia(wi) tersingkir.
Begitu tinggi dan cepatnya proses otomatisasi atau digitalisasi pelayanan berbagai jenis perusahaan menyebabkan banyak manusia pekerjanya tersingkir. Kisruh ojek online versus konvensional cuma buih kecil yang mewarnai internalisasi teknologi dalam kehidupan manusia.
Ambil contoh bank BUMN, BRI. Ada teknologi Interactive Glass yang bisa digunakan melihat profil, kinerja korporasi dan menyampaikan kritik-saran. Cukup lewat layar.
Teknologi yang sedikit atau banyak, langsung atau tidak langsung bakal meminggirkan kerja costumer service, yang manusia dan manusiawi.
Ada juga fitur Hybrid Machine, suatu layanan self service bagi nasabah yang pengen membuat rekening tabungan. Cukup bawa e-KTP (yang kasusnya belum selesai). Dan bisa langsung jadi beserta ATM-nya. Lalu dimana fungsi konvensional Teller Bank?
Iya, mbak-mbak yang cantik-cantik, putih, berbaju body fit, tinggi dan kalau senyum hilang rasa ngantuk nunggu nomor antrian. Dan kalau pulang pengen rasanya sekalian kita ajak dan nanti kita kenalkan ke ‘orang rumah’.
Ingat, pengguna internet Indonesia termasuk yang paling tinggi pertumbuhannya di dunia. Sekarang saja sudah sekitar 112 juta (Kominfo.go.id, 2017).
Korporasi mana yang gak tertarik menurunkan jumlah pegawai dan menggantinya dengan teknologi. Pun teknologi gak ribet demo-demo sebab jaminan keselamatan kerja-masa tua-kontrak kerja, otomatis, jangkauan lebih luas, gak perlu izin hamil dan nikah.
Yang lebih penting: gak perlu nyediakan kamar mandi.
Jadi, sebenarnya milenial dengan segala atribut karakternya ini, peluang atau ancaman lur?