Salah satu isu utama yang tengah ramai ditengah masyarakat adalah proses kaum perempuan memperjuangkan kesetaraannya. Dihapan laki-laki tentunya. Beberapa poster agenda Women’s March 2018 disebar di beberapa media sosial.

Gerakan mendunia ini diinisiasi pertama kali di Washington D.C. Tema utama gerakan yang dibawa adalah seputar protes masih banyaknya permasalahan sosial yang berbasis pada gender.

“to advocate legislation and policies regarding human rights and other issues, including women’s rights, immigration reform, healthcare reform, reproductive rights, the natural environment, LGBTQ rights, racial equality, freedom of religion,[17] and workers’ rights”

“…..untuk mengadvokasi legislasi dan kebijakan mengenai hak asasi manusia dan isu-isu lainnya, termasuk hak perempuan, reformasi imigrasi, reformasi kesehatan, hak reproduksi, lingkungan alam, hak LGBTQ, persamaan ras, kebebasan beragama, dan hak-hak pekerja.”

Lebih rinci, pada aksi Women’s March yang sama pada tahun 2017 lalu di area Sarinah Jakarta, tuntutannya adalah:

Pertama, menuntut pemerintah membangun kembali masyarakat yang toleran dan menghormati keberagaman.

Kedua, meminta pemerintah membangun infrastrukrtur hukum dan kebijakan yang pro keadilan gender.

Ketiga, meminta pemerintah agar lebih aktif dan komperhensif dalam membuat dan mengalokasikan dana untuk program terkait perempuan.

Keempat, meminta pemerintah dan mengajak masyarakat untuk ikut perhatian pada isu lingkungan hidup, perubahan iklim, dan kaitannya dengan hak-hak pekerja perempuan. Mereka merasa alih fungsi lahan dan konflik terkait eksploitasi sumber daya alam, meminggirkan perempuan untuk mengakses dan mengelola SDA.

kelima, menuntut pemerintah agar membangun kebijakan dan pelayanan publik yang pro pada perempuan, pro-individu transgender, dan pro warga disabilitas.

Keenam, menuntut pemerintah dan mengajak masyarakat agar memenuhi HAM dan hak seksualitas bagi individu dan kelompok dengan orientasi seksual berbeda.

Ketujuh, memeinta agar partai politik dan pejabat negara memperhatikan hak politik perempuan. Hal ini, menurut mereka, bisa dilakukan dengan mendukung perubahan dalam revisi UU penyelenggaraan pemilu dan RUU Partai Politik dengan mendukung keterwakilan perempuan minimal 30 persen di setiap daerah pilihan (dapil).

Kedelapan, mengajak masyarakat agar lebih peduli pada isu perempuan dan dampak kebijakan internasional dari seluruh dunia

Sementara itu, data dari Komnas Perempuan mencatat terdapat 259.150 kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2016. Sebanyak 245.548 kasus diperoleh dari 358 Pengadilan Agama dan 13.602 kasus yang ditangani oleh 233 lembaga mitra pengadaan layanan yang tersebar di 34 Provinsi.

Dengan rincian, di ranah personal, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menempati peringkat pertama dengan 5.784 kasus. Disusul kekerasan dalam pacaran 2.171 kasus, kekerasan terhadap anak perempuan 1.799 kasus. Kekerasan personal tertinggi terjadi melalui kekerasan fisik 42 persen, kekerasan seksual 34 persen, kekerasan psikis 14 persen. Sisanya, terjadi kekerasan ekonomi.

Banyak pihak, terutama mereka yang terlibat dan menggeluti gerakan feminisme menuding bahwa akar dari kekerasan dan posisi subordinat perempuan tersebut adalah budaya-paradigma patriarki yang terlanjur mendarah daging.

Darimana muncul patriarki?

Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. Lalu darimana patriarki ini muncul dan terlembagakan dalam budaya kita?

Pertama. Dominasi elemen yang. Menurut F. Chapra (2014), jika dirunut lebih jauh, pandangan patriarki telah muncul lama, seiring dengan proses manusia melakukan eksploitasi terhadap alam. Sejak semula, manusia memandang alam sebagai ibu pengasuh yang baik hati, tetapi sekaligus sebagai perempuan liar yang sulit dikendalikan. Lebih jauh, di dalam sistem patriarki gambaran alam yang ramah itu berubah jadi gambaran kepasifan, sementara gambaran alam yang liar mengantar konsep bahwa alam harus di kuasai oleh manusia.

Dalam telaah Chapra, dominasi lelaki atas perempuan, diskriminasi pada kelompok minoritas dan eksploitasi berlebihan pada alam adalah akibat yang timbul dari ketidakseimbangan/ketidakharmonisan manusia dalam menjalankan prinsip pikiran kuno Cina, Yin dan Yang.

Dalam falsafah/ pikiran Cina kuno tersebut, Yang identik dengan perilaku agresif, menuntut, mengembang dan bersaing. Sementara elemen Yin bersifat responsif, intuitif, kooperatif dan sadar lingkungan. Keduanya harus selalu berjalan dalam harmoni supaya terbangun hubungan sosial dan ekologis yang harmonis. Efek dari terlalu dominannya elemen Yang dalam masyarakat kita saat ini adalah eksploitasi, diskriminasi. Terhadap perempuan juga tentunya.

Kedua. Dogma agama. Sistem patriarki seringkali juga didasari pada dogma atau pemahaman agama tentang gambaran bahwa Tuhan banyak disifati sebagai ‘laki-laki’. Suatu personifikasi akal yang hebat dan sumber kekuatan sempurna yang memerintah dunia dari atas dengan memberlakukan hukum ilahiahnya pada dunia.

Ketiga. Media dan film porno.

Media massa sangat berpengaruh terhadap stereotip baik laki-laki dan perempuan. Ia membangun bukan saja apa yang dikategorikan sebagai “perempuan” dan “laki-laki” dalam berbagai bentuk stereotip.

Sementara dalam presentasi Ran Gavrieli, dalam channel TEDx di Youtube, berjudul “Why I Stop Watching Porn.”, dia menjelaskan argumentasinya bahwa menonton film porno selain mendatangkan kemarahan dan kekerasan dalam fantasi pribadi.

Juga dengan menonton film porno, penonontonnya ikut terlibat dalam meningkatkan demand  atau permintaan terhadap human traficking yang terutama korbannya adalah perempuan.

Dan lebih penting, film porno bagaimanapun adalah tentang dominasi pria terhadap perempuan, memperkuat subordinasi. Bukan cuma dalam dunia seksual, tapi juga dalam pandangan hidup patriarki ditengah masyarakat.

Kondisi perempuan dalam dunia kerja.

Salah satu lokasi dimana praktik patriarki dan subordinasi pada perempuan sering dipraktikkan adalah di dunia kerja. Dalam banyak kasus ditengah perilaku agresif dan tingginya persaingan dalam kehidupan kerja, perempuan hadir di dalamnya  hanya diposisikan sebagai pemenuh dukungan simpatik bagi laki-laki.

Mereka menjadi sekretaris, resepsionis, teller, hostes, perawat dan ibu rumah tangga yang memberikan pelayanan agar kehidupan menjadi lebih nyaman dan menciptakan iklim agar kaum pria yang sedang bersaing bisa meraih keberhasilan.

Posisi perempuan seringkali tidak lebih dari guna menghibur para bos, membuatkan kopi, membantu melunakkan konflik-konflik di kantor dan menerima tamu serta menjamunya dengan obrolan-obrolan ringan.

Kritik yang lebih keras disampaikan oleh Avivah Wittenberg-Cox, dalam artikelnya di Harvard Business Review. Selain dalam dunia kerja, perempuan juga sering menghadapi halangan untuk melanjutkan karir datang dari pasangan mereka sendiri, tunangan atau suaminya. Bahkan pasangan yang sama-sama berpendidikan seringkali masih akan memilih jalan yang lebih mudah, yaitu si pria dengan karirnya dan perempuan dengan fokus pada keluarga, terutama anak.

Sebuah studi oleh Pamela Stone dan Meg Lovejoy menemukan bahwa suami merupakan faktor kunci dalam dua pertiga keputusan perempuan untuk berhenti bekerja, seringkali karena para istri harus mengisi suatu kondisi yang disebut ‘parenting vacuum’ atau ketiadaan orangtua yang secara intens merawat anak-anak di rumah.

“Suami yang bekerja keras, dengan penghasilan yang bagus sebagaimana fungsi mereka yang mereka pahami, tapi itu bukan kondisi yang diinginkan dalam era yang menganjurkan keseimbangan gender.

Suami dan istri yang sama-sama bekerja dan mendapatkan penghasilan memiliki keuntungan lebih ditengah kondisi ekonomi yang tidak pasti.” Tulis Eli Finkel dari Universitas Northwestern dalam bukunya The All-or-Nothing Marriage

Sehingga, peran laki-laki dalam mewujudkan kesetaraan sangat penting pada masa yang akan datang. Baik dalam hubungan rumah tangga maupun dalam kerja. 

Konklusi

Alih-alih tampak sebagai perempuan menuntut haknya terhadap laki-laki, gerakan feminisme bisa ditangkap sebagai usaha perempuan dan laki-laki untuk menghadirkan keseimbangan. Maka pemahaman kedua pihak jadi faktor yang krusial. Jika lelaki berhak atas pendidikan tinggi, demikian juga perempuan.

Jika lelaki berhak atas kerja dan karir yang sukses, demikian juga perempuan. Sehingga, sebagaimana berangkat dari titik awal yaitu pemahaman dalam agama bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama manusia dan yang membedakan adalah ketaatan dalam beragama.

Keseimbangan ala Cina kuno yang dimanifestasikan dalam elemen Yin dan Yang cukup menarik untuk dihadirkan. Dalam ajaran ini, disyaratkan jika ada yang sedang tumbuh, maka harus ada bagian lain yang menyusut. Kearifan Cina kuno ini mampu mengenali polaritas dasar yang mendasari sistem hidup.

Keseimbangan tentu tidak akan terbangun jika masih ada pemaksaan ekonomi politik oleh suatu kelas berbadan hukum yang dominan, mempertahankan hirarki sosial dengan keberadaan garis seksis dan rasis, serta perkosaan terhadap alam dan perempuan.

Domestifikasi perempuan yang hanya berkutat pada urusan dapur dan anak bisa kemudian dikomukasikan untuk dikerjakan bersama, sehingga keduanya baik perempuan maupun lelaki dalam hubungan keluarga bisa sama-sama bekerja dan menyelesaikan urusan domestik, rumah tangga.

Lebih jauh, beberapa proses yang harus dilalui guna memunculkan keseimbangan tersebut adalah:

  1. Penyamaan visi. Kedua belah pihak bisa mendiskusikan tujuan personal dan profesional jangka panjang, kemudian sering-sering di revisi jika perlu. Keberadaan support dan saling pemahaman akan jadi kunci keberhasilan selanjutnya.
  2. Menjadi pendengar aktif. Salah satu keluhan perempuan adalah mereka merasa tidak didengarkan dan dihargai. Kedua belah pihak, secara privat maupun di ruang publik perlu mengagendakan dengar pendapat, dengan fokus, dan konsentrasi.
  3. Memberikan feedback atau tanggapan.

Dengan komunikasi dan kemauan untuk saling memahami, keseimbangan bisa dengan mudah diciptakan.

Kalau perkosaan, bisa disebabkan banyak faktor, misalnya: pria memang tidak berpendidikan juga tidak paham hukum, pria berpendidikan tapi merasa masih superior-dominan dibanding perempuan dan berhak atas tubuh mereka.

Atau juga pria sudah berpendidikan, sadar hukum, dan menghormati kesetaraan tapi di momen tertentu dorongan seksualnya tidak lagi bisa dibendung akal-pikiran rasional mereka.

Simplifikasi?

Tentu tidak juga, setidaknya dengan edukasi yang cukup dan menyebarluaskan semangat keseimbangan, dorongan melakukan kekerasan seksual bisa dipinggirkan semaksimal mungkin.