Penulis: Luthfi Hamdani

Menulis puisi itu menyenangkan. Setidaknya anda ndak perlu ribet mengikuti pakem-pakem yang rigid, kaku. Puisi sepaham saya adalah tentang kata dan rasa. Perasaan yang diungkapkan dengan kata-kata. Bisa dibalik jadi kata-kata yang ditulis berdasar rasa. Bebas saja. Dulu ketika saya masih SMP, seorang sastrawan/kritikus sastra menulis di koran bahwa “apa yang disebut oleh penulisnya puisi, maka itulah puisi.” Definisi sederhana, teringat sampai tua. .
.
Tahun lalu saya menulis beberapa puisi, yang sejak awal saya niat untuk menjadikannya buku antologi. Lalu lahir pilihan judul DISRUPSI. .
.
Kenapa DISRUPSI? Ya, selama tahun 2018 dan 2019 saya mengikuti banyak forum dan membaca beberapa referensi yang mengulas topik disruptive innovation (inovasi disruptive). Istilah ini populer bak saudara kembar dengan Revolusi Industri jilid empat. Teknologi lama tergusur oleh yang baru. Ojek pangkalan pindah ke online. Penjaga pintu tol diganti mesin e-money. Pandemi dan penyakit lama tergusur oleh pandemi dan penyakit baru. .
.
Tentu isi puisinya tidak membahas Klaus Schwab, bioteknologi, big data atau “kapitalisme data”. Tidak. Saya ndak paham juga hehehe. Saya hanya nulis beberapa hal sederhana yang timbul sebagai implikasi dari era Disrupsi tadi. Peristiwa yang jadi inspirasi ada di jalan-jalan, di telepon pintar, di kampung, di pabrik. Sederhana. .
.
Buku ini saya komersilkan. Tentu. ((Pengen buku nikah saja harus bayar, masa’ buku puisi gratisan?)). Kalau ada yang mau beli, bisa pesan online via link berikut: Buku Disrupsi. Salam literasi. .
.
#WaspadaCorona #DiRumahAja #SambilBaca #Disrupsi