Masa ‘bulan madu’ masyarakat Trenggalek dengan sepasang pemimpin milenial harus berakhir ditengah jalan. Mas Emil Dardak yang kemudian kita singkat ED memilih menerima tawaran bunda Khofifah untuk maju di persaingan memperebutkan posisi orang nomor satu dan nomor dua di Jawa Tmur. Tanggapan masyarakat Trenggalek juga beragam, sebagaimana yang terdokumentasikan dalam situs web Nggalek.co, yaitu: ada yang pro, ada yang kontra dan ada yang tidak peduli. Seperti biasa. Yang kontra sebab merasa mas ED mengkhianati amanat yang diberikan oleh masyarakat Trenggalek, juga merasa banyak programnya belum jalan, atau dalam argumen yang lebih keras menganggap blio sebagai ‘kemaruk.’ Yang pro, sebab menganggap Trenggalek terlalu kecil untuk aplikasi kompetensi keilmuan mas ED yang lulusan Doktor luar negeri, juga toh nanti kalau mas ED menang di Jawa Timur, pertumbuhan dan kemajuannya dianggap bisa merembes ke bawah (trickle down) ke Trenggalek pula. Sebab Trenggalek, untuk informasi bagi  anda yang belum tahu, juga masih masuk dalam teritori provinsi Jawa Timur. Bagi yang tidak peduli, ya sebab tidak peduli saja. Namanya juga tidak peduli mau dipaksa-paksa juga susah. Bagi mereka, siapapun pemimpinnya toh tidak akan membantu mengangkat gabah, tidak akan membantu menarik jaring ikan dan tidak akan datang di ‘selametan’ dan syukuran mereka. Sederhana saja, urusan politik adalah perkara-perkara yang jauh dari alam pikiran mereka, cukup jika lima tahun sekali datang orang-orang mengajak naik mobil ke TPS menyuruh membawa kartu tanda pemilih yaa mereka datang kesana, nyoblos nomer sesuai yang diminta. Bagi politik Jawa Timur, setidaknya ini adalah tahun ketiga dihiasi wajah-wajah elit yang sama. Bunda Khofifah di satu sisi dan Gus Ipul disisi yang lain. Yang beda cuma pendampingnya. Mbak Puti dan mas ED ini wajah baru. Juga tidak terduga bakal maju. Pengamat politik bahkan bisa dengan mudah, bahkan cenderung hapal, bagaimana elaborasi dukungan bagi masing-masing pasangan. Mana lumbung suara bagi calon yang satu, dan mana lumbung suara bagi calon lainnya. Bagaimana tidak, sudah dua kali pertandingan sebelumnya dihiasi wajah yang sama. Bagaimana daerah-daerah dipecah dalam wilayah dengan kesamaan karakteristik tertentu, misalnya: Mataraman, Tapal kuda, Metropolis, Pantura dan Madura. Juga afiliasi pesantren (sebab Jatim basisnya NU) sudah bisa ditebak jauh-jauh hari. Narasi kombinasi “NASIONALIS-RELIGIUS” diperebutkan kedua pasangan calon. Biasa. Selain berusaha meraup suara dari pemilih-pemilih tua yang serba ideologis, juga mungkin mencoba melakukan counter gerakan islamis-transnasional. Yang sudah dilarang keberadaan organisasinya. Lagipula pilihan koalisi politik itu fleksibel, buktinya PKS bisa kok jadi satu tim dengan PKB dan PDIP. Jadi di Jatim, anda insyaallah tidak akan mendengar istilah ‘partai pembela penghina agama’, ‘wahabi’, ‘keturunan PKI’, ‘pro asing dan aseng’ dan sejenisnya. Insyaallah loh ya. Kecuali ada yang mau mancing-mancing. Lalu bagaimana mas ED bisa dipastikan jadi wakil gubernur?
Jawabannya adalah mas ED bisa dipastikan menjadi pemenang di Pilgub Jatim dan dinobatkan jadi wagub jika bisa memperoleh suara lebih banyak daripada yang diperoleh Gus Ipul dan mbak Puti. Itu saja. Sederhana.
Suara darimana? Dari pemilik hak suara dalam pilgub Jatim. Siapa yang perlu banyak didekati dalam kampaanye? Tentu pemuda, perempuan dan pengguna internet a.k.a medsos aktif. Kenapa pemuda, sebab mereka bakal mempengaruhi pilihan bapak dan mbahnya yang kurang informasi, belum punya pilihan. Kenapa perempuan, sebab perempuan kalo izin ke kamar mandi jarang sendirian, pasti ngajak teman. Maka dalam pilihan politik, mereka pasti ngajak satu atau dua teman. Kenapa netizen atau pengguna internet a.k.a medsos, sebab influence mereka bisa jadi viral dan mempengaruhi pandangan pengguna yang lain dalam pilihan mereka. Biasa dipakai dalam endorse produk dalam online marketing. Terutama cewek punya daya influence lebih tinggi. Cewek cantik dan cenderung seksi punya follower lebih banyak daripada cowok biasa-biasa saja yang pose fotonya mirip pose pagar betis kalau Ronaldo dapat tendangan bebas dua meter didepan kotak penalti. Yang lebih manjur, sediakan mobil-mobil sejenis L300 guna pagi-pagi menjemput mbah-mbah menuju lokasi TPS, sebanyak mungkin. Sebab populasi mereka juga banyak. Toh, mas ED juga butuh banyak suara. Tidak perlu dari yang profesor atau sarjana, cukup dari siapa saja toh suaranya juga sama-sama satu. Yang milih sebab secara kritis melihat tawaran program-kompetensi-track record dan yang milih sebab pagi-pagi dijemput mobil L300, sama-sama dapat satu suara dalam demokrasi kita. Afiliasi pesantren bagaimana? Itu zona tabu, jangan dibahas. Kalau mas ED tidak memperoleh suara lebih banyak dari lawannya? Otomatis blio dan bunda Khofifah kalah. Lalu bagaimana? Santai saja. Tidak akan ada satu kepala pun di Jatim yang ngelokne atau mengejek mesakne a.k.a kasihan. Tidak ada. Kalau ada, berarti mereka kurang muhasabah. Bagi pria kepala tiga seperti mas ED yang hampir segala fase kebutuhannya dalam teori Maslow telah terpenuhi, yaitu fisiologis, rasa aman, kasih sayang dan penghargaan, maka nyalon wakil gubernur bagian kecil dari proses aktualisasi diri. Jika gagal, banyak ruang lagi untuk aktualisasi. Istri cantik sudah punya, anak punya, harta milyaran punya, pengalaman nasional dan internasional punya. Apalagi. Mereka yang mengejek a.k.a ngelokne bisa dipastikan urat malunya sudah putus. Jadi, posisi moril mas ED sebenarnya ‘nothing to lose’. Kalah yo rapopo, ora patheken. Kalau bunda Khofifah, wallahu a’lam. Terakhir, bravo pemimpin-pemimpin muda. Bravo juga pemimpin tua.