Penulis: Luthfiham

Kalau sedang bosan dengan berbagai tugas kuliah dan berbagai hal yang harus saya kerjakan, sering saya keluar kos, sekedar keliling-keliling dengan sepeda motor. Rutinitas begini juga bisa melatih rasa syukur. Bagaimana tidak, di pinggir jalan, siang sampai malam dini hari, berbagai jenis menusia bertahan hidup.

Sebagai pemuda yang bisa menikmati akses pendidikan tinggi, punya kemampuan mengakses berbagai informasi melalui piranti teknologi (laptop dan smartphone), ekspektasi dan imajinasi saya tentang hidup tentu jauh berbeda dengan mereka.

Ya, mereka yang di siang panas duduk-duduk di trotoar jaga usaha tambal ban.

Mereka yang bekerja jadi tukang parkir.

Bisa dipahami, jalanan punya ruhnya sendiri. Jalanan adalah kehidupan.

Saya pernah kenal dan banyak bercerita dengan ‘mantan’ anak punk. Berasal dari sebuah kota di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah, kelas dua SMA dia pergi dari rumah sebab masalah dalam keluarga.

Hampir dua tahun, berkelana ‘gak jelas’ dia pulang ke rumah, minta maaf ke ibunya. Apa sebab?

Ya, teman berkelananya meninggal gegara overdosis atau kebanyakan minum.

Pelajaran sederhana, tentu bukan kehendak dia melakukan kegiatan dan menghabiskan masa produktifnya dengan jadi anak jalanan.

Kita sering membahas revolusi industri 4.0, bahwa internet, teknologi digital dan mesin-mesin canggih akan menggantikan peran kerja manusia dalam industri. Akan banyak perusahaan merampingkan jumlah pekerjanya. Terjadi otomatisasi dimana-mana.

Sementara mereka dimana?

Betul. Tetap di jalan.

Negara tentu punya tugas menyelesaikan masalah semacam ini. Tanpa diurai secara konsisten, masalah ini akan menjadi bom waktu.

Semakin banyak penduduk yang tidak mampu memenuhi standar ‘hidup layak’, lalu menautkan sisa usianya di jalanan: adalah masalah besar bagi negara.

Juga bagi masyarakat umumnya, yang tidak termasuk dalam irisan kategori mereka.

Kata kuncinya: Empati.

Banyak ‘reality show’ di TV yang bisa jadi bahan ajar menumbuhkan sikap empati berikut. Mulai yang bedah rumah, sampai ngasih uang belanja sekian juta.

Sambil mengesampingkan aspek bisnis dari acara TV-nya, keikutsertaan stasiun TV dan segala sponsornya untuk menyelesaikan masalah mereka yang ‘kekurangan’ layak diapresiasi.

Satu lagi, betapa trenyuh ketika hari raya idul adha tahun ini masih saya jumpai di berita TV, ratusan sampai ribuan masyarakat berebut daging kurban. Sampai berdesakan. Sampai berjatuhan. Ibu-ibu tua. Beberapa sambil membawa anak-anaknya.

Daging kambing dan sapi tentu makanan mewah. Mungkin ada yang makan daging sapi hanya ketika idul adha begini. Atau ketika tetangganya yang kaya mengadakan ‘slametan’.

Manusia tentu selalu punya potensi menjadi ‘homo homini lupus’ (manusia adalah serigala bagi sesama manusia), seperti diungkapkan oleh filsuf Plautus.

Kebalikannya, manusia punya potensi menjadi ‘homo homini socius’, meminjam istilah filsuf Seneca. Ya, manusia satu dengan yang lainnya adalah teman baik, saling peduli.

Kurban (juga puasa dan zakat) tentu mengajak refleksi. Hikmah ibadah ini sering diungkapkan oleh penceramah. Lebih dari itu, refleksi akan lebih bermakna jika dilanjutkan dengan agenda aksi.

Langkah pertama, bisa dimulai dari mendengar cerita mereka. Dengan ikhlas. Kalau mau lebih ekstrim, beberapa teman aktifis mahasiswa biasa dengan metode life in. Upaya memahami kondisi kelompok yang berusaha diadvokasi dengan tinggal langsung bersama mereka.

Teknik life in begini bisa juga berwujud kegiatan pengabdian masyarakat dari kampus. Tapi, ya begitulah realitanya.

Banyak hal belum selesai. Di negeri ini. Di sekitar kita.