Oleh: @luthfiham

Dulu waktu kuliah di Malang, ada info penjaringan beasiswa dari sebuah bank. Nilai nominalnya lumayan, tapi ndak banyak juga. Semua berkas syarat dan batas nilai saya nutut. Tapi, karena harus melampirkan berkas Surat Keterangan Tidak Mampu, saya laporan dulu ke rumah. Bapak saya bilang: “Cari beasiswa lain, yang gak ada syarat SKTM-nya. Selama saya mampu, saya biayai kuliahmu.” Pesan yang lalu saya pegang betul.

Tapi karena saya butuh tambahan uang untuk operasional dan terlanjur ngumpulkan berbagai berkas persyaratan yang lain, saya kumpulkan saja berkasnya dalam map, tanpa SKTM. Ternyata saat pengumuman, saya dipanggil untuk tahap berikutnya, tes interview. Pas tes ini, berbekal keahlian olah kata dan ‘olah data’, akhirnya saya terpilih. Beberapa hari kemudian menerima dananya.

Rasa bersalah saya berkurang sebab ada ‘kesalahan sistem’ atau ‘kesalahan orang-orang yang melakukan seleksi’. Saat itu, tampaknya penyalur dana belum serius dan ketat dalam tiap tahap proses. Beberapa testimoni penerima yang lain juga ‘lucu dan ajaib’. Tapi ketika lulus dan mau lanjut studi, ada beberapa yang ngasih info dan ‘link’ beasiswa, akhirnya ndak saya ambil. Studi yang kini rampung.

Kejadian begini akrab bener sama hidup orang Indonesia. Masyarakat dan pemerintahnya sama-sama doyan ngelakuin ‘fraud’ atau kecurangan. Saya yakin banyak dari penerima LPDP, Bidikmisi atau beasiswa bank itu ya orang mampu saja sebenarnya. Orang-orang yang beli elpiji tiga kilo bersubsidi atau BBM subsidi juga ndak sepenuhnya orang kurang mampu. Maka ndak aneh akhir-akhir ini Jokowi dan para temannya di pemerintahan pengen ngatur ulang skema ngasih subsidi BBM dan elpiji.
Populer di kita istilah ‘Jujur Ajur, jum.!!’ .

Sudah rakyatnya ndak mau tahu kemampuan ekonominya, beragam kasus korupsi dan manipulasi laporan keuangan BUMN terutama Garuda, juga akal-akalan investasi Jiwasraya dan Asabri, jadi paket komplit realitas hidup orang Indonesia. Atau misalnya juga kasus suap jabatan dari Romahurmuzy cs di Kementerian Agama (wagilasih ini).

Selain sebab faktor adanya peluang, yang begini terjadi karena banyak yang ndak punya integritas, pada ndak jujur.

Jadi orang tidak mampu ini sudah susah, ditambah beragam kemudahan (subsidi dan beasiswa) yang notabene adalah hak-nya, sering bener diserobot orang lain. Pas di organisasi dulu, saya punya prinsip ‘anggota gak boleh disalahkan’, introspeksi saja dulu pengurus dan ketuanya. Prinsip model top-down ini tampaknya bisa lah dipake tokoh publik dan pemimpin pemerintahan kita.