Generasi milenial dengan cepat kehilangan minat dalam demokrasi.

Belum lama ini, demokrasi liberal dianggap oleh banyak orang bukan hanya bentuk pemerintahan terbaik, tetapi bentuk pemerintahan yang tak terelakkan.

Pada akhir Perang Dingin, Francis Fukuyama terkenal dengan skenario akhir sejarah: demokrasi menang, semua yang lain gagal.

Pada 2017, pandangan itu terlihat naif. Penelitian baru memperingatkan bahwa basis penggemar demokrasi menyusut, terutama di kalangan orang muda.

Kegagalan cinta dengan demokrasi

Dalam makalah yang diterbitkan oleh Roberto Stefan Foa dari Universitas Melbourne dan Yascha Mounk dari Harvard menunjukkan bahwa proporsi atau jumlah orang yang mendukung ide ‘memiliki pemimpin yang kuat yang tidak perlu repot dengan parlemen atau pemilihan (having a strong leader who does not have to bother with parliament or elections) telah meningkat di seluruh dunia selama masa 25 tahun terakhir, dalam banyak hal.

Penelitian Foa dan Mounk menunjukkan bahwa kaum milenium (generasi milenial) telah menjadi kurang terikat dan tertarik dengan pentingnya pemungutan suara. Pada tahun 1995, hanya 16% dari orang Amerika berusia 16 hingga 24 tahun yang percaya bahwa demokrasi adalah cara yang buruk untuk menjalankan negara. Pada 2011, jumlah itu meningkat menjadi 24%.

Grafik lain, berdasarkan penelitian yang sama, menunjukkan penurunan sistematis dalam persentase orang-orang yang berpikir bahwa penting untuk hidup dalam demokrasi, tergantung pada dekade apa mereka dilahirkan.

Masyarakat yang berpikir bahwa: penting untuk hidup di negara yang diatur secara demokratis

Ini menunjukkan bahwa mereka yang lahir pada 1930-an jauh lebih percaya pada demokrasi daripada mereka yang lahir di tahun 1980-an. Sekitar 72% dari mereka yang lahir pada 1930-an di Amerika berpikir demokrasi mutlak penting. Begitu juga 55% dari kelompok yang sama di Belanda.

Tetapi generasi milenium (yang lahir sejak tahun 1980) telah tumbuh jauh lebih tidak peduli. Misalnya, hanya satu dari tiga milenium Belanda yang mengatakan hal yang sama; di Amerika Serikat, angka itu sedikit lebih rendah, sekitar 30%.

“Selama tiga dekade terakhir, kepercayaan pada lembaga-lembaga politik seperti parlemen atau pengadilan telah menurun drastis di seluruh negara demokrasi Amerika Utara dan Eropa Barat yang sudah mapan. Begitu juga jumlah pemilih, ” kata penulis studi.

43% orang Amerika yang berusia tua tidak sepakat pada gagasan bahwa militer harus diizinkan untuk mengambil alih kekuasaan ketika pemerintah tidak kompeten atau gagal melakukan tugasnya. Namun, di antara orang-orang yang lebih muda, angkanya jauh lebih rendah yaitu pada 19%.

Tampaknya ada penurunan minat dalam politik di antara orang-orang muda yang melampaui perbedaan generasi biasa.

Ketertarikan masyarakat dalam politik telah tumbuh secara tradisional saat usia mereka semakin tua, dan jika di asumsikan proses tersebut masih terjadi, anak-anak muda saat ini akan memulai dari tingkat minat yang jauh lebih rendah pada politik dan demokrasi.

Kesenjangan antar generasi  di Amerika antara yang tua dan yang lebih muda antara tahun 1990 dan 2010 telah melebar dari 10 hingga 26 poin persentase. Di antara responden Eropa, kesenjangan antara generasi muda dan tua lebih dari tiga kali lipat antara tahun 1990 dan 2010, dari 4 hingga 14 poin persentase.

Para penulis laporan menunjukkan bahwa ketidakpuasan publik terhadap demokrasi yang tercermin dalam survei di seluruh AS dan Eropa juga hadir dalam survei publik di negara-negara seperti Venezuela dan Polandia bertahun-tahun sebelum mereka menghadapi tantangan serius untuk menetapkan norma-norma demokrasi.

Kalau di Indonesia, menarik juga di adakan survey, seberapa jauh demokrasi ada di dalam hati generasi muda? Atau sama-sama tidak peduli dan tidak percaya?

(Sumber: Keith Breene, Millenials are Rapidly Losing Interest in Democracy, weforum.org)