Seiring munculnya pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change) secara ekstrim, fenomena pemakaian produk ramah lingkungan (green product) kian marak dikampanyekan.
Di era perdagangan bebas, isu tersebut lantas dikaitkan dengan tuntutan bisnis. Tanpa menggunakan ”embel-embel” produk hijau, jangan harap produk akan diterima pasar internasional.
Sementara itu, dari sisi konsumen mulai muncul pula kesadaran untuk melakukan konsumsi yang ramah lingkungan. Perilaku ini dikenal dengan istilah ‘Green Consumer Behaviour’. Menurut Mills (2012) Green Consumer Behaviour merupakan perilaku konsumen yang dalam setiap tindakan konsumsinya menerapkan wawasan ramah lingkungan.
Konsumen ramah lingkungan (green consumers) adalah konsumen yang lebih memilih produk yang tidak akan membahayakan kesehatan manusia atau merusak lingkungan (Tekade & Sastikar, 2015). Sedangkan istilah konsumerisme ramah lingkungan dipahami sebagai konsep yang lebih luas daripada konsumen ramah lingkungan.
Konsumerisme ramah lingkungan mencakup kesadaran sosial yang lebih luas tentang perilaku konsumen ramah lingkungan, di mana konsumen ramah lingkungan adalah pendorong utama konsumerisme hijau.
Konsumerisme hijau dapat dianggap sebagai identitas diri ramah lingkungan (Sparks, 1992). Tiga pernyataan khas konsumen ramah lingkungan adalah:
“Saya mengidentifikasi diri saya sebagai seseorang yang peduli dengan ‘masalah lingkungan’”
“Saya membeli dan mengkonsumsi produk ramah lingkungan”,
“Saya menganggap gaya hidup saya sebagai ramah lingkungan ‘”.
Tan, et.al (2016) dalam jurnal berjudul “Barriers to green consumption behaviours: The roles of consumers’ green perceptions” menyatakan bahwa konsumen adalah pendorong utama dalam hal produksi berkelanjutan, karena mereka menyumbang lebih dari 60% dari konsumsi akhir di negara-negara OECD (Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi).
Sesuai dengan fenomena itu, konsumen akan memiliki dampak besar pada pertumbuhan ramah lingkungan (green growth) jika mereka membeli produk ramah lingkungan dan mengubah perilaku mereka untuk mendukung tujuan lingkungan.
Green growth sendiri dimaknai sebagai upaya mendorong pertumbuhan dan pengembangan ekonomi sambil memastikan bahwa aset natural berupa alam terus mampu menyediakan sumber daya dan manfaat lingkungan yang menjadi sandaran kesejahteraan kita
Laporan terbaru akan muncul untuk menunjukkan bahwa kesadaran lingkungan konsumen dan sikap positif terhadap lingkungan telah meningkat selama bertahun-tahun (Eurobarometer, 2011; Nielsen, 2014).
Sebagai contoh, dalam studi global oleh Nielsen (2014), 55% responden melaporkan kesediaan mereka untuk membayar lebih untuk memperoleh produk dan layanan dari perusahaan yang berkomitmen untuk memiliki dampak sosial dan lingkungan yang positif. Namun, disisi lain tingkat adopsi produk ramah lingkungan (EF) dalam beberapa waktu terakhir telah menurun (Clifford dan Martin, 2011).
Sejumlah peneliti telah mengidentifikasi hambatan konsumsi hijau yaitu berupa faktor harga dan kurangnya keahlian produk ramah lingkungan sebagai yang menghambat konsumen melakukan konsumsi produk hijau.
Dia et al. (2016) mempelajari konsumen Cina dan menemukan itu preferensi konsumen, kelompok referensi dan persepsi wajah berkontribusi terhadap perilaku konsumsi non-ramah lingkungan.
Penemuan-penemuan tersebut melengkapi berbagai temuan sebelumnya yang melihat persepsi; lebih khususnya, kepercayaan dan status pro-sosial, kinerja risiko yang dirasakan, harga, kualitas dan sinisme konsumen adalah beberapa alasan mengapa konsumen yang sadar lingkungan memilih untuk tidak membeli produk yang ramah lingkungan.
White, Hardisti dan Habib (2019) dalam artikel berjudul “The Elusive Green Consumer” menemukan fenomena yang sama, berupa adanya paradoks yang menghantui bisnis ramah lingkungan (green business): Beberapa konsumen yang dilaporkan memiliki sikap positif terhadap produk dan layanan ramah lingkungan masih harus menyesuaikan dengan kemampuan keuangan mereka.
Dalam satu survei, 65% responden mengatakan mereka ingin membeli merek yang memperhatikan keberlanjutan lingkungan hidup, namun hanya sekitar 26% yang benar-benar melakukannya.
Mempersempit celah atau gap antara ‘niat dan tindakan’ ini menjadi penting tidak hanya untuk memenuhi tujuan keberlanjutan perusahaan tetapi juga untuk planet ini.
Unilever memperkirakan bahwa hampir 70% dari jejak gas rumah kaca tergantung pada produk mana yang dipilih pelanggan dan apakah mereka menggunakan dan membuangnya secara berkelanjutan. Misalnya, dengan menghemat air dan energi saat mencuci pakaian atau mendaur ulang wadah dengan benar setelah digunakan.
Telah banyak kajian tentang bagaimana menyelaraskan perilaku konsumen dengan preferensi yang mereka nyatakan. Kebanyakan dari penelitian ini berfokus pada intervensi publik oleh para pembuat kebijakan.
Temuan White, Hardisti dan Habib (2019), mengidentifikasi lima tindakan yang bisa dipertimbangkan oleh perusahaan untuk mendorong tumbuhnya konsumsi yang ramah lingkungan: menggunakan pengaruh sosial, membentuk kebiasaan yang baik, meningkatkan efek domino, memutuskan apakah akan berbicara dengan hati atau otak, dan lebih menyukai pengalaman daripada kepemilikan.
Tiga di antaranya yaitu:
MENGOPTIMALKAN PENGARUH SOSIAL
Perusahaan dapat meminta influencer untuk mempromosikan elemen positif dari produk atau tindakan. influencer paling menarik adalah ketika mereka sendiri telah melakukan perilaku itu.
Satu studi menemukan bahwa ketika seorang influencer memberikan testimoni mengapa ia telah memasang panel surya rumahnya, 63% lebih banyak orang mengikutinya daripada ketika influencer tidak benar-benar menginstal panel.
Norma sosial juga dapat mematikan segmen konsumen tertentu. Misalnya, beberapa pria mengaitkan keberlanjutan dengan feminitas (menunjukkan sifat perempuan), mengarahkan mereka untuk menghindari opsi berkelanjutan.
Tetapi jika suatu merek sudah sangat terkait dengan maskulinitas, efek ini dapat dikurangi. Jack Daniel misalnya, menanamkan keberlanjutan dalam banyak aspek bisnisnya.
Tagline seperti “Dengan segala hormat terhadap kemajuan, dunia dapat menggunakan lebih sedikit plastik” (With all due respect to progress, the world could use a little less plastic”) dan tagline “Bahkan limbah Jack Daniel terlalu baik untuk dibuang” (Even Jack Daniel’s waste is too good to waste) menghubungkan keberlanjutan dengan kualitas dan rasa yang luar biasa.
Karena perusahaan menjual produk limbah dan sumber daya yang tidak digunakan ke industri lain, ia tidak perlu mengirim limbah ke tempat pembuangan sampah. Semua ini menjadi bagian dari dukungan perusahaan untuk etos kerja, tanah dan udara, dan komunitas di mana Jack Daniel beroperasi.
Untuk menghindari kehilangan kedudukannya sebagai merek yang keras dan maskulin, merek ini telah secara ahli mengintegrasikan prinsip keberlanjutan ke dalam branding yang dibangunnya.
MEMBENTUK KEBIASAAN YANG BAIK
Manusia adalah makhluk yang terbentuk karakternya oleh berbagai kebiasaan. Banyak perilaku, seperti bagaimana kita pergi bekerja, apa yang kita beli, apa yang kita makan, dan bagaimana kita membuang produk dan kemasan, adalah bagian dari rutinitas rutin kita. Seringkali kunci untuk menyebarkan perilaku konsumen yang berkelanjutan adalah pertama-tama menghentikan kebiasaan buruk dan kemudian mendorong yang baik.
Kebiasaan dipicu oleh isyarat atau tanda (cues) yang akrab dijumpai. Sebagai contoh, menggunakan cangkir kopi sekali pakai (suatu kebiasaan yang berulang sebanyak 500 miliar kali setahun di seluruh dunia) mungkin merupakan respons terhadap isyarat, seperti bentuk cangkir pada umumnya yang disediakan oleh barista dan tempat sampah yang diilustrasikan dengan gambar cangkir, keduanya begitu mudah dijumpai di kedai kopi.
Perusahaan dapat menggunakan fitur desain untuk menghilangkan kebiasaan negatif dan menggantikan yang positif. Pendekatan paling sederhana dan mungkin paling efektif adalah menjadikan perilaku berkelanjutan sebagai standar aktifitas.
MENINGKATKAN EFEK DOMINO
Salah satu manfaat dari mendorong konsumen untuk membentuk kebiasaan yang diinginkan adalah bahwa hal itu dapat menciptakan limpahan positif: Orang-orang suka bersikap konsisten, jadi jika mereka mengadopsi satu perilaku konsumsi berkelanjutan, mereka sering cenderung membuat perubahan positif lainnya di masa depan.
Sebagai contoh, setelah IKEA meluncurkan inisiatif keberlanjutan yang disebut Live Lagom (lagom berarti “jumlah yang tepat” dalam bahasa Swedia), IKEA mempelajari perjalanan kebiasaan konsumsi berkelanjutan secara mendalam di antara kelompok inti pelanggannya.
Perusahaan menemukan bahwa meskipun orang hanya memulai dengan satu langkah tunggal, seperti mengurangi limbah makanan rumah tangga, mereka di masa yang akan datang sering tergerak untuk bertindak dalam domain lain, seperti mulai memperhatikan konservasi energi.
IKEA juga mengamati efek bola salju: Orang akan mulai dengan aksi kecil dan melanjutkannya menjadi berbagai aksi yang lebih bermakna.