Pertimbangkan situasi ini, sebut saja Kasus A. Anda berada di suatu dealer dan ingin membeli mobil bekas. Penjual mencantumkan harga 100 juta. Bayangkan Anda benar-benar tahu tentang pasaran harga mobil bekas,  dan Anda tahu bahwa mobil bekas ini, jika dilelang, dapat terjual hampir 300 juta.

Haruskah Anda memberi tahu pemilik saat ini bahwa mereka melakukan kesalahan besar dengan memberi harga 100 juta? Atau sebaiknya Anda membelinya dan mendapat untung dari penjualan kembali yang menguntungkan?

Kasus kecil semacam ini menarik dikaji. Hal ini yang dituliskan oleh R. Edward Freeman, seorang professor strategi dan etika bisnis sebagai berikut:

Beberapa berpendapat bahwa harga mencerminkan nilai kepada penjual, bahwa pembeli sering memiliki informasi tambahan, dan bahwa mendapatkan keuntungan dari asimetri informasi ini adalah sangat etis.

Beberapa yang lain mengatakan bahwa jika penjualnya adalah teman atau orang yang anda kenal, akan salah untuk mengambil untung dengan biaya yang akan ditanggung penjual itu. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa bisnis adalah tentang hubungan, dan hubungan yang baik tidak perlu saling mengambil keuntungan.

Yang lain berpendapat bahwa mereka akan membeli mobil bekas tersebut tetapi merasa bersalah karena mengambil keuntungan dari penjual, sementara yang lain mengatakan bahwa rasa bersalah atas transaksi seperti itu akan mencegah mereka dari membeli mobil bekas dengan harga serendah itu.

Sekarang pertimbangkan situasi lain. Kita sebut saja Kasus B. Dalam hal ini, transaksi ada di toko musik. Kali ini Anda tidak tahu apa-apa tentang biola, tetapi Anda ingin membeli satu unit untuk belajar memainkannya.

Pemilik toko membawakan pada Anda satu produk dengan label harga 2 juta dan berkata,

“yang ini sangat sesuai dengan apa yang Anda inginkan.”

Tanpa anda ketahui, biola ini dibuat dengan murah dan tidak bernilai mendekati satu juta. Lalu Anda membeli biola tersebut.

Apakah pemilik toko melakukan kesalahan?

Sekali lagi, banyak argumen yang saling bertentangan tentang kasus ini. Beberapa mengatakan hal ini adalah sebagai peringatan, biarkan pembeli berhati-hati. Ciri khas pendapat ini, sebab penentuan harga tadi merupakan hal yang legal dalam kapitalisme dan sistem hukum.

Yang lain berpendapat bahwa pemilik toko melakukan penipuan dengan memberi harga yang lebih tinggi pada biola.

Yang lain lagi menjawab bahwa harga yang dibayarkan mencerminkan nilai yang dirasakan oleh pembeli.

Pembeli dalam Kasus B berada di posisi yang sama dengan penjual dalam Kasus A: Dalam kedua kasus, ada asimetri informasi.

Mengingat ada semakin banyak pembeli dan penjual dari waktu ke waktu, maka gejala seperti asimetri dapat diminimalkan. Pembeli dan penjual menjadi lebih mengerti pasar, dan yang lain mulai memberikan informasi yang tidak diketahui kepada peserta pasar. Beberapa bahkan bergerak dan mengubah cara penawaran barang tertentu, dengan lebih banyak opsi dan poin harga.

Namun, sebelum pasar dapat menyelesaikan semua masalah ini, apa yang harus dilakukan dalam transaksi khusus seperti di atas?

Kekeliruan Pemisahan (The Separation Fallacy)

Kasus A dan B adalah contoh dari apa yang oleh ahli etika bisnis disebut sebagai kekeliruan pemisahan. Ini adalah kecenderungan dalam teori bisnis dan dalam teori etika bisnis, untuk memisahkan kasus bisnis dari kasus etika.

Dalam Kasus A, perspektif bisnis mengatakan, “beli mobil bekas seharga 100 juta.”

Dalam Kasus B, perspektif bisnis mengatakan, “jual biola dengan harga berapapun yang bersedia dibayar oleh pelanggan.”

Dalam Kasus A dan Kasus B, perspektif etika mengatakan, “jangan mengambil keuntungan yang tidak wajar dari orang lain.”

Namun kenyataannya, banyak orang ingin tahu bagaimana mengintegrasikan perspektif bisnis dan  etika.

Mengapa? Karena keputusan dalam jenis transaksi ini tidak hanya memiliki hasil secara keuangan, namun juga memiliki dampak secara sosial dan psikologis. Tentu saja, ada pandangan bisnis yang menonjol yang mengatakan bahwa satu-satunya aturan adalah mencoba memaksimalkan kepentingan diri sendiri.

Tetapi pandangan itu mendefinisikan kepentingan pribadi dengan sangat sempit, hanya mempertimbangkan konsekuensi yang timbul pada diri sendiri dan yang dapat diukur dalam nilai finansial.

Tidak kurang seorang filsuf dan ekonom Adam Smith memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang kepentingan pribadi. Smith memahami bahkan di abad ke-18 bahwa kita adalah makhluk sosial. Memang, kalimat pembuka dari buku ‘Theory of Moral Sentiments’ (1759) mengatakan:

“Betapa egoisnya manusia, seharusnya ada beberapa prinsip dalam sifatnya, yang membuatnya tertarik pada kekayaan orang lain, dan membuat kebahagiaan mereka diperlukan baginya, meskipun ia tidak memperoleh apa pun darinya kecuali kesenangan melihatnya.”

(“How selfish soever man may be supposed, there are evidently some principles in his nature, which interest him in the fortune of others, and render their happiness necessary to him, though he derives nothing from it except the pleasure of seeing it.”)

Pemisahan yang dibuat oleh banyak orang antara kasus bisnis dan kasus etika transaksi seperti di atas tidak boleh terjadi dalam bisnis. Mengintegrasikan masalah ini, akan membutuhkan pemikiran ulang ide-ide paling dasar dari bisnis dan etika.

Pandangan Bisnis Relasional (The Relational View of Business)

Manusia melihat diri mereka dalam hubungannya dengan orang lain memiliki akar secara evolusiner. Michael Tomasello (Institut Max Planck untuk Antropologi Evolusi, Leipzig, Jerman) dan Amrisha Vaish (University of Virginia) berpendapat bahwa manusia menjadi “ultra-sosial” karena cara mereka berburu, bekerja bersama untuk melacak permainan besar sejak 400.000 tahun yang lalu.

Dengan bergabung bersama, manusia meningkatkan peluang mereka untuk bertahan hidup. Tetapi kolaborasi untuk mengumpulkan makanan hanyalah awal. Bekerja bersama memungkinkan manusia untuk melihat diri mereka sendiri dalam hubungannya dengan orang lain, sebagai bagian dari kelompok.

Tomasello dan Vaish menyebut kasus ini sebagai intensionalitas kolektif (gagasan bahwa dua pikiran memperhatikan hal yang sama dan berupaya mencapai tujuan yang sama). Intensionalitas kolektif juga merupakan dasar bagi moralitas, bisnis, dan kapitalisme.

Semakin banyak perusahaan saat ini melakukan pembicaraan tentang etika dan mengadopsi sudut pandang Smith, menolak pandangan bisnis yang sempit dan transaksional demi pendekatan yang lebih berorientasi pada hubungan.

Perusahaan seperti Unilever dan Salesforce semuanya telah mengambil tindakan yang menunjukkan niat untuk melihat bisnis sebagai serangkaian hubungan yang saling berhubungan dari waktu ke waktu dan atas semua pemangku kepentingan yang akan terpengaruh oleh bisnis atau yang dapat memengaruhi diri sendiri.

Pendekatan ini mengatakan bahwa jika Anda seorang pembeli, Anda memperlakukan penjual seperti Anda akan melakukan bisnis dengan mereka untuk jangka waktu yang lama. Jika Anda seorang penjual, Anda memperlakukan pelanggan sebagai klien seumur hidup yang tidak boleh dimanfaatkan dalam transaksi tertentu.

Hubungan membutuhkan investasi dan pekerjaan bersama. Hubungan bisnis mirip dengan hubungan keluarga, pernikahan, dan kolaborasi guru dan siswa. Tidak satu pun dari koneksi ini yang dapat direduksi menjadi satu set transaksi, karena hubungan membentuk kita sebanyak kita membentuknya.

Tentu saja kepentingan pribadi memainkan peran, tetapi demikian juga kemampuan kita untuk merawat orang lain. Kita dapat melakukan hal-hal yang secara simultan berkaitan dengan kepentingan pribadi. Manusia itu rumit dan memiliki banyak motif, dalam kehidupan dan dalam bisnis.

Mari kita kembali ke kasus-kasus yang kita bahas di atas. Dalam kedua situasi, kita bisa membayangkan membuat solusi di mana kedua belah pihak bisa menjadi lebih baik. Dalam Kasus A, pembeli dapat bertindak sebagai agen penjual, yang jelas tidak tahu banyak tentang mobil bekas.

Dalam Kasus B, penjual dapat memutuskan untuk bekerja dengan pelanggan dari waktu ke waktu, menjual biola murah pada awalnya, tetapi juga mengarahkan pelanggan untuk melakukan proses awal mempelajari biola dan, pada akhirnya, suatu saat akan menjual biola yang lebih mahal, tetapi berkualitas.

Kapitalisme adalah sistem kerja sama sosial terbesar yang pernah ditemukan. Kapitalisme ini tentang bagaimana kita menciptakan nilai untuk orang lain dan berdagang dengan mereka. Persaingan dan kepentingan pribadi berperan, tetapi begitu juga kolaborasi.

Memandang bisnis sebagai serangkaian hubungan yang ada untuk waktu yang lama adalah salah satu elemen terpenting dalam upaya membangun perusahaan yang sukses.

Meskipun mungkin tergoda untuk mengambil jalan pintas untuk memberi manfaat hanya bagi diri kita sendiri, ketika kita melakukannya, kita berisiko menghancurkan sistem kerja sama yang membuat kita benar-benar menjadi manusia.