Oleh: @luthfiham

Tugas utama wartawan/jurnalis/reporter ada dua: mencari informasi (hunting) dan menulis berita dengan disiplin jurnalistik (writing). Cuma dua itu, setahu saya. Banyak yang pinter nulis, gak bisa jadi wartawan sebab gak kuat wira-wiri ke tempat-tempat jauh atau duduk-duduk lama nunggu narasumber pejabat publik. .

Satu yang menyenangkan adalah bisa berinteraksi dengan begitu banyak orang, dari beragam latar belakang. Senin bertemu wakil walikota dan wakil ketua DPR, selasa bertemu pelatih bola asing, rabu ke pedagang pasar dan kepala dinas, kamis ke petani milenial yang sedang mengembangkan IOT untuk urban farming, jum’at ketemu ibu-ibu tua yang warungnya roboh terdampak banjir. .

Kita bisa belajar bahwa: publisitas manusia begitu beragam. Walikota guyonan sedikit saja bisa jadi berita panjang tentang pemilu dua tahun lagi, berisi analisa-analisa politik (yang sering gak jelas). Sedang ibu warung makan gak akan masuk berita kecuali warungnya rusak parah terdampak bencana. Juga orang-orang biasa yang cuma (dan hanya cuma) akan masuk berita saat mereka jadi kriminal atau tertimpa musibah kecelakaan lalu lintas.

Tentu tidak semua suka publisitas. Banyak orang sukses yang hidupnya gak pengen jadi konsumsi publik, misalnya para konglomerat besar Indonesia. Beda dengan artis yang cuma punya bakat/karya pas-pasan dan para politisi.

Mereka yang bertahan jadi jurnalis punya kemampuan komunikasi luar biasa, sebab diharuskan ketemu orang-orang asing dengan kemampuan berbahasa yang ibarat bumi vs langit. Harus ahli bahasa Indonesia, bahasa inggris (misal untuk interview dengan pelatih Arema), bahasa jawa kromo inggil, bahasa malang campur madura, bahasa malang biasa. Tanpa sehat fisik dan bisa beragam gaya komunikasi, jangan harap bisa dapat informasi. hehe


(semua foto diambil atas izin)