Penulis: Luthfi Hamdani

Ketika kuliah di Semarang, Prof. Augusty F., yang mengajar di kelas pemasaran berkelakar: “Saya ini ngajar marketing sudah puluhan tahun, tapi setiap kali nyoba closing selalu gak bisa-bisa.” Closing ini istilah lain dari terjadinya kesepakatan beli atas barang/jasa yang kita tawarkan. ⁣

Beliau termasuk salah satu yang terbaik (di Indonesia) urusan riset pemasaran. Buku-bukunya menjadi rujukan dan seminar atau kelas-kelas pelatihan yang ia adakan selalu ramai, walaupun mahal (bagi saya). Kelakar/guyonan tadi bisa dimaknai (selalu) adanya disparitas/gap yang mengakar lama antara teori dan hasil riset yang diajar di kelas dengan praktek marketing di lapangan. Disparitas yang sering muncul dalam perbedaan “rasa” saat diajar dosen yang murni akademisi dengan dosen yang juga praktisi. ⁣

Perjuangan nyata sulitnya proses selling/”menjual”/closing (bagian dari marketing) yang lebih tahu adalah mbak-mbak SPG yang musti pakai baju “mini” untuk mengeksplorasi hasrat seksual remaja-remaja tanggung di warung kopi, oleh makelar yang masang foto barang bukan miliknya di story medsos dan keliling nyari orang yang butuh mobil/motor/tanah baru, dirasakan oleh pegawai tele-marketing yang musti nelepon dan nawarkan produk ke orang-orang random yang gak mereka kenal, dirasakan admin online shop yang musti mengubah rasa penasaran/tanya-tanya jadi pembelian, dirasakan penjaga toko ponsel yang musti “nari” di pinggir jalan untuk menarik perhatian dan nawarkan diskon, oleh agen MLM yang jualan kalung berkhasiat serbaguna — yang mereka sendiri ragukan adanya, dan lain-lain. ⁣

Apakah riset dan teori jadi gak penting? Tentu penting. Keduanya jadi sarana bagi banyak orang untuk tahu pola-pola umum dari topik penjualan/pemasaran. Variabel/faktor/strategi apa saja yang bisa menghadirkan keputusan pembelian, kepuasan konsumen, awareness dan keteringatan merek, sampai niat beli atau kunjung ulang dari pelanggan. Riset berguna (dan mustinya selalu ditujukan) untuk mengidentifikasi masalah, menutup kekurangan temuan riset yang sudah ada dan menelaah menggunakan kodidor teori induk, lalu menyimpulkan.

Lebih penting dari itu, teringat masukan zaman sidang dulu: “Setiap kesimpulan harus disertai saran/rekomendasi yang aplikatif: tepat guna dan jelas. Kalau cuma normatif/standar/asal ngapain capek-capek bikin naskah setebal ini.!” Jadi, yang lebih penting dari sekadar tahu teori adalah praktik langsung, tapi tanpa teori ya bakal ngasal, gambling.

Dalam post ini, saya jualan kaos polos di akun instagram @mulia.busana dan buku dari berbagai kategori di @bukuimaji