Untuk membandingkan secara diametral antara Islam dan Marxisme dalam bidang ekonomi, Wibowo dan Supriadi (2013) dalam buku “Ekonomi Mikro Islam” mengutip hal-hal yang telah dibedakan oleh M. Baqir Ash-Shadr, misalnya perbedaan dalam distribusi dan produksi sebagai berikut.

Teori umum ekonomi Islam tentang distribusi pascaproduksi memberi kepemilikan pribadi atau hak atau wewenang kepada pekerja atas setiap kekayaan (wealth) yang dihasilkan dari kerjanya, hanya apabila bahan bakunya bukan merupakan kekayaan alam yang dimiliki oleh individu Iain sebagai properti pribadinya atau individu itu memiliki hak atau wewenang atas properti tersebut. Misalnya, kayu yang ditebang penebang kayu dari hutan, atau burung di angkasa, atau ikan di sungai, elemen-elemen alami yang diperoleh penangkap burung, ikan yang dijaring nelayan, bahan-bahan mineral yang digali penambang, sebidang tanah mati yang direklamasi petani yang menghidupkan tanah, atau mata air yang digali seorang individu yang bersumber dari dalam perut bumi, semua kekayaan ini -dalam keadaan alaminya- tidak dimiliki oleh siapa pun secara khusus. Kerja produktif yang dilakukan atas mereka yang menjadi (satu-satunya) dasar bagi pelimpahan hak pribadi atas berbagai kekayaan alam tersebut. Sarana produksi tidak berbagi kepemilikan dengan pekerja atas produk yang dihasilkan dari kekayaan tersebut.

Akan tetapi, jika bahan baku yang digunakan dalam proses produksi merupakan milik pribadi dari individu Iain, atau orang lain memiliki hak atau wewenang atasnya (dengan kata lain, kepemilikan atau hak atau wewenang atas bahan baku tersebut telah terdistribusikan dalam proses distribusl sebelumnya sesuai dengan dasar yang diakui oleh teori umum Islam tentang distribusi pasca-produksi), tidak ada ruang bagi pelimpahan kepemilikan atau hak atau wewenang -atas dasar produksi baru kepada pekerja (yang melakukan aktivitas produksi baru) atau pemilik sarana produksi yang digunakan dalam aktivitas produksi baru. Jadi, orang yang memintal benang atau menenun kain dari bulu domba (wol) yang dimiliki oleh penggembala tidak berhak memiliki atau menguasai wol yang telah ia ubah menjadi benang atau kain. Ia juga tidak berbagi kepemilikan dengan penggembala (menjadi rekanan penggembala) atas dasar kerja yang ia curahkan dalam mengubah Wol menjadi benang atau kain. Seluruh benang atau kain tersebut sepenuhnya menjadi milik penggembala karena ia adalah pemilik bahan bakunya (yaitu wol).

Kepemilikan penggembala atas wolnya tidak hilang ketika orang lain mencurahkan kerja baru pada wol tersebut dengan mengubahnya menjadi benang atau kain. Fenomena ini disebut sebagai ”fenomena kekonstanan” (phenomenon of constancy) kepemilikan properti. Akan tetapi, teori umum ekonomi Marxis tentang distribusi pascaproduksi bertentangan dengan hal ini.Teori ini percaya bahwa pekerja yang menerima bahan baku dari kapitalis dan mencurahkan usahanya pada bahan baku tersebut, ikut menjadi pemilik dari bahan tersebut proporsional dengan kontribusi kerjanya terhadap nilai tukar baru bahan tersebut. Atas dasar ini, menurut teori Marxis, pekerja menjadi pemilik sah dari komoditas yang dihasilkan setelah dikurangi nilai awal bahan baku yang ia terima (dari kapitalis).

Perbedaan antara teori Marxis dan teori Islam terietak pada gagasan teori Marxis tentang keterkaitan properti dengan nilai tukar pada satu sisi, dan nilai tukar dengan kerja pada sisi Iain. Pada tataran teoretis, teori Marxis meyakini bahwa nilai tukar Iahir dari kerja dan menjelaskan kepemilikan pekerja atas bahan yang telah menerima curahan kerjanya atas dasar nilai tukar yang ditambahkan kerjanya itu pada bahan tersebut. Konsekuensinya, setiap pekerja yang menambahkan nilai tukar pada suatu bahan menjadi pemilik nilai ini sebagai hasil kerjanya. Sebaliknya, teori Islam memisahkan kepemilikan properti dengan nilai tukar dan tidak memberi pekerja (pembuat) hak kepemilikan atas bahan berdasarkan nilaI tukar yang ditambahkan kepada bahan tersebut.Teori Islam menjadikan kerja sebagai dasar langsung bagi (pelimpahan) kepemilikan atau hak atas hasil kerja sebagalmana telah disinggung dalam kajian dan penyelidlkan tentang teori distribusi pascaproduksi. Jadi, jika seorang lndividu memperoleh kepemilikan atas barang dengan basis kerja yang dilakukannya -dan keberadaan basis ini terus sinambung- orang Iain tidak bisa mendapatkan kepemilikan baru atas barang tersebut meskipun berkontribusi dalam menambahkan nilai baru pada barang itu melalui kerjanya.

Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan teori Islam sebagai berikut: Apabila bahan (baku) yang digunakan dalam aktivitas produksi ~pekerja mencurahkan kerja padanya bukan merupakan milik orang Iain (selain pekerja), pekerja akan memiliki seluruh produk yang dihasilkan. Adapun seluruh kekuatan (faktor) lain yang ikut serta dalam aktivitas produksi dipandang sebagai pembantu pekerja dan akan mendapat upah darinya. Semua faktor selain itu tidak dipandang sebagai rekanan pekerja yang berbagi kepemilikan atas komoditas yang dihasilkan, tidak pula dipandang berdiri di atas pijakan yang sama dengan pekerja. Akan tetapi, jika bahan baku (yang digunakan dalam aktivitas produksi) merupakan milik individu tertentu, keadaannya akan tetap begitu (maksudnya, komoditas yang dihasilkan sepenuhnya akan menjadi milik empunya bahan baku) sesuai dengan fenomena kekonstanan kepemilikan sebagaimana dapat dilihat dalam contoh kasus wol di atas.

Sebagian orang menyimpulkan bahwa kepemilikan ini (kepemilikan empunya wol atas kain yang ditenun dari wolnya) menyiratkan fakta bahwa kapital dan faktor-faktor materiel dalam aktivitas produksi berhak atas kekayaan yang dihasilkan (produced wealth) karena bahan baku dalam contoh tersebut (wol) secara ekonomi dipandang sebagai kapital dalam produksi benang dan kain wol (logikanya, bahan baku setiap komoditas merupakan sejenis kapital). Akan tetapi, interpretasi ”fenomena kekonstanan kepemilikan properti” dalam bingkai kapitalis merupakan konsepsi yang keliru.

Hal ini dikarenakan pelimpahan kepemilikan atas kain wol kepada empunya wol (ada orang lain yang menenun wol menjadi kain) tidak berdasarkan karakter kapitalis dari wol, tidak pula berarti kapital -statusnya sebagai faktor partisipan atau bahan baku dalam aktivitas produksi- memperoleh hak untuk memiliki komoditas yang dihasilkan (kain wol).

Walaupun wol -dalam statusnya sebagai bahan baku dalam aktivitas produksi- merupakan kapital dalam produksi benang atau kain wol. Dalam hal ini ia tidak sendirian. Alat-alat yang digunakan dalam proses pemintalan dan penenunan juga memikul karakter kapitalis dan ikut serta dalam aktivitas produksi sebagai kapital. Akan tetapi, kepemilikan atas kekayaan yang dihasilkan (benang atau kain wol) tidak dilimpahkan kepada pemilik alat-alat tersebut. Pemilik alat juga tidak berhak berbagi kepemilikan atas benang atau kain itu dengan pemilik wol. Teori ekonomi Islam tentang distribusi pascaproduksi dengan memelihara hak kepemilikan pribadi penggembala atas wolnya setelah penenun mengubahnya menjadi kain, tidak bermaksud melimpahkan hak kepemilikan pribadi atas kekayaan yang dihasilkan kepada kapital. Buktinya dapat dilihat dari fakta bahwa teori ini tidak melimpahkan hak tersebut pada alat-alat produksi. Kenyataan ini semata-mata menunjukkan bahwa teori ini mengakui kekonstanan hak kepemilikan pribadi atas properti (wol) yang telah diperoleh sebelum produksi benang atau kain tersebut.Teori ini meyakini bahwa perubahan bentuk properti tidak menghilangkan statusnya sebagai milik pemilik awal, meskipun jika perubahan itu menciptakan nilai tukar baru. Fenomena inilah yang disebut sebagai ”fenomena kekonstanan kepemilikan’.’

Dalam teori Islam, kapital dan faktor-faktor materiel yang ikut serta dalam aktivitas produksi tidak memperoleh hak atas kekayaan yang dihasilkan berdasarkan karakter mereka sebagai kapital, tidak pula berdasarkan kenyataan bahwa mereka ikut serta dalam aktivitas produksi (karena mereka hanya dipandang sebagai pembantu pekerja yang merupakan titik pusat aktivitas produksi sehingga mereka mendapat upah darinya). Penggembala yang merupakan pemilik wol dalam contoh tersebut memperoleh hak kepemilikan atas kain wol hanya atas dasar fakta bahwa kain wol adalah wol yang sama dan miliknya, bukan atas dasar fakta bahwa wol miliknya merupakan kapital dalam aktivitas produksi.

Perbedaan esensial kedua antara teori Islam dan teori Marxis dalam hal distribusi pascaproduksi adalah sebagai berikut:

Teori Marxis -yang memberikan hak kepemilikan atas kekayaan yang dihasilkan kepada setiap individu, proporsional dengan niiai tukar yang ditambahkannya pada kekayaan tersebut- berdasarkan pendapat adanya keterkaitan antara kepemilikan dan nilai tukar meyakini bahwa pemilik faktor dan sarana materiel yang berkontribusi dalam aktivitas produksi, memiliki bagian dalam kekayaan yang dihasilkan.

Hal ini karena faktor dan sarana ini terlibat dalam penciptaan nilai komoditas yang dihasilkan, proporsional dengan penggunaan mereka (tingkat konsumsi yang mereka derita) dalam aktivitas produksi. Pemilik faktor dan sarana tersebut -yang terpakai dan terkonsumsi dalam aktivitas produksimenjadi pemilik kekayaan yang dihasilkan, proporsional dengan kontribusi faktor dan sarana miliknya dalam penciptaan nilai komoditas yang dihasilkan.

Adapun Islam memisahkan kepemilikan dan nilai tukar sedemikian jauh. Jika secara ilmiah menerima dengan mudah pendapat bahwa sarana materiel yang digunakan dalam aktivitas produksi ikut serta dalam penciptaan nilai komoditas yang dihasilkan proporsional dengan tingkat konsumsi yang mereka derita, tidak berarti bahwa hak kepemilikan atas komoditas tersebut diberikan kepada pemilik sarana itu. Hal ini karena sarana materiel yang digunakan dalam aktivitas produksi menurut teori Islam selalu dipandang sebagai pembantu manusia, dan hak mereka berdiri hanya di atas dasar ini.

Inilah salah satu hasil temuan Baqir Shadr yang menguraikan pemisahan ”kepemilikan atas komoditas yang dihasilkan” dari ”nilai tukamya”: faktor-faktor materiel yang berkontribusi dalam aktivitas produksi selalu menerima upahnya -atas dasar pemisahan ini- karena statusnya sebagai pembantu manusia, bukan karena ikut serta dalam penciptaan nilai tukar komoditas yang dihasilkan.

 

****

Referensi: Wibowo, Sukarno dan Supriadi, Dedi. 2010. Ekonomi Mikro Islam. Bandung: CV Pustaka Setia