Penulis: Syalma (Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)

Sudah menjadi sunnatullah setiap makhluk yang diciptakan pasti berpasang-pasangan  lelaki dan perempuan. Allah SWT berfirman “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan dan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”(QS Adz Zariat: 49).

Allah SWT tidak akan membiarkan hamba-Nya berbuat sesuai kehendaknya, atau membiarkan hubungan antara laki-laki dan perempuan menjadi rusak dan tidak beraturan. Oleh karena itu, pokok dasar syariah adalah menjaga keturunan.

Pernikahan adalah bentuk ibadah yang penting dan sakral. Dalam Al-Qur’an tertulis, pernikahan adalah perjanjian suci yang  bertujuan untuk menyatukan dua orang yang berbeda pemikiran berdasarkan cinta untuk melahirkan generasi yang saleh dan saleh. Menurut Sayid Sabiq, pernikahan adalah “sunatullah yang berlaku bagi semua makhluk hidup, baik manusia, hewan maupun tumbuhan”.

Adapun yang menjadi rukun nikah adalah, adanya kedua mempelai dari pihak laki-laki dan perempuan, wali dari pihak perempuan, saksi dari kedua mempelai, diucapkannya ijab dari pihak wali pengantin perempuan, dan qabul dari pengantin laki-laki.

Baca juga: Program Studi Bisnis Digital di Surakarta

Syarat-syarat nikah meliputi, beragama Islam, bukan mahrom, wali nikah bagi perempuan, dihadiri saksi, sedang tidak ihram atau haji, dan bukan berupa paksaan.

DEFINISI NIKAH MUT’AH (kawin kontrak)

Nikah Mut’ah atau yang lebih sering disebut kawin kontrak adalah pernikahan dalam tempo masa tertentu. Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa harus ada wali atau saksi. Misalnya tiga hari atau lebih, atau kurang. Contohnya, seorang lelaki melakukan perkawinan dengan akad nikah sebagai berikut, (Aku menikahimu selama satu bulan atau satu tahun). Kemudian, wanita itu menjawab, (Aku terima). Maka hubungan pernikahan antara suami dan istri akan berakhir dalam waktu sesuai dengan akad tersebut.

Lalu Bagaimanakah Pandangan Islam?

 Pada zaman jahiliyah, Nikah mut’ah pernah diperbolehkan karena masyarakat Muslim saat itu berada dalam masa transisi dari zaman jahiliyah ke Islam. Dari Salamah bin Akwa`Radhiyallahu‘anhu, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan keringanan dalam mut’ah selama tiga hari pada masa perang Awthas (juga dikenal dengan perang Hunain), kemudian beliau melarang kami”.

Namun, Rasulullah saw kemudian melarang praktik nikah mut’ah ini. Dari Ar-Rabi’ bin Sabrah Al-Juhani berkata, bahwa ayahnya berkata kepadanya bahwa Rasulullah saw bersabda, (Wahai manusia, dahulu aku mengizinkan kamu nikah mut’ah. Ketahuilah bahwa Allah swt telah mengharamkannya sampai hari kiamat).

Sahabat Nabi Saw, Umar bin Khattab, menganggap nikah mut’ah sebagai sebuah kemungkaran. Oleh sebab itulah, para ulama dari seluruh mazhab pun sepakat bahwa nikah mut’ah hukumnya haram dan menggolongkan nikah mut’ah dalam jenis pernikahan yang bathil. Bahkan, pelaku nikah ini disamakan dengan pezina.

Pada zaman ini, nikah mut’ah semakin jelas terlihat keharamannya. Karena, apabila ditinjau dari perspektif rukunnya, nikah mut’ah dipandang bathil (perbuatan yang buruk) dikarenakan ketiadaan saksi, wali, dan pembatasan waktu/masa nikah yang menjadikan nikah mut’ah ini menjadi tidak sah. Dalam hal ini, suatu pernikahan tentunya diharapkan berlangsung lama, sehidup dan semati, bahkan sampai hari kiamat.