Penulis: @Luthfiham

Perkembangan pesat idustri warung kopi tentu sudah menjadi rahasia umum. Di Malang, di Jogja bahkan Semarang pertumbuhan jumlahnya luar biasa.

Anggaplah kedai kopi ini kita pilah menjadi dua jenis: tradisional dan modern. Keduanya sama-sama pesat perkembangannya.

Dari segi kajian bisnis, ada yang bilang menjamurnya kedai kopi ini sekedar fenomena ikut-ikutan. Sekali booming, pemodal pada rame ngikut. Mirip fenomena Thai tea, Bubble tea, kepal milo dan sejenisnya.

Dari sisi konsumen, bisnis kedai kopi bisa semarak disebut seiring berkembangnya gaya hidup milenial. Dikenal sebagai leisure economy. Satu kecenderungan orang (muda) mulai lebih memilih membelanjakan uangnya untuk nongkrong, nonton bioskop dan jalan-jalan dibanding membeli berbagai properti dan sejenisnya.

Selama akhir pekan idul adha kemarin, saya habiskan di Sleman.

Satu ritual rutin yang pasti tidak terlewat apabila di Jogja tentu ngopi.

Saya lumayan punya cukup uang untuk membunuh sepi di Jogja dengan ngopi di berbagai kedai kopi modern. Tapi tetap tradisional jadi pilihan.

Sebentar, modern ini yang membedakan dari tradisional versi saya paling tidak dari tiga aspek: harga, merek dan desain lokasi.

Kedai kopi tradisional (versi saya lagi), diwakili oleh Blandongan, Joglo kopi dan Kedai kopi Basa-Basi. Ketiganya ada di daerah Sorowajan. Atau kedai kopi bernama Kopi Kampung Ambarukmo, yang ada di daerah belakang UIN Jogjakarta. Atau juga kedai kopi Mato di Selokan Mataram dan kedai Kopi gandroeng di daerah Nologaten.

Kalau di Malang, anda bisa mudah menjumpai kedai kopi Kayon, Sarijan, Sangkil dan deretan kedai kopi baru di daerah Omah Kampus.

Saya sebut tradisional dari segi harga, mereka masih menyediakan kopi hitam dan kopi susu cangkir seharga Rp. 5000,- sampai Rp. 7000.-.

Satu lagi yang khas dari kedai kopi tradisional, sehingga saya sebut tradisional, sebagai pengunjung anda bisa bertahan disana seharian penuh, tanpa merasa perlu segera pindah dan tanpa merasa terintimidasi kalau sekedar pesan segelas kopi untuk duduk mulai jam 8 pagi sampai jam satu dinihari.

Sambil sesekali pesan nasi bungkusan dan ditinggal ke kamar mandi untuk shalat.

Saya begitu lekat dengan kehidupan zaman mahasiswa model begini.

Kisah unik pengunjung kedai kopi ini ditulis pula dengan begitu detail oleh Edy AH Iyubenu di situs web basabasi.co dalam artikel berjudul ‘MDRCCT’.

Edy berkisah, banyak yang tinggal di kedai kopi sampai setelah subuh, dengan kopi dingin yang telah berjam-jam di hadapan mereka. Bahkan melampaui jam tutup kedai.

Motifnya macam-macam. Ada yang diskusi, ngobrol ngalor-ngidul, ada pula yang berusaha jadi penulis cerita, naskah artikel pun puisi. Atau sibuk dengan desain grafis. Entah apa yang di desain.

Penelitian Fauziyah et al, (2015) tentang faktor yang mendorong konsumen memilih kedai kopi modern di Kabupaten Indragiri Hilir, setidaknya ada dua: Lifestyle serta symbol and status.

Ya, kita tahu bersama, semua kedai kopi dan tempat nongkrong modern ‘bermain’ di dua wilayah ini. Dengan duduk di sana, status sosial anda meningkat. Anda merasa otomatis masuk dalam lingkaran gaya hidup kelompok elit ekonomi dan sosial.

Anda merasa puas ketika bisa ‘ngutang’ dan ngajak pacar anda nongkrong sesekali disana. Simbol modern tercermin dari nama-nama asing, serba bahasa Inggris atau desain interior minimalis modern dengan berbagai mesin kopi dan mesin kasir terbaru.

Apakah nyaman?

Bisa iya, bisa tidak.

Namun kalau boleh mendefinisikan arti ‘nyaman’, saya cenderung memilih: pengunjung bisa duduk lama disana, tanpa terintimidasi untuk banyak pesan, tanpa gusar untuk segera pindah. Murah pula.

Apakah menguntungkan, bagi ownernya?

Setahu saya, bisnis ini kedai kopi ‘murah-tradisional’ di daerah-daerah yang ramai mahasiswa tetaplah menguntungkan. Dari testimoni dari pemilik dan beberapa pekerja yang saya kena, mereka tetap mampu mencapai Break Even Point atau balik modal dalam waktu yang tidak lama-lama banget.

Kedai Kopi BasaBasi, Sorowajan.

Tentu bagi owner, kalian tahu pasar kalian. Segmen yang bisa kalian sasar yang orang-orang begitu. Mereka yang gamang hidupnya, uang ada tapi gak banyak-banyak banget.

Para penulis pemula, sastrawan kelas blogspot, aktifis mahasiswa yang dapat recehan dana konsumsi dari agenda-agenda kecil, atau orang yang datang ke Jogja dan ke Malang namun tidak cukup biaya nyewa kamar penginapan, bahkan yang paling murah sekalipun.

Catatan Edy AH Iyubenu, sebagai penulis dan pemilik kedai Basabasi, dalam celotehnya tadi patut disimak:

“Tapi bahwa di Jogjalah Anda bisa meraup nilai-nilai hidup yang merawat benar kesederhanaan, apa adanya, kepedulian—yang diungkapkan atau tidak—hingga slownya ritme hidup, itu benar-benar ada sampai hari ini. Dan saya yakin akan terus eksis seiring dengan tersedianya ruang-ruang publik yang menyokongnya—termasuk kultur ngopi di lingkungan Sorowajan ini.”

Memulai ikut-ikutan bisnis kedai kopi kemudian terburu-buru balik modal dan dapat untung tentu aneh juga lucu. Saya yakin, tahun-tahun yang akan datang, konsumen kedai kopi tradisional masih begitu-begitu saja.

Malang, 14 Agustus.