Ketika membahas perempuan, jagat dunia maya kita akhir-akhir ini gak bakal bisa move-on dari empat tokoh yang utama, yaitu: Dian Sastro, Najwa Sihab, Megawati dan Rina Nose. Artis atau public figure yang lain bagaimana? Yaa eksistensi mereka tetap diakui, sebagai pelengkap, jadi satelit. Mirip bulan ngelilingi bumi, mirip Phobos dan Deimos mengitari Mars. Nggak lebih.

Kita bahas dari yang paling tua. Biar gak su’ul adab. Ya, dari Ibunda Megawati.

Ibu Megawati itu wanita paling besar influence/pengaruhnya di Indonesia. Terlepas apakah rekomendasi partainya untuk Gus Ipul maju gubernur bakal bikin dukungan tambah kuat atau lemah, Megawati tetaplah simbol ibu. Yang dihormati, yang di ‘sungkemi’ atau di cium tangannya. Bahkan oleh seorang ‘Gus’ keturunan pendiri NU. Prosesi yang kelompok sebelah bakal mengharamkannya sebab belum nemu dalil dan anjurannya.

Seorang nenek, sebutnya, yang sejak jaman ORBA sampai ketemu era milenial atau jaman now memimpin salah satu partai dengan perolehan suara legislatif tertinggi. Di podium yang disiarkan langsung TV Swasta nasional setelah cerita ketemu cucunya, langsung bahas soliditas ‘anak buah’ mengawal keputusan partai. Yang setelah nyindir-ngguyoni sekjen partai, langsung cerita kalau punya standar tinggi dalam kaderisasi calon pemimpin. Santai dan tenang. Dikira sama audiens sudah mau guyonan gayeng dan seru (lampu sen nganan), eh malah bahas serius (tiba-tiba belok ngiri). Tipikal ibu-ibu.

Ibu Megawati ini sudah jauh melampaui diskusi dan kajian kelompok mahasiswa tentang prasangka bahwa gender (peran-posisi perempuan) itu hasil konstruksi sosial. Musti dibela-bela. Ditelusuri ulang penulis naskah profan-agamanya. Disadarkan dan diperjuangkan. Sukses juga nerima amanah kaderisasi Gus Ipul, dari Gus Dur. Di pilkada yang sudah banyak orang membahas, sebab selain ketiga kalinya Gus Ipul akan melawan Khofifah, juga semakin fulgarnya kemungkinan politisasi agama. Lagi, mirip Jakarta lalu.

Sungguh, Megawati masih sangat pantas jadi perempuan paling ikonik.

Kedua, mari membahas Dian Sastro. Meskipun follower IG-nya belum bisa melampuai Raisa, dimana mbak Dian punya 5,2 juta follower, sementara Raisa 16,6 juta. Cukup jauh tertinggal. Tapi magis Dian Sastro memang luar biasa. Setiap kali mendengar perempuan artis yang terdidik dan etis, ya ingatnya mbak Dian. Bahkan, dia mewakili gambaran dan citra ideal dari klasifikasi kelompok istri muda. Di era modern. Dimana perempuan pasca Kartini adalah mereka yang punya profesi, namun juga telaten dan handal ngopeni anak.

Salah satu quote terkenal Mbak Dian adalah ketika blio menyatakan bahwa jadi apapun seorang perempuan, dia tetap harus berpendidikan tinggi. Sebab ibu-ibu cerdas akan menghasilkan anak-anak cerdas pula. Luar biasa.

Ketiga, mbak Najwa Sihab. Putri ulama Ahli tafsir yang sudah sangat dikenal sebab  jadi host acara Talkshow di TV Swasta. Mbak Najwa identik dengan pertanyaan-pertanyaan tajam, kritis dengan data kuat dan seringkali nerabas pembahasan tabu, publik kadang tidak pernah membayangkannya. Misalnya tentang korupsi, agenda politik berupa niatan maju ke jabatan yang lebih prestisius dan sejenisnya. Lebih sering membahas dan menghadirkan tokoh-tokoh politik.  Mbak Najwa mewakili identitas perempuan yang smart, puitis, berani, modis, berbicara fakta dan data bukan sekedar baper (mirip cewek-cewek sekarang) dan masih lebih bagus dibandingkan pembawa acara perempuan lain di Indonesia.

Tentang sindiran kenapa sebagai putri ulama ternama tapi tidak memakai jilbab (penutup rambut kepala), ah sudahlah kita bahas berikutnya.

Keempat, Rina Nose. Pembawa acara kontes dangdut yang lagi tenar sebab dua topik: Lepas jilbab dan diejek secara fisik oleh seoran ustadz yang sudah mulai terkenal di media sosial. Rina mewakili gambaran kepedulian yang berlebih dari netizen kita bahwa apapun yang menyangkut agama dan segala atributnya harus kita ributkan, bahkan kita pertengkarkan jika dirasa tidak sesuai. Beberapa faktor yang menurut saya jadi sebab ramainya kasus lepas jilbab Rina Nose adalah:

Pertama, secara lebih luas, kondisi masyarakat netizen muslim kita sedang berada dalam kecemasan terkait hilangnya orisinilitas dalam kehidupan mereka, suatu perasaan bahwa keadaan amoral sedang meningkat dan keprihatinan tentang pengaruh barat dalam masyarakat mereka. Sehingga usaha-usaha parsial untuk menangkal ‘kemungkaran’ dari barat tersebut sedang ramai dilaksanakan. Lewat jalur politik dengan aksi-aksi, lewat ajakan berbusana dengan ketentuan tertentu dan sejenisnya.

Kedua, sejak dulu dan sampai sekarang ‘seolah’ islam punya pembahasan yang belum selesai, tentang inferioritas perempuan dalam peran politik, budaya dan pendidikan. Serta masih seringnya kasus kekerasan fisik maupun verbal terhadap mereka. Dalam beberapa literatur klasik bahkan perempuan ini sangat ketat aturannya, misalnya: dilarang keluar rumah memakai pengharum (dandan), keluar harus bersama suaminya, diperintah untuk senantiasa dapat ridho suami, sebab ridho suami adalah ridho dari Tuhan juga. Termasuk juga aturan tentang aurat.

Ketiga, ditambah masih adanya adat istiadat atau norma yang mengatur bahwa perempuan seharusnya bekerja di rumah hingga mengurus suami dan rumah tangga menjadikan perempuan tidak dapat berperan lebih. Padahal partisipasi perempuan sangat diperlukan karena mereka yang biasanya paling terkena dampak atas kebijakan yang diambil oleh laki-laki.

Keempat, sebab penggunaan bahasa dalam teks suci. Misalnya penggunaan kata huwa yang dalam struktur bahasa arab ditujukan kepada seorang dengan jenis kelamin laki-laki ternyata juga ditujukan kepada Tuhan, yang pada hakikatnya tidak memiliki jenis kelamin apapun. Meskipun bahasa dalam teks suci tersebut dapat ditelaah, bahwa unsur-unsur maskulinitas berupa perkasa, kuat dan unggul dirasa perlu dimasukkan guna tujuan memasukkan image tentang keperkasaan yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Mahakuasa. Maka jika tidak hati-hati, sudut pandang kita tetang perempuan bisa sempurna terjebak pada budaya patriarki. Tidak lebih dan tidak ditujukan diskriminasi pada perempuan.

Empat faktor itu yang masih kuat muncul di alam pikiran masyarakat kita, kemudian bikin rame dan seolah gak ada salahnya membahas perempuan dari bukan perspektif mereka, yang jelas menarik. Atau juga masih dirasa wajar memandang perempuan sebagai masyarakat ‘kelas dua’, yang banyak pilihan dan keputusannya harus ditentukan oleh laki-laki atau perempuan lain yang sudah tunai berhijrah. Atau, ah sudahlah.