Penulis: Ghofiruddin (Pegiat sastra dan literasi Trenggalek)
Ada kalanya seorang yang menggelari dirinya sendiri seorang penulis tidak tahu apa yang hendak dia tulis. Dia mengamati layar laptopnya, sebuah kertas digital Microsoft word tanpa kata-kata, hanya garis kursor hitam kelap-kelip yang tegak sendiri di batas tepi paling kiri.
Di saat seperti itu kemungkinan besar pikirannya telah terperangkap untuk memperhatikan eksistensi dunia luar yang tengah mencoba masuk di dalam dirinya. Dia mendengar suara, sebuah alunan musik yang hentakannya tidak begitu ia suka, namun sangat digandrungi oleh kebanyakan orang.
Tentu saja dia akan mulai bertanya, musik apa itu, kenapa musik yang hanya seperti itu bisa digemari oleh banyak orang, dan kekuatan apa yang terdapat di dalam sebuah lagu dan musik yang cengeng itu.?
Apakah sekarang ini terlalu banyak orang yang cengeng, sehingga cenderung memilih yang cengeng-cengeng?
Tapi kenapa tidak dibuat sebaliknya, kita akui kecengengan kita, kemudian beralih untuk memperkuat jiwa. Tampaknya sekarang kecengengan hendak dipelihara luar-dalam supaya status quo tidak diutak-atik lagi, tetap tenang dan hidup nyaman di dalam sebuah persembunyian tumpukan uang (yang hanya mengalir amat sedikit untuk kebanyakan orang).
Ada kalanya pula pikirannya hanya sedang mengamati kejadian-kejadian di dalam pikiran itu sendiri yang kadang ia tidak tahu kenapa pikiran itu tiba-tiba muncul. Desakan apa yang membuat pikiran-pikiran itu muncul ke permukaan.
Kenapa bukan pikiran-pikiran yang lain. Adakah sesuatu yang istimewa dari sebuah kemunculan di atas permukaan pikiran yang rapuh namun masih belum mampu diejawantahkan dalam bentuk tulisan.
Apakah gerangan saat itu yang menahan. Bisakah itu disebut dengan kebodohan atau ketidakmampuan diri karena keterbatasan perbendaharaan kata. Tapi ketidakmampuan sesungguhnya masih belum layak untuk disebut kebodohan, di sana masih ada dorongan dari dalam diri untuk senantiasa menggali dan juga belajar lagi.
Yang paling layak disebut kebodohan yang sesungguhnya adalah rasa malas, yaitu suatu kondisi jiwa yang hanya ingin dimanja atau mendapatkan suatu permanjaan akhir tanpa sebuah usaha atau kerja keras.
Dan, yang lebih parah lagi kemalasan tersebut mendapatkan justifikasi dengan sebuah dalih yang sering disebut dengan ‘kerja cerdas’.
Kerja cerdas di sini sebenarnya adalah sebuah usaha untuk mendapatkan sesuatu dengan pengeluaran (tenaga maupun harta) seminimal mungkin, namun mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin.
Kerja cerdas sebenarnya memiliki aspek kerja kerasnya sendiri, yaitu sebuah kerja yang tidak tampak dengan mata telanjang orang-orang luar. Kerja cerdas membutuhkan kesendirian dan kematangan pikiran dalam menerjemahkan barisan-barisan potensi diri untuk disalurkan ke dalam kegiatan-kegiatan yang tidak terlalu menguras harta dan tenaga.
Lebih penting lagi, kerja cerdas adalah sebuah sistem kerja yang tidak perlu menguras emosi positif hingga akhirnya wadah emosi tersebut kosong dan justru digantikan oleh emosi-emosi negatif yang selalu meminta jatah untuk mencekik leher orang, atau setidaknya mengumpati orang-orang selantang mungkin.
Kerja cerdas adalah sebuah kenikmatan.!
Namun kenikmatan ini bukanlah berada di dalam sebuah permanjaan akhir. Kenikmatan ini terdapat di dalam sebuah keberlangsungan yang terus menerus, yang senantiasa diperbaharui dengan rasa sabar dan syukur.
Kenikmatan yang berada di dalam sebuah kemanjaan utuh adalah akhir itu sendiri. Dan setelah keberakhiran, sebuah jiwa yang hidup akan ragu akankah ada kenikmatan yang terhampar atau yang diberikan dan didapatkan setelah kehidupan.
Kecerdasan selalu mengatakan untuk ragu, untuk selalu berada di antara ‘Ya’ dan ‘Tidak’.
Ya, jika ada, maka itu adalah sebuah bonus atau imbalan atas kerja keras pikiran untuk selalu menetap di sebuah jantung keberadaan ruh semesta. Jika tidak ada, maka dunia telah menjadi saksi untuk sebuah cerita manusia sebagai perpaduan antara esensi dan eksistensi, dan jika jiwa cukup berani untuk mengakui, maka segala yang ditinggal pergi tidak ada yang perlu ditangisi.
Lalu, di manakah letak kebodohan yang sempat dikatakan. Apakah ia menghilang begitu saja dari dalam tulisan ini karena sebuah kemauan pikiran yang akhirnya tidak menempatkan diri di dalam sebuah sudut, yang menerima ‘Ya’ dan ‘Tidak’ secara bersamaan, yang menerima seluruh kontradiksi, perbedaan.
Sesungguhnya tidak ada yang bisa disebut bodoh, meskipun kebodohan, dalam arti, sebuah ketidaktahuan atau ketidakmampuan atau kekurangan akan selalu ada pada diri. Namun sesuatu di balik sisi yang tampak minus itu selalu memiliki kelebihan-kelebihan, sesuatu yang positif, pengetahuan dan keahlian, meskipun hanya setitik.
Seorang pengangguran yang tidak pernah sekolah dan seolah-olah tidak memiliki keahlian apapun dan dianggap tidak berguna bagi masyarakat, pasti masih ada sesuatu yang lebih yang ada pada dirinya.
Kelebihan yang ada pada diri seorang yang demikian mungkin hanyalah sebuah kelebihan yang terpendam atau bahkan sengaja dipendam sehingga akan membutuhkan sebuah penggalian yang serius untuk dapat merasakannya, dan juga sebuah usaha serius untuk mengesampingkan antipati di dalam pikiran kita terhadap sesuatu hal yang tampak minor.
Prasangka hendaknya diredam sampai kepada sebuah batas terendah, atau jika memang ada seorang manusia di mana prasangka merupakan kehidupannya, dia haruslah mampu menunjukkan bukti nyata, dengan menempatkan seluruh positif maupun negatif di dalam pencariannya.
Begitu juga sebaliknya, seseorang yang mentereng dengan banyak sekali kelebihan atau pengetahuan, pasti ada sesuatu kekurangan di balik itu semua. Dan, sekali kekurangan itu tertangkap oleh dunia luar, maka ketidaksempurnaan akan terlalu mengekang kebebasan jiwa.
Masalah pada manusia yang memiliki terlalu banyak kelebihan yang tampak atau ditampakkan adalah masalah keangkuhan. Keangkuhan pada seorang manusia mampu menyebabkan sebuah malapetaka pada jiwa ketika sampai pada sebuah batas di mana dia merasa mampu hidup untuk selamanya, atau setidaknya dia merasa akan hidup dalam keberlimpahan dengan kekuatan dan kekuasaan yang luar biasa.
Namun kenyataan pada jiwa yang tidak bisa dihindari adalah sebuah kenyataan untuk menua, untuk menepi, terjebak di dalam sepi dan kemudian mati.
Dan ketika keangkuhan mencoba untuk melawan kerapuhan alami yang ada pada dirinya, mungkin kebodohan sesungguhnyalah yang tengah menyiksanya. Di sana tidak ada ketenangan, tidak ada kedamaian, dan tidak ada pula ketentraman dari sebuah penyangkalan yang membabi buta.
Oleh sebab itulah dibutuhkan suatu waktu bagi manusia untuk menghayati kerendahan yang akhirnya akan membawa sebuah kesadaran bahwa ada kerapuhan, ada sebuah ketidaksempurnaan yang telah diatur sedemikian.
Tentu semua itu bukan tanpa sebuah tujuan atau hikmah. Ketidaksempurnaan atau kekurangan itu membimbing manusia untuk lebih menghargai manusia dan bahkan makhluk-makhluk yang lain.
Kekurangan itu membawa manusia untuk mencari sebuah pelengkap di dalam hidupnya. Tentu, dengan sebuah kesadaran tentang kerendahan itu, sebuah jalinan atau hubungan di dalam kehidupan semesta manusia tidak akan lagi bersifat eksploitatif, yang atas menindas yang bawah, yang berkuasa menindas yang dikuasai, majikan menindas budaknya, dan hubungan-hubungan yang serupa yang hanya akan membawa pada sebuah lingkaran setan ketika yang di bawah akhirnya menjadi yang di atas dan terbawa oleh dendam masa lalu sehingga hendak menyingkirkan segala ekses dari pihak-pihak yang pernah menindasnya dulu.
Kemudian, yang dihasilkan hanyalah sebuah dendam yang baru, dan dendam yang baru, dan seterusnya, masih berupa dendam-dendam yang baru dengan rupa-rupa yang beraneka.
Mungkin ada kalanya, kerja cerdas, dan yang paling cerdas adalah mengetahui saat-saat di mana jiwa diharuskan meninggi, secepat kilat melakukan sebuah tindakan sehingga masalah cepat selesai sebelum berhadapan dengan permasalahan baru yang tidak bisa dihindari.
Di saat tertentu ada kalanya kerja cerdas, dan yang paling cerdas itu adalah mengetahui saat-saat untuk merendah, untuk menahan diri, menahan amukan-amukan hasrat untuk lebih memberikan kesempatan kepada perasaan untuk memenangkan sebuah kekalahan yang mutlak, yang hendak dinikmati dengan sebuah keadaan yang apa adanya, yang damai, yang tenteram, yang perasaan merasakan sebuah kelegaan ketika akhirnya sebuah tulisan serampangan berhasil diselesaikan meskipun diawali tanpa kerangka perencanaan yang matang.
Ada kalanya, sebuah kerja cerdas hanyalah sebuah lamunan.
“Bukan rahasia bila imajinasi lebih berarti dari sekedar ilmu pasti”
(Dewa 19- Bukan Rahasia)
***********
Artikel sastra ini pertama kali dimuat pada:
https://sastratepian.blogspot.com/2019/01/ada-kalanya-kerja-cerdas.html