Penulis: Luthfi Hamdani
Ketimpangan ekonomi bisa dimaknai sebagai perbedaan pembangunan ekonomi antar suatu wilayah dengan wilayah lainnya secara vertikal dan horizontal yang menyebabkan disparitas atau ketidak pemerataan pembangunan. Dimana salah satu tujuan pembangunan ekonomi daerah adalah untuk mengurangi ketimpangan (disparity).
Peningkatan pendapatan per kapita memang menunjukkan tingkat kemajuan perekonomian suatu daerah. Namun meningkatnya pendapatan per kapita tidak selamanya menunjukkan bahwa distribusi pendapatan lebih merata.
Hariani dan Syahputri (2015) dalam jurnal berjudul “Analisis Ketimpangan Ekonomi Dan Pengaruhnya Terhadap Tingkat Kriminalitas Di Propinsi Sumatera Utara” menuliskan bahwa seringkali di negara-negara berkembang dalam perekonomiannya lebih menekankan penggunaan modal dari pada tenaga kerja, sehingga keuntungan dari perekonomian tersebut hanya dinikmati sebagian masyarakat saja. Apabila ternyata pendapatan nasional tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi ketimpangan.
Terdapat berbagai macam alat yang dapat dijumpai dalam mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan penduduk (Distribution Income Disparities), diantaranya yaitu :
Kurva Lorenz. (Lorenz Curve) Kurva Lorenz secara umum sering digunakan untuk menggambarkan bentuk ketimpangan yang terjadi terhadap distribusi pendapatan masyarakat. Kurva Lorenz memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase penerima pendapatan dengan persentase pendapatan total yang benar-benar mereka terima selama periode tertentu, misalnya, satu tahun.
Gini Index/Gini Ratio. Gini index adalah ukuran ketimpangan pendapatan agregat yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna).
Regional Income Disparities. Ketimpangan yang terjadi tidak hanya terhadap distribusi pendapatan masyarakat, akan tetapi juga terjadi terhadap pembangunan antar daerah di dalam wilayah suatu negara.
Jeffrey G. Williamson (1965) meneliti hubungan antara disparitas regional dengan tingkat pembangunan ekonomi, dengan menggunakan data ekonomi negara yang sudah maju dan yang sedang berkembang. Williamson menggunakan Williamson Index (Indeks Williamson) untuk mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah. Indeks Williamson menggunakan PDRB per kapita sebagai data dasar.
Sementara itu, Simon Kuznets (dalam Todaro, 2011) mengatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk (ketimpangan membesar), namun pada tahap selanjutnya, distribusi pendapatan akan membaik. Observasi inilah yang kemudian dikenal sebagai kurva Kuznets “U-terbalik” (Hipotesis Kuznets).
Lalu bagaimana mekanisme ketimpangan ekoonomi akan mempengaruhi pertumbuhan dan dalam jangka panjang akan menyebabkan keruntuhan ekonomi?
Chris Dillow, seorang penulis topik-topik ekonomi di lembaga Investors Chronicle menerbitkan artikel di situs web evonomics.com berjudul “Eight Reasons Why Inequality Ruins the Economy”. Artikel ini membahas bagaimana ketimpangan ekonomi dapat meruntuhkan perekonomian, terutama dengan mengurangi tingkat pertumbuhan ekonomi.
Berikut ini delapan kemungkinannya:
PERTAMA
Ketidaksetaraan mendorong orang kaya untuk berinvestasi bukan pada aspek inovasi tetapi lebih pada sesuatu yang oleh Sam Bowles dalam jurnal berjudul “Guard Labor” disebut sebagai ‘tenaga kerja penjaga’, berupa cara untuk mempertahankan hak istimewa dan kekuasaan mereka.
Investasi ini bisa saja melibatkan undang-undang hak cipta yang membatasi pekerja, cara-cara mengawasi dan mengendalikan pekerja, atau mencari dan melobi rente perusahaan yang mengarah pada apa yang oleh Brink Lindsey dan Steven Teles disebut sebagai ‘ekonomi yang terperangkap’ (captured economy).
Merupakan suatu bentuk khusus dari pencarian rente ini adalah upaya melakukan loby kepada bank untuk memperoleh subsidi yang terlalu besar potensi kegagalannya.
Hal ini mendorong ekspansi sistem perbankan yang berlebihan dan berikutnya menyebabkan krisis ekonomi, yang memiliki dampak negatif besar pada pertumbuhan ekonomi.
KEDUA
Terciptanya hirarki perusahaan yang tidak setara, yang oleh Jeffrey Nielsen (2004) dalam bukunya “The Myth of Leadership: Creating Leaderless Organizations” disebut sebagai organisasi berbasis pangkat. Hal ini dapat menurunkan motivasi karyawan junior.
Salah satu studi pada tim sepak bola Italia, misalnya, telah menemukan bahwa “dispersi (bias) gaji yang terlalu tinggi memiliki dampak buruk pada kinerja tim.” Temuan ini konsisten dengan studi tim Bundesliga dan NBA oleh Benno Torgler dan rekannya yang menemukan bahwa “kekhawatiran posisi dan kecemburuan mengurangi kinerja individu”.
KETIGA
“Ketimpangan ekonomi menyebabkan rendahnya tingkat kepercayaan” kata Eric Uslaner dan Mitchell Brown. Dillow juga punya bukti bagus bahwa rendahnya tingkat kepercayaan berarti pertumbuhan menjadi rendah. Salah satu alasannya adalah jika orang tidak saling percaya, mereka tidak akan melakukan transaksi di mana ada risiko mereka ditipu.
KEEMPAT
Ketimpangan dapat mencegah peningkatan produktivitas, seperti yang dijelaskan oleh Sam Bowles. Ada banyak temuan yang menyebutkan bahwa perusahaan berbentuk koperasi bisa lebih efisien daripada yang hierarkis, tetapi pengembangannya terkendala oleh kredit.
Sementara itu, kemiskinan akan mengurangi kualitas pendidikan sebab masyarakat miskin tidak mungkin membeli buku, atau mendorong siswa yang cerdas tetapi miskin untuk berhenti sekolah lebih awal dari capaian yang seharusnya.
KELIMA
Ketimpangan dapat menyebabkan orang kaya takut akan redistribusi atau nasionalisasi aset di masa depan, yang akan membuat mereka enggan berinvestasi.
KEENAM
Timbulnya ketidaksetaraan kekuasaan dan politik, dalam arti suara pekerja menjadi kurang didengar dibandingkan dulu pada masa-masa awal setelah perang dunia kedua. Juga serikat perdagangan menjadi tidak lagi memiliki kekuatan.
Kondisi ini memungkinkan pemerintah untuk mengabaikan tujuan utama mereka berupa terjadinya kondisi kesempatan kerja penuh dan tidak ada orang yang menganggur (full employment).
Dampak buruk dari kondisi ini juga memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk meningkatkan untung dengan menekan upah dan kondisi kerja buruh. Mekanisme ini telah mematahkan investasi pada teknologi yang diharapkan mampu menghemat tenaga yang dikeluarkan oleh pra pekerja.
KETUJUH
Insentif tinggi bagi pimpinan yang menyebabkan ketimpangan dalam perusahaan dapat menjadi bumerang. Seperti yang ditunjukkan Benabou dan Tirole (2013) dalam jurnal “Bonus Culture: Competitive Pay, Screening, and Multitasking”, dimana sistem insentif ini mendorong pimpinan perusahaan untuk mencapai target yang terukur dan mengabaikan hal-hal yang kurang terukur namun tetap penting bagi keberhasilan perusahaan, seperti budaya perusahaan yang sehat.
Insentif juga berpotensi menyingkirkan motivasi intrinsik seperti etika profesional. Bonus bank besar, misalnya, mendorong terjadinya mis-selling dan upaya melakukan kecurangan pasar, alih-alih menyebabkan perusahaan melakukan kegiatan yang lebih produktif.
KEDELAPAN
Upah manajemen yang tinggi dapat menimbulkan apa yang oleh Joel Mokyr disebut sebagai “kekuatan konservatisme”, yang bertentangan dengan kemajuan teknis. Dimana ketika perusahaan menuai manfaat penuh dari teknologi terbaru seringkali memerlukan perubahan dalam organisasi.
Tetapi tingginya upah manajemen, menyebabkan pengambil keputusan berpikir:
‘Mengapa repot-repot berinvestasi dalam hal teknis jika Anda bisa melakukannya dengan sangat baik berkat peningkatan kekuatan pasar perusahaan Anda?’
‘Dan jika Anda memiliki, atau berharap memiliki, gaji besar dari birokrasi perusahaan mengapa Anda harus melakukan inovasi baru?’